Motivasi
Gengsi Itu Menipu dan Menghancurkan Diri Sendiri
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
TanahRibathMedia.Com—Gaya hidup zaman now tuh makin hari makin nyentrik. Scroll dikit di TikTok, muncul si mbak-mbak unboxing tas branded, buka-buka koper isinya sepatu harga satu semester kuliah. Geser ke IG, eh muncul si mas-mas ngaku bukan sultan tapi pamer jam tangan seharga motor. Kalau kita nggak kuat iman ditambah mindset yang salah, yaitu mindset sekuler, bukan Islam, bisa-bisa dompet kita nangis di pojokan, hati sesak, lalu baru sadar bahwa semua demi yang namanya gengsi.
Apa yang terjadi, saudara-saudara? Gengsi mulai menipu diri. Karena katanya, kalau nggak pakai brand A, B, atau C, kita dianggap nggak sukses. Makanya, demi terlihat ‘berhasil’, orang bela-belain beli barang yang harganya bisa buat DP rumah, padahal buat gaya doang biar terlihat kaya dan bahagia walaupun tagihan utang mulai datang dari berbagai arah. Astaghfirullah.
Padahal Rasulullah saw. bersabda,
"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Nah loh. Jadi, mau kamu punya 10 tas merk Michael Kors, 3 jam Fossil, dan koleksi sepatu Aiger segudang, kalau jiwamu masih lapar pengakuan, tetap aja hidupmu terasa kosong.
Bahagia Manakala Mendapat Ridha Allah
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizham al-Islam bahwa kebahagiaan itu bukan hasil dari banyaknya materi, melainkan tercapainya ridha Allah.
Oleh karena itu, Islam mengatur bahwa manusia akan tenang jika akidahnya lurus, tujuan hidupnya jelas, dan dunianya tidak dipakai adu pamer.
Tapi sekarang? Orang-orang justru sibuk flexing, seolah hidup ini kontes pamer yang nggak ada ujung. Yang bikin miris, banyak dari mereka beli bukan karena butuh, tapi karena pengen kelihatan 'Wah'.
Pinjem duit arisan hingga duit dagangan demi dapat beli baju baru, jalan-jalan luar kota atau untuk mencicil 2x tas branded Prelove pun dilakoni, semua demi caption,
"Alhamdulillah rezeki nggak kemana-mana, akhirnya bisa beli juga tas impian."
Tapi, lah kok rezekinya malah minus? SPP sekolah anak nunggak sampai tahunan dan ujung-ujungnya ribut dengan suami karena uang belanja gak cukup. “Innalillahi tobat Bu, tobat”.
Syaikh Abu Rustah juga pernah mengingatkan dalam risalahnya, bahwa gaya hidup liberal-sekuler akan menggiring manusia pada standar kebahagiaan semu dimana pemikiran liberal sekuler menanamkan mindset sukses itu kalau kaya, bahagia itu kalau punya tas, sepatu dan baju branded, keren itu kalau viral. Padahal semua itu ilusi.
“Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Bukan berarti Muslim nggak boleh punya barang bagus. Boleh, asal halal, fungsional, dan nggak berlebihan. Masalahnya, kaum budak branding itu nggak beli fungsi, tapi gengsi. Tas harga jutaan dipamerin, tapi isinya cuma tisu basah dan catatan jatuh tempo bayar utang.
Orang-orang kayak gini sebenarnya bukan kaya, tapi kecanduan validasi. Mereka nggak bahagia kalau belum dapet likes, views, dan pujian. Di sinilah jebakan kapitalisme bekerja. Apa itu? Bahwa kita dijadikan target pasar yang selalu merasa kurang. Orang berduit yang bodoh dalam hal memanajemen keuangan dan hawa nafsu.
Tiap hari diiming-imingi iklan, promo, diskon palsu, dan FOMO. Kita dibikin panik kalau belum punya sedangkan yang orang lain punya.
Akibatnya? Dompet kurus, mental stres, dan hidup jadi beban. Uangnya habis buat menjaga citra yang nggak ada nilainya di akhirat. Pencitraan jalan terus, ibadah ke Allah justru kendor. Astaghfirullah lagi.
Coba lihat gaya hidup Rasulullah saw. Beliau hidup sangat sederhana, bahkan pernah berhari-hari hanya makan kurma dan air. Tapi apakah beliau tidak bahagia? Justru beliau adalah manusia paling mulia dan paling dicintai Allah.
Beliau nggak pernah flexing, tapi auranya membuat semua orang takjub. Jadi, kenapa kita nggak meniru beliau?
Kita perlu ingat, kebahagiaan itu bukan pada merek, tapi pada makna. Hidup bukan tentang pameran barang mewah, tapi tentang perjalanan menuju surga. Bahagia itu kalau Allah ridha, bukan mendapat validasi dari netizen.
Yuk ah, sadar diri! Jangan mau jadi budak kapitalis. Jangan beli barang demi konten. Jangan habiskan waktu dan uang untuk memuaskan pandangan orang lain yang bahkan nggak peduli sama kita.
Berjuanglah jadi manusia yang merdeka, yang hidupnya dituntun oleh iman, bukan tren. Karena hidup bukan tentang siapa yang paling kinclong, paling kaya, tapi siapa yang paling taat.
Via
Motivasi
Posting Komentar