Opini
Nyawa Bergantung Bantuan, Saatnya Negara Berdiri Mandiri
Oleh: Nettyhera
Pengamat Kebijakan Publik
TanahRibathMedia.Com—Di tengah hiruk pikuk isu global dan politik internasional, satu kabar dari Afrika Selatan baru-baru ini menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Dalam laporan terbaru UNAIDS yang dirilis pada Juli 2025, disebutkan bahwa sebanyak enam juta orang berisiko tertular HIV dan empat juta lainnya diperkirakan akan meninggal akibat AIDS, jika tidak ada dukungan dana yang memadai. Ini bukan angka yang kecil. Yang lebih mencengangkan, bencana kemanusiaan ini berakar dari keputusan politik seorang pemimpin negara adidaya.
Adalah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memutuskan untuk menghentikan pendanaan terhadap PEPFAR, program andalan yang sejak 20 tahun terakhir menyokong penanggulangan HIV/AIDS di banyak negara berkembang. Langkah ini memicu keresahan luas karena selama ini jutaan orang menggantungkan harapan hidup dari program tersebut. Berbagai layanan kesehatan pun terdampak langsung: klinik ditutup, pengobatan terhenti, distribusi obat macet, dan tenaga kesehatan kehilangan pekerjaan. Tak sedikit negara berkembang yang terduduk tanpa daya menghadapi situasi ini.
Trump bukan mengambil keputusan ini tanpa alasan. Di baliknya, ada tekanan besar dari kelompok konservatif di Amerika yang menuduh PEPFAR telah disusupi agenda-agenda liberal, seperti dukungan terhadap aborsi dan LGBTQ. Kelompok ini menginginkan agar dana publik Amerika tidak digunakan untuk membiayai program luar negeri yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tradisional mereka. Maka, ketika Trump kembali menjabat sebagai presiden awal tahun ini, kebijakan itu dijadikan bukti keberpihakannya kepada basis pendukung konservatifnya.
Namun, bagi negara-negara penerima dana, keputusan ini berdampak sangat serius. Indonesia termasuk yang terdampak. Menurut data Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2025, terdapat sekitar 564.000 orang yang hidup dengan HIV. Sayangnya, baru 63 persen di antaranya yang mengetahui status kesehatannya, dan hanya 67 persen dari mereka yang mengakses terapi antiretroviral (ARV). Bahkan, baru 55 persen yang berhasil menekan jumlah virus dalam tubuhnya. Artinya, ratusan ribu penderita masih berada dalam situasi rawan, dan jika tidak segera ditangani, angka ini berpotensi meningkat drastis.
Situasi ini memperlihatkan sisi lemah dari banyak negara berkembang yang selama ini menggantungkan pembiayaan sektor kesehatan pada bantuan luar negeri. Ketika bantuan ditarik, sistem langsung terguncang. Keterbatasan anggaran, buruknya tata kelola sumber daya, serta minimnya kemandirian ekonomi membuat negara-negara ini tidak mampu berdiri sendiri. Padahal, banyak dari mereka justru kaya akan sumber daya alam.
Sayangnya, kekayaan tersebut sering kali tidak dinikmati rakyatnya. Dikuasai korporasi asing atau dijual murah melalui perjanjian dagang yang merugikan, hasil alam tidak memberikan cukup kontribusi bagi anggaran negara. Ketika sektor vital seperti kesehatan diserahkan kepada dana hibah luar negeri, maka kelangsungan hidup rakyat pun terancam oleh kepentingan politik global.
Dalam kondisi seperti ini, muncul pertanyaan mendasar: sampai kapan kita akan bergantung pada niat baik negara lain? Bukankah sebuah negara seharusnya mampu menjamin kebutuhan dasar rakyatnya tanpa mengandalkan bantuan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menengok kembali bagaimana sistem Islam dahulu menangani urusan kesehatan.
Dalam sejarah peradaban Islam, negara menjamin seluruh pelayanan kesehatan secara gratis dan merata. Rumah sakit dibangun di berbagai wilayah, bahkan layanan keliling diadakan untuk menjangkau masyarakat pelosok. Negara membiayai semua ini dari sumber keuangan sendiri, tanpa utang atau campur tangan asing. Sumber keuangan itu berasal dari pos-pos syariat seperti zakat, kharaj, jizyah, dan pengelolaan langsung terhadap kekayaan alam.
Negara dalam sistem Islam tidak bergantung pada lembaga donor, karena filosofi dasarnya adalah tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat. Rasulullah saw. bersabda bahwa pemimpin adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas amanahnya. Konsep ini menjadikan negara sebagai pelayan, bukan pedagang yang menyerahkan urusan rakyat kepada mekanisme pasar atau bantuan asing.
Apa yang terjadi hari ini harus menjadi tamparan bagi kita semua. Saat sebuah negara adidaya bisa memutus bantuan kesehatan hanya demi implementasi janji politik, maka seharusnya kita tidak lagi percaya bahwa bantuan adalah solusi jangka panjang. Yang dibutuhkan negara-negara berkembang bukan belas kasihan, melainkan sistem yang mampu membuat mereka berdiri di atas kaki sendiri.
Indonesia dan negeri-negeri Muslim lainnya memiliki potensi besar untuk mandiri jika dikelola dengan sistem yang tepat. Islam telah membuktikan bahwa sistemnya mampu membangun peradaban yang berkeadilan dan berdaulat. Kini saatnya kita berpikir ulang: bukan hanya tentang siapa yang memberi bantuan, tetapi tentang mengapa kita masih membutuhkan bantuan itu. Karena yang sejatinya kita perlukan bukan sekadar pendanaan, tetapi perubahan sistem yang menyeluruh.
Via
Opini
Posting Komentar