Opini
Kecurangan Beras Premium, Mengapa Regulasi Tak Bergigi?
Oleh: Prayudisti SP
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Skandal beras oplosan kembali mengguncang publik. Kementerian Pertanian menemukan 157 merek beras premium yang tidak sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan (Tempo, 12 Juli 2025). Ironisnya, beras berkualitas rendah tersebut dijual dengan harga premium, menyebabkan kerugian besar bagi konsumen hingga nyaris Rp100 triliun dalam setahun terakhir (Metrotvnews.com, 12 Juli 2025). Hal ini bukan sekadar kasus penipuan niaga biasa, tetapi cermin dari persoalan sistemik yang menempatkan rakyat sebagai korban dalam sistem ekonomi yang tidak adil.
Lebih menyedihkan lagi, pelaku kecurangan ini bukan pedagang kecil, melainkan perusahaan besar yang semestinya menjadi teladan integritas dalam tata niaga. Masyarakat berharap negara hadir sebagai pelindung, tetapi nyatanya negara tampak gamang. Padahal, regulasi sudah ada. Pemerintah telah mengeluarkan standar mutu dan pelabelan beras, namun pelaksanaannya lemah dan pengawasan nyaris tak terlihat tajinya. Hingga akhirnya, pemerintah hanya bisa memberi "ultimatum" agar para pengusaha beras segera memperbaiki kualitas produknya dalam waktu singkat (Metrotvnews.com, 13 Juli 2025). Sebuah tindakan yang menunjukkan lemahnya posisi negara di hadapan korporasi besar.
Kecurangan dalam timbangan dan kualitas bukan hal baru dalam sistem ekonomi kapitalistik. Sistem ini mendorong pelaku usaha untuk semata mengejar keuntungan, bahkan jika harus melanggar hukum atau menipu konsumen. Dalam sistem sekuler kapitalisme, nilai-nilai agama dan moral terpinggirkan. Kejujuran dan amanah dianggap barang langka, dan yang diagungkan hanyalah untung sebesar-besarnya.
Di sinilah akar masalahnya: hilangnya nilai iman dalam aktivitas ekonomi. Sistem pendidikan sekuler gagal mencetak individu yang amanah dan bertakwa. Sementara sistem negara pun abai untuk menguatkan pengawasan dan menerapkan sanksi tegas. Akibatnya, pelanggaran seperti ini terus terjadi dan bahkan membudaya.
Lebih jauh lagi, ini mencerminkan absennya negara dalam pengelolaan sektor pangan. Dari hulu ke hilir, tata niaga pangan dikuasai oleh swasta dan korporasi besar. Negara hanya menguasai sekitar 10% pasokan beras nasional (Kompas.com, 13 Juli 2025), sehingga tidak punya daya tawar untuk mengendalikan harga, kualitas, ataupun rantai distribusi. Akibatnya, konsumen terus dirugikan dan petani pun tidak berdaya menghadapi permainan pasar.
Padahal, dalam Islam, negara memiliki peran strategis dalam menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat, termasuk dalam urusan pangan. Penguasa adalah raain (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Islam mewajibkan penguasa untuk amanah dan bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan harga, memastikan kualitas, dan menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat.
Islam menetapkan tiga pilar utama tegaknya keadilan: ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan keberadaan negara yang menegakkan aturan dengan sistem sanksi tegas dan menjerakan. Islam bahkan menetapkan institusi khusus seperti Qadhi Hisbah, yaitu pengawas pasar yang memastikan tidak ada kecurangan dalam perdagangan. Hisbah bertugas menindak langsung pelaku kecurangan, dan tidak menunggu laporan atau tekanan publik. Ini sangat berbeda dengan sistem hari ini yang cenderung reaktif dan bersifat sporadis.
Islam juga mewajibkan negara untuk mengurusi seluruh rantai pangan mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Negara tidak hanya menjamin ketersediaan, tetapi juga memastikan bahwa proses tata niaga berlangsung adil, tanpa penipuan dan manipulasi. Negara harus hadir sebagai pengatur, pengawas, sekaligus pelaksana distribusi pangan yang sehat dan berkah.
Selama sistem kapitalisme tetap diterapkan, maka kecurangan seperti ini akan terus berulang. Regulasi akan selalu kalah oleh kepentingan bisnis, dan rakyat tetap menjadi korban. Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang berlandaskan akidah Islam, yang menjadikan negara bukan sekadar regulator pasif, melainkan pelindung aktif yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat dengan cara yang halal, berkah, dan adil.
Karena itu, solusi hakiki atas persoalan kecurangan pangan ini bukan sekadar revisi regulasi, tetapi perubahan mendasar pada sistem yang menaungi kehidupan. Hanya dengan sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam naungan Khilafah, negara akan mampu menghadirkan keadilan ekonomi, perlindungan nyata bagi rakyat, dan kesejahteraan yang tidak hanya dinikmati segelintir orang.
Via
Opini
Posting Komentar