Opini
Kecurangan Beras Premium, Bukti Lemahnya Regulasi
Oleh: Safiati Raharima, S.Pd
(Aktivis Muslimah Dompu)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena pengoplosan bahan pangan kembali menyeruak dan menyasar bahan makanan pokok rakyat. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium tapi kualitas dan kuantitasnya tidak sesuai. Praktik semacam ini menimbulkan kerugian luar biasa hingga Rp.99 triliun per tahun atau hampir Rp.100 triliun jika dipertahankan. Sebagaimana yang diketahui berdasarkan hasil temuan investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) sekitar 212 merk beras tersebar di 10 provinsi dijual tidak sesuai standar mutu, dijual di atas HET, hingga tidak sesuai berat kemasan (Kompas.com, 13-07-2025).
Pemerintah memberikan batas waktu 2 minggu bagi produsen untuk melakukan penyesuaian terhadap mutu dan harga beras yang dijual sesuai regulasi. Jika tidak dilakukan, pemerintah akan menindak tegas (badanpangan.go.id, 15-07-2025).
Lemahnya Pengawasan
Kecurangan dalam distribusi beras dari timbangan, kualitas dan jenis mencerminkan buruknya sistem ekonomi saat ini yang erat kaitannya dengan kepentingan korporasi dan minimnya ketaatan kepada nilai-nilai agama. Meskipun negara memiliki regulasi, tetapi kecurangan ini terus terjadi bahkan melibatkan perusahaan besar yang seharusnya menjadi teladan dalam etika bisnis.
Hal ini menunjukkan dalam sistem sekular kapitalisme, praktik curang demi keuntungan merupakan sesuatu yang lumrah bahkan dianggap sah-sah saja selama bisa menguntungkan, meski harus menghalalkan yang haram dan melanggar aturan.
Ini adalah konsekuensi logis dari sistem yang melepaskan agama dari kehidupan, sehingga standar halal dan haram terpinggirkan oleh logika untung dan rugi. Semakin bergulir persoalan ini terjadi, hal ini menegaskan lemahnya pengawasan negara dan sistem sanksi yang tidak menimbulkan efek jera.
Pada kasus ini, produsen yang sudah terbukti melakukan pelanggaran tidak diberi sanksi hanya diberi waktu untuk memperbaiki produk beras yang dihasilkannya. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali mengulangi hal yang sama di waktu yang lain. Kondisi ini menunjukkan bukti nyata kegagalan sistem sekular dalam membentuk individu yang amanah dan bertakwa. Sistem ini tidak menjadikan ketakwaan sebagai nilai dan pondasi moral. Hal ini kian diperparah dengan posisi negara yang tidak memiliki kuasa, akibat pengelolaan sektor telah dikuasai korporasi besar dari hulu hingga hilir. Tentunya penguasaan ini yang berorientasi pada bisnis semata.
Solusi Islam
Pada kondisi seperti ini dibutuhkan sistem alternatif yang mampu menempatkan negara sebagai pelayan rakyat. Sekaligus memosisikan negara sebagai penjamin distribusi kebutuhan pokok rakyat yang amanah. Satu-satunya alternatif itu hanya ditemukan dalam sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam naungan Khilafah Islamiyyah.
Dalam pandangan Islam, penguasa atau pejabat negara memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi pemimpin yang amanah, adil dan senantiasa menjaga kemaslahatan umat.
Rasulullah Shallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Imam (penguasa) adalah raa'in (penggembala/pelayan) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpin" (HR.Bukhari dan Muslim).
Hal ini menunjukkan bahwa jabatan dalam Islam bukanlah posisi untuk mencari keuntungan tetapi amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.
Dalam Islam, tegaknya keadilan dan pelaksanaan aturan tidak bisa hanya mengandalkan satu aspek, tetapi didukung oleh tiga pilar utama, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat yang aktif dalam mengoreksi penguasa, serta penegakan aturan Islam secara menyeluruh oleh negara yang didukung oleh sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Islam memerintahkan negara untuk hadir secara penuh dalam urusan pangan, bukan hanya memastikan pasokan tersedia tetapi mengelola seluruh rantai produksi hingga distribusi. Negara tidak membiarkan urusan vital seperti pangan jatuh ke tengan korporasi swasta yang berorientasi kepada laba semata.
Untuk menjaga pasokan pangan, Khilafah menjalankan strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Negara akan memastikan kemudahan akses petani terhadap modal, benih, pupuk, dan alat pertanian serta menjamin semua lahan pertanian produktif. Hukum kepemilikan tanah Islam diterapkan supaya tanah tidak dikuasai oleh segelintir pihak dan tidak dibiarkan terlantar. Sesuai sabda Rasulullah Shallahu'alaihi wasallam,
"Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya" (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Khilafah juga mengawasi terkait distribusi pada pasar rantai niaga agar berjalan jujur dan adil. Negara melarang tegas penimbunan, riba, tengkulak, dan kartel, serta kecurangan-kecurangan lainnya. Melalui pengaturan menyeluruh ini harga menjadi wajar, pasokan stabil, pangan dapat diakses dengan mudah oleh seluruh rakyat.
Sungguh hanya negara Islam (Khilafah) mampu memastikan kebutuhan pokok rakyat seperti pangan terpenuhi secara adil dan merata serta mencegah berbagai manipulasi dan kedzaliman dalam tata niaga. Inilah bukti nyata dari sistem Islam yang menjadikan penguasa sebagai pelayan umat dan menegakkan aturan Allah demi kebaikan seluruh masyarakat.
Wallahu'alam bisshowab.
Via
Opini
Posting Komentar