Opini
Penjajahan Sejati di Bidang Ekonomi
Oleh: Fitri Andriani, S. S.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Indonesia dalam sepekan ini dihebohkan dengan keputusan Presiden membebaskan bea masuk bagi AS. Anehnya, Indonesia yang sudah rugi justru diwajibkan membeli beberapa produk AS. Barang yang wajib dibeli di antaranya ada 10 macam, yakni benda hasil pertanian yang mengandung minyak, peternakan, perindustrian ringan dan berat. Semua nilainya ratusan US$. Trump melalui media sosial setempat mengatakan berterima kasih atas kesetiaan bangsa Indonesia yang mau menyeimbangkan defisit perdagangan tersebut dan menurunkan tarif dagang Indonesia menjadi 19% dari 32% (Tempo, 21 Juli 2025)
Herannya, jajaran para menteri masih mengatakan kesepakatan ini akan mendongkrak pemasaran hasil produksi UMKM di negeri kita. AS sudah memiliki rincian barang yang akan mereka jual ke pasar Indonesia tanpa bea masuk sama sekali, justru kita masih harus membayar bea impor barang tersebut 0,1 %. Masihkah kita berharap untung, padahal belum jelas barang apa yang akan kita jual hingga dibebankan membayar 19% pajaknya. Secara kasat mata saja jelas sudah rugi.
Tujuan perdagangan adalah memperoleh keuntungan. Negeri Paman Sam minta penurunan pajak menjadi 0% sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya sudah ada beberapa barang kualitas ekspor mereka yang dijual ke Indonesia dengan pajak 0%. Bisa dipastikan tidak akan ada keuntungan bagi Indonesia jika mereka menaikan pajak 19% untuk Indonesia. Pakar Ekonomi menilai ini masih dinilai rugi bagi Indonesia, karena barang AS yang kita pakai sangat jarang. Efeknya, negara lain kemungkinan akan minta penurunan tarif pajak dagang juga sebagai imbas pajak 0% kepada AS (DetikNews, 20 Juli 2025).
Kebijakan yang Melahirkan Masalah Baru
Setiap perjanjian dagang dengan negara lain diharuskan mengambil tarif bea cukai sebagai keuntungan kita. Bukan justru membebaskan pajaknya. Hal ini akan menimbulkan masalah-masalah baru yang berimbas kepada defisit pendapatan dalam negeri. Mereka berjualan berbagai produk dengan tarif pajak 0%. Sementara barang dari Indonesia yang kita tawarkan ke negara mereka belum tentu laku di pasaran walau pajaknya sudah diturunkan menjadi 19%. Sebab kualitas UMKM kita masih jauh untuk bisa memenuhi standar mereka.
Masalah lainnya, akan terjadi banyak sekali produk AS membanjiri negeri kita dengan kualitas bagus dan harga terjangkau. Sedang produk dari Indonesia yang belum bisa bersaing akan tergusur dengan sendirinya, para pemain ekonomi dan produsen lokal menjadi kalah dan gulung tikar. UMKM akan terlilit masalah jika kebijakan semacam ini dilanjutkan. Lebih baik mencari rekanan negara lain yang bisa lebih menjanjikan keuntungan. Ini merupakan masalah serius bagi penduduk Indonesia yang hanya menjadi pasar kaum kapitalis. Bahkan bisa dipastikan Indonesia gagal menjadi produsen di negerinya sendiri karena tersandung barang impor yang lebih bagus dan murah.
Utang Indonesia sudah terlalu banyak, sedang bea cukai AS yang 0% akan makin memicu defisit keuangan dalam negeri. Karena barang yang dijual di Indonesia dari AS yang terkena pajak 0% itu secara kuantitas sangat banyak. Daripada support negara lain yang sudah maju namun merugikan ekonomi dalam negeri, lebih baik pemerintah support UMKM hingga siap memproduksi barang yang berkualitas serta layak jual ke luar negeri. Support para petani dan nelayan agar bisa memiliki skill yang bagus, peralatan yang memadai, sarana prasarana serta pemasaran meluas. Bila produk dalam negeri mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas, telah siap bersaing, maka kita tidak akan bergantung pada produk asing. Justru sebaliknya pihak asing bisa membeli dari Indonesia. Apalagi negeri kita memiliki SDA yang melimpah. Perlu adanya dukungan serius dari pemerintah kepada para produsen dan pelaku UMKM dengan berbagai pelatihan, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung hal tersebut.
Sikap Kita Menghadapi Kebijakan Zalim
Mari bersama tolak perjanjian asing yang merugikan negeri kita. Ini adalah perjanjian batil. Sebagaimana Islam telah mengatur masalah ekonomi hingga menjadi negara adidaya selama ribuan tahun. Kebijakan ekonominya terbukti tegas untuk menolak segala perjanjian dengan negara kafir untuk membayar bea cukai ketika berdagang di negeri kita. Seperti halnya Umar bin Khattab ketika mendatangkan barang dari kafir maka dia menarik bea cukai sebesar sepuluh persen. Namun jika negara sedang mengembangkan industri tertentu dan belum stabil, agar tidak kalah bersaing, maka harus ditinggikan pajaknya supaya negara lain tidak menjual barangnya ke dalam negeri dalam jumlah besar.
Prinsip seperti ini yang harusnya kita pakai dalam berhubungan dengan negara lain. Jangan mau menerima pemaksaan perjanjian yang tidak seimbang seperti pembebasan bea cukai yang dilakukan Trump kemarin. Sebab sesungguhnya ini merupakan bentuk penjajahan sejati di bidang ekonomi. Penjajahan yang zalim dan sangat membahayakan hajat hidup orang banyak karena berkaitan dengan ekonomi yang menopang perkembangan suatu negara. Di samping itu kita sendiri tidak dapat pembebasan pajak yang seimbang. Mengingat jenis produk kebanyakan tidak terlalu dibutuhkan di negeri kita. Selain rugi, kita hanya akan menjadi pasar kaum kapitalis semata bukan pemain ekonomi yang mampu mengatur pasar.
Wallahu 'alam.
Via
Opini
Posting Komentar