Opini
Anak Membutuhkan Perlindungan Hakiki dari Negara
Oleh: Prayudisti S Pandanwangi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Skandal kejahatan kemanusiaan kembali menyeruak. Sindikat penjualan bayi lintas negara terbongkar, menunjukkan betapa lemahnya perlindungan terhadap anak di negeri ini.
Dilaporkan oleh BeritaSatu (17-07-2025), sindikat ini telah beroperasi sejak 2023 dan menjual bayi ke Singapura seharga Rp16 juta per anak. Bahkan, dalam pengungkapan ini, aparat menemukan keterlibatan oknum pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dalam memalsukan dokumen bayi agar bisa diperdagangkan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyampaikan bahwa kasus ini merupakan bentuk nyata perdagangan orang lintas negara yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban. “KemenPPPA kawal kasus perdagangan bayi lintas negara,” demikian dilansir dari Siaran Pers KemenPPPA (17-07-2025).
Masifnya tindak kejahatan ini juga dikritisi oleh banyak pihak. Kompas.id (17-07-2025) menyebut bahwa kasus ini adalah bukti karut-marutnya sistem administrasi kependudukan dan lemahnya pengawasan pemerintah atas sistem perlindungan anak. Bahkan Media Indonesia (18-07-2025) menyoroti bahwa pegawai pemerintahan yang seharusnya menjadi penjaga masyarakat justru menjadi bagian dari kejahatan, sehingga Kemendagri didesak untuk melakukan audit internal secara menyeluruh.
Namun, kasus ini bukan hanya soal administrasi atau lemahnya pengawasan teknis. Akar masalahnya jauh lebih dalam: sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang menjadikan uang sebagai tolok ukur keberhasilan. Ketika kehidupan dikendalikan oleh logika pasar dan kepentingan ekonomi, maka manusia dan bahkan bayi bisa diperjualbelikan. Beginilah realitas kelam ketika agama dipinggirkan dari kehidupan.
Kemiskinan menjadi habitat subur kejahatan ini.
Perempuan yang terdorong menjadi bagian dari jaringan sindikat perdagangan bayi adalah mereka yang terjepit secara ekonomi. Kompas.com (18-07-2025) mencatat bahwa kasus penjualan bayi ini terjadi di tengah kondisi masyarakat yang masih bergulat dengan keterbatasan ekonomi. Maka wajar jika muncul desakan agar pemerintah tidak hanya mengusut pelaku, tetapi juga membenahi akar strukturalnya: kemiskinan, lemahnya regulasi, dan tidak adanya jaminan kesejahteraan untuk ibu dan anak.
Dalam Islam, anak adalah amanah yang sangat berharga. Mereka adalah generasi penerus umat yang akan menjaga dan meneruskan peradaban Islam. Firman Allah dalam QS. Al-Isra: 31 menegaskan, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kamu.”
Ini adalah prinsip dasar dalam Islam: kehidupan anak tidak boleh dikorbankan atas alasan ekonomi. Islam tidak hanya mengharamkan praktik keji seperti penjualan bayi, tetapi juga menyediakan sistem yang mampu mencegahnya sejak akar. Islam memiliki pandangan sistemik yang menyeluruh: dari menjaga keturunan (nasab), menjamin kesejahteraan ibu dan anak, hingga memberikan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan.
Dalam sistem Islam, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar setiap individu: sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Perempuan yang hamil, baik dalam kondisi menikah maupun tidak, tetap dilindungi, dan nasab anak dijaga. Tidak akan ada ruang bagi keputusasaan ekonomi yang mendorong seorang ibu menjual bayinya.
Pendidikan dalam Islam ditanamkan berbasis akidah, membentuk manusia yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab di hadapan Allah. Setiap individu dididik agar tidak sekadar mengejar duniawi, tetapi juga menjaga amanah dan menghormati kehidupan. Orang tua akan merasa malu jika melalaikan atau menyia-nyiakan anaknya. Aparat negara pun tidak akan berani menyeleweng, karena sanksi syariat tidak hanya menjerakan secara fisik, tetapi juga secara moral dan sosial.
Islam juga memiliki sistem sanksi tegas yang akan menghentikan sindikat kejahatan secara sistemik. Perdagangan bayi sebagai bentuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO) akan dikenai sanksi had atau ta’zir tergantung tingkat dan dampaknya, serta akan diputus oleh qadhi (hakim syar’i) dengan wewenang penuh. Tidak ada ruang kompromi bagi kejahatan semacam ini, terlebih jika dilakukan terorganisir dan melibatkan pejabat.
Apa yang terjadi saat ini adalah cermin dari kegagalan total sistem sekuler dalam menjaga nilai kemanusiaan. Saat hukum dibuat atas dasar akal manusia dan kepentingan politik, bukan wahyu Allah, maka yang terjadi adalah maraknya kerusakan dan hilangnya rasa tanggung jawab terhadap anak-anak. Kasus ini bukan yang pertama, dan bukan pula yang terakhir jika akar persoalannya tidak dicabut.
Peringatan ini harus menjadi momentum bagi kita untuk mengevaluasi sistem kehidupan yang selama ini kita terapkan.
Perlindungan sejati bagi anak bukanlah sekadar memperbaiki data kependudukan atau menambah pos pengawasan, tetapi menata ulang sistem kehidupan secara menyeluruh berdasarkan Islam. Hanya dengan penerapan Islam secara kafah (menyeluruh), anak-anak akan mendapatkan perlindungan hakiki sejak dalam kandungan hingga tumbuh menjadi generasi penegak peradaban mulia.
Via
Opini
Posting Komentar