Opini
Tukar Guling Kemerdekaan: Jalan Lunak yang Berujung Pengkhianatan
Oleh: Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
TanahRibathMedia.Com—Pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto soal peluang Indonesia mengakui Israel jika Palestina diberi kemerdekaan, menuai kegelisahan. Bagaimana tidak? Ini bukan sekadar manuver politik luar negeri biasa, melainkan sikap yang dapat dimaknai sebagai bentuk “normalisasi terselubung” dengan rezim penjajah dan penumpah darah umat Islam di Gaza.
Pernyataan tersebut, meski dikemas dalam narasi diplomasi damai, sejatinya menyeret Indonesia sebagai negara Muslim terbesar ke dalam skenario politik palsu yang dirancang Barat: solusi dua negara. Sebuah skema ilusi yang sejak awal digagas oleh AS dan Inggris demi melanggengkan eksistensi Israel di tanah Palestina.
Normalisasi Berkedok Damai: Menyesatkan!
Solusi dua negara selalu terdengar manis. Seolah menjadi harapan atas derita panjang rakyat Palestina. Tapi sejarah membuktikan sebaliknya. Setiap kali solusi itu digulirkan, yang terjadi justru semakin luasnya pendudukan, makin brutalnya agresi militer, dan makin dalamnya luka umat Islam.
Lebih menyakitkan lagi, ketika pemimpin negara Muslim seperti Indonesia justru ikut menyuarakan solusi semu itu. Mengakui Israel berarti mengafirmasi keabsahan entitas penjajah. Padahal, sejak 1948 hingga kini, entitas itu lahir dan hidup dari darah ribuan syuhada, reruntuhan rumah, dan jerit anak-anak Gaza.
Apakah kita akan menukar kemerdekaan Palestina dengan pengakuan terhadap Israel? Itu sama saja menukar idealisme dengan kepentingan pragmatis. Sama saja menukar kehormatan umat dengan diplomasi ilusi.
Diplomasi Tanpa Taring, Solusi Tanpa Arah
Sebagian pihak menyebut bahwa pernyataan Prabowo hanya strategi awal, batu loncatan untuk menekan Israel. Tapi, mari realistis! Bahkan lembaga sekelas PBB tak mampu menghentikan kebrutalan Zionis. Apalagi suara dari Indonesia yang selama ini nyaris tak diperhitungkan dalam geopolitik Timur Tengah.
Alih-alih membuat Israel tunduk, pernyataan ini justru bisa dibaca sebagai sinyal lunak. Sebuah lampu hijau bahwa Indonesia membuka kemungkinan menjalin hubungan resmi. Ini bisa menjadi preseden berbahaya. Dunia akan membaca bahwa negara Muslim terbesar mulai melunak terhadap pembantai umat Islam.
Jangan Lupakan Darah Para Syuhada
Membahas Palestina bukan hanya bicara politik. Ini soal sejarah, martabat, dan amanah umat. Al-Quds adalah tanah suci ketiga umat Islam. Sejak dibebaskan oleh Umar bin Khattab, dipertahankan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, dan diperjuangkan oleh rakyat Palestina hari ini, tanah itu adalah milik kaum Muslimin seluruhnya.
Mengakui eksistensi Israel adalah menampar wajah para syuhada. Adalah mengkhianati perjuangan para pejuang Intifada, martir Taufan Al-Aqsa, dan anak-anak Gaza yang tubuhnya berserakan demi menjaga Al-Aqsa.
Kita tidak bisa berdiri di dua kaki: mengutuk genosida tapi merangkul pelakunya. Tidak bisa berkata bela Palestina, tapi dalam waktu yang sama memberi ruang pengakuan bagi penjajahnya.
Solusi Islam: Khilafah dan Jihad Pembebasan
Masalah Palestina tidak akan selesai dengan konferensi damai, bantuan kemanusiaan, atau pengakuan diplomatik. Dunia sudah menyaksikan betapa solusi-solusi itu gagal total. Israel hanya paham satu bahasa: kekuatan. Hanya kekuatan yang mampu memaksa mereka hengkang dari tanah umat.
Islam telah memberi solusi: jihad pembebasan di bawah kepemimpinan Khilafah Islam. Sebagaimana Khalifah Umar membebaskan Al-Quds dengan wibawa Islam. Sebagaimana Salahuddin mengusir pasukan salib dengan pasukan tauhid, dan sebagaimana Rasulullah ï·º membangun kekuatan ideologis hingga Islam disegani dunia.
Saat ini, satu-satunya solusi tuntas atas penjajahan Zionis adalah menegakkan kembali institusi Khilafah yang akan memimpin umat, menyatukan kekuatan, dan menggelar jihad pembebasan hingga tanah suci kembali dalam pangkuan umat.
Penutup: Jangan Tukar Darah dengan Kursi Diplomatik
Wahai umat Islam, kita tidak sedang menghadapi sekadar konflik geopolitik. Ini adalah pertarungan ideologis antara haq dan batil, antara penjajah dan umat yang terzalimi. Jangan biarkan semangat perlawanan dipadamkan oleh diplomasi semu. Jangan tukar darah para syuhada dengan sekeping pengakuan negara penjajah.
Pemimpin Muslim sejati bukanlah yang pandai bernegosiasi, tapi yang berani mengambil sikap tegas, berpihak penuh kepada Islam, dan memimpin umat menuju kejayaan kembali di bawah naungan Khilafah Islamiyah.
Kini saatnya umat bangkit, bersatu, dan menyongsong kemenangan sejati: pembebasan Palestina lewat jalan yang dituntunkan oleh syariat, bukan diplomasi musuh.
Via
Opini
Posting Komentar