Opini
Eksploitasi Nikel di Raja Ampat: Potret Krisis Kapitalisme Vs. Solusi Islam
Oleh: Prayudisti S. P
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Raja Ampat, sebuah surga tropis di timur Indonesia yang menjadi rumah bagi puluhan ribu spesies laut, kini terancam oleh aktivitas ekstraktif. Kawasan yang selama ini dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia menghadapi krisis lingkungan akibat ekspansi pertambangan nikel di sejumlah pulau seperti Gag, Kawei, Batang Pele, dan Manyaifun. Ironisnya, pulau-pulau ini tidak hanya penting secara ekologis, tetapi juga memiliki status perlindungan berdasarkan hukum nasional dan internasional.
Ekosistem Terancam, UU Dilanggar
Penolakan masyarakat adat Suku Kawei atas rencana penambangan di Pulau Batang Pelei bukan tanpa alasan. Mereka khawatir dampak buruk tambang akan menghancurkan ekosistem serta mengguncang ekonomi lokal yang bertumpu pada sektor pariwisata dan perikanan. Kajian lingkungan menyebutkan bahwa pulau-pulau kecil seperti Kawei, yang luasnya sekitar 10.000 hektare, dapat kehilangan seluruh ekosistemnya dalam waktu 15 tahun jika aktivitas tambang terus berjalan.
Terumbu karang—yang selama ini menjadi tempat hidup ribuan spesies ikan, penyu, hingga pari manta—terancam rusak akibat sedimentasi dan pembuangan limbah tambang. Pencemaran ini tak hanya merusak habitat laut, tapi juga menghantam pesisir, termasuk hutan mangrove. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan menurun drastis, dan daya tarik wisatawan pun merosot tajam.
Yang lebih memprihatinkan, sejumlah kegiatan tambang dilakukan tanpa dokumen Amdal lengkap. Hal ini jelas melanggar UU No. 1 Tahun 2014 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil. Sebagian besar operasi tambang diduga ilegal, tidak melalui mekanisme konsultasi publik yang transparan, serta minim kajian dampak lingkungan. Berbagai kelompok adat dan organisasi masyarakat telah menyuarakan penolakan melalui petisi serta aksi sosial yang meluas.
Tekanan Publik dan Respon Negara
Sorotan tajam dari masyarakat sipil, kelompok lingkungan, dan lembaga internasional memaksa pemerintah bergerak. Beberapa kementerian kemudian memutuskan penghentian sementara atas beberapa tambang nikel di Maluku Utara—meski bukan langsung di Raja Ampat. Sayangnya, langkah ini belum menyentuh akar persoalan: struktur kekuasaan ekonomi yang menempatkan kepentingan korporasi di atas hukum dan lingkungan.
Pemerintah tampak berjalan di dua kutub yang saling bertentangan. Di satu sisi, mereka mengejar pendapatan negara melalui investasi dan ekspor nikel. Namun di sisi lain, mereka harus menghadapi konsekuensi ekologis yang permanen serta kehilangan mata pencaharian warga lokal.
Kapitalisme dan Ketimpangan Kuasa
Ada ironi besar dalam narasi pertambangan nikel. Di satu sisi, aktivitas ini digembar-gemborkan mendukung hilirisasi dan transisi energi hijau. Namun di sisi lain, nyatanya, kerusakan ekologis yang terjadi malah menyingkirkan komunitas adat dan nelayan dari wilayah hidup mereka. Alat-alat reklamasi dan teknologi ramah lingkungan yang dijanjikan tidak mampu menangani kerusakan ekologis yang ditimbulkan.
Kerangka pasar dan politik ekonomi yang berlaku tak memberi ruang bagi prinsip kehati-hatian. Korporasi memiliki kekuatan menundukkan hukum, dan keuntungan jangka pendek menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Inilah wajah nyata kapitalisme: sebuah sistem yang mengabaikan kelestarian dan kesejahteraan rakyat demi akumulasi modal.
Peringatan keras datang bukan hanya dari warga lokal, tetapi juga dari dunia internasional. Greenpeace, Climate Rights International, dan Auriga Nusantara menegaskan bahwa pencemaran logam berat akibat tambang dapat mengancam ribuan warga yang menggantungkan hidup pada air bersih dan laut. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pun menyoroti pelanggaran prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), sebuah syarat mutlak dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Islam Kaffah: Jalan Tengah Pengelolaan Sumber Daya
Dalam perspektif Islam kaffah, sumber daya alam tidak boleh menjadi objek eksploitasi bebas. Islam memandang sumber daya sebagai milik bersama (mālikīyah ʿāmm) yang wajib dikelola oleh negara demi kemaslahatan seluruh rakyat. Negara harus bertindak sebagai pengelola yang amanah, bukan fasilitator bagi kepentingan kapital.
Syariat Islam secara tegas melarang segala bentuk kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan. Salah satu konsep penting dalam Islam adalah hima, yakni kawasan konservasi yang secara syar’i harus dijaga dari kegiatan yang merusak keseimbangan ekosistem. Dengan konsep ini, daerah seperti Raja Ampat harusnya menjadi wilayah yang dilindungi total dari aktivitas industri ekstraktif.
Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda bahwa setiap manusia bertanggung jawab terhadap apa yang berada di sekitarnya. Hadis ini tidak hanya bersifat etika, tapi juga landasan hukum yang mewajibkan perlindungan terhadap lingkungan. Dalam sistem pemerintahan Islam, pemimpin bertindak sebagai ra‘in, penjaga rakyat dan alam. Ia wajib menghentikan izin tambang yang ilegal, mempidanakan perusak lingkungan, dan memastikan pemulihan ekologis serta kesejahteraan masyarakat terdampak.
Negara yang berlandaskan syariat (Khilafah) memprioritaskan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan hukum Islam, bukan kepentingan investor. Keterlibatan ulama, ahli lingkungan, dan masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan menjadi keniscayaan. Dengan cara ini, pengawasan terhadap SDA menjadi inklusif, adil, dan berorientasi jangka panjang.
Islam juga menegaskan prinsip keadilan lintas generasi (al-ʿadl bayn al-ajyāl). Artinya, generasi saat ini tidak hanya berhak memanfaatkan alam, tetapi juga wajib menjaganya agar bisa diwariskan dalam kondisi baik kepada generasi mendatang.
Arah Baru Pengelolaan SDA
Kejadian di Raja Ampat adalah cerminan gagalnya negara sekuler dalam menghadirkan keadilan ekologis. Meski memiliki regulasi, penerapannya tumpul di hadapan kekuatan modal. Pemerintah tidak cukup tangguh untuk melawan tekanan ekonomi dari pelaku tambang, sehingga kerusakan terus berulang.
Sebaliknya, Islam kaffah hadir membawa paradigma baru: pengelolaan sumber daya sebagai amanah ilahi yang tidak boleh dikomersialisasi. Negara berkewajiban memastikan distribusi hasil tambang kepada rakyat dan menjaga lingkungan dari kerusakan. Rakyat pun berhak mengawasi kebijakan negara atas dasar amar makruf nahi mungkar.
Prinsip hima, keadilan antargenerasi, dan kesatuan antara iman, lingkungan, serta kemaslahatan menjadi fondasi pengelolaan sumber daya ala Islam. Siapa pun yang merusak lingkungan akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun akhirat.
Penutup: Merawat Alam dengan Iman dan Keadilan
Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau di atas peta. Ia adalah rumah bagi kebudayaan, spiritualitas, dan kekayaan hayati dunia. Jika wilayah ini terus dieksploitasi tanpa batas, maka kita bukan hanya kehilangan ekosistem, tetapi juga mengkhianati amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Solusi bukanlah sebatas penghentian sementara tambang, melainkan perubahan sistemik terhadap cara kita memandang dan mengelola alam. Islam kaffah memberikan arah baru—menggeser logika ekstraktif ke paradigma ekologis dan keadilan. Hanya dengan cara itu, hubungan manusia dan alam akan pulih, iman akan berperan, dan generasi mendatang akan tetap memiliki warisan untuk dijaga.
Via
Opini
Posting Komentar