Opini
Nasionalisme: Sekat Penghalang Persatuan Umat Islam
(Pendidik dan Pemerhati Remaja)
TanahRibathMedia.Com—Kabar terbaru dari Rafah, pintu perbatasan yang menghubungkan Mesir dan Jalur Gaza, kembali menampar nurani umat. Puluhan aktivis dari berbagai negara yang tergabung dalam Global March to Gaza (GMTG) ditolak masuk oleh otoritas Mesir. Mereka diusir bahkan sebelum sempat melangkah menuju Gaza untuk menyuarakan solidaritas kemanusiaan dan menentang blokade brutal Israel yang telah berlangsung selama lebih dari 17 tahun. Apa yang mereka temukan di gerbang Rafah bukanlah sambutan dari sesama manusia, melainkan tembok nasionalisme yang dingin dan tak berperasaan.
Aksi ini terjadi di tengah gelombang solidaritas global untuk Palestina. Di Jakarta, ribuan orang memadati kawasan Bundaran HI untuk ikut serta dalam GMTG. Spanduk, seruan, dan doa mengalir deras dari mulut dan hati rakyat biasa umat yang menolak diam saat anak-anak Palestina dikepung dan dibombardir (Republika.co.id, 14-06-2025).
Namun, mengapa suara-suara ini tidak pernah mampu menggerakkan para pemimpin negeri-negeri Muslim? Mengapa bantuan selalu tertahan? Bahkan gerakan kemanusiaan pun harus dibubarkan? Jawabannya ada pada dua kata kunci: nasionalisme dan sekat negara bangsa
Nasionalisme: Sekat yang Merusak Ikatan Akidah
Nasionalisme yang ditanamkan di dunia Islam bukanlah semangat cinta tanah air yang murni. Ia merupakan racun yang diwariskan oleh kolonialis Eropa untuk memecah belah umat yang sebelumnya satu tubuh di bawah kepemimpinan Khilafah Islam. Ketika Khilafah Utsmaniyah runtuh pada tahun 1924, negara-negara baru bermunculan dengan batas-batas buatan kolonial: Irak, Suriah, Yordania, Mesir, dan lainnya.
Alih-alih menjadi benteng bagi Palestina, negara-negara ini justru menjadi pagar yang membatasi pergerakan umat. Tentara mereka tidak bergerak untuk membela Gaza, melainkan menjaga perbatasan agar rakyat Palestina tetap terpenjara. Para penguasa negeri Muslim pun tidak berdiri bersama rakyatnya, melainkan lebih memilih menjaga hubungan baik dengan Amerika dan Barat demi keberlangsungan kekuasaan mereka.
Inilah bentuk nyata dari pengkhianatan ideologis, saat loyalitas terhadap tanah air mengalahkan loyalitas terhadap agama dan saudara seiman. Padahal, Islam memandang bahwa umat ini adalah satu tubuh. Ketika satu bagian tubuh sakit, bagian lainnya turut merasakannya. Namun, di bawah sistem negara-bangsa, tubuh ini dipecah dan dikurung dalam sekat-sekat kepentingan geopolitik yang dibentuk oleh musuh Islam.
Kembali pada Kepemimpinan Politik yang Menyatukan
Berbeda dengan sistem negara-bangsa yang memecah belah umat, Islam dalam sejarahnya memiliki satu entitas politik yang menyatukan kaum Muslimin, yakni Khilafah Islamiyah. Di bawah kepemimpinan ini, perbatasan bukan penghalang, melainkan penghubung. Ketika satu wilayah Muslim diserang, seluruh wilayah Muslim lainnya bersatu membela. Inilah yang dahulu membuat dunia segan terhadap kekuatan umat Islam.
Khilafah tidak hanya menyatukan secara geografis, tetapi juga secara ideologis. Politik luar negerinya berdiri di atas dasar akidah Islam, bukan kalkulasi diplomatik atau tekanan ekonomi. Oleh karena itu, saat ada umat yang tertindas, Khilafah tidak sibuk mencari restu dari Barat untuk bertindak.Hari ini, harus kita akui bahwa tidak ada lembaga internasional, konferensi perdamaian, atau PBB yang dapat menghentikan penjajahan Israel. Semua hanya simbol kosong. Umat Islam harus menyadari bahwa arah perjuangan tidak cukup dengan aksi kemanusiaan semata, melainkan harus mengarah pada perubahan sistemik : mencabut sekat negara-bangsa dan mewujudkan kembali kepemimpinan Islam yang menyatukan.
Inilah mengapa penting bagi umat untuk mendukung dan bergabung dalam gerakan politik ideologis yang konsisten memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gerakan yang tidak tunduk pada nasionalisme atau kepentingan lokal, tetapi menjadikan pembebasan umat sebagai misi global yang menyatu dalam akidah dan syariat.
Palestina bukan hanya persoalan rakyat Palestina. Ini adalah persoalan umat. Saat kita menonton anak-anak Gaza menangis di layar televisi, sejatinya kita sedang menatap cermin kelemahan kita sendiri sebagai umat yang tercerai-berai. Kita harus bertanya: Sampai kapan kita biarkan batas-batas nasionalisme menghalangi langkah kita? Sampai kapan kita hanya bisa mengirim doa, sementara tentara kita tetap diam dalam barak mereka?
Khatimah
Perjuangan untuk Palestina bukan sekadar tentang bantuan kemanusiaan. Ini adalah tentang kebangkitan politik Islam, tentang membangun kembali perisai umat, yaitu Khilafah, yang akan menyatukan kekuatan kaum Muslimin dan membebaskan Palestina secara hakiki, bukan simbolik. Seperti yang dikatakan oleh Khalifah Umar bin Khattab, Kami adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Jika kami mencari kemuliaan selain dari Islam, maka Allah akan menghinakan kami. Kutipan ini seharusnya menjadi alarm bagi umat hari ini, bahwa hanya dengan Islam, perjuangan untuk keadilan dan kebebasan akan menemukan jalan.
Ketika kita tinggalkan nasionalisme dan kembali pada identitas Islam yang sejati. Saat itulah pembebasan Al-Aqsha menjadi nyata. Dunia akan kembali menyaksikan cahaya keadilan bersinar dari Timur, bukan dari diplomasi Barat yang penuh kepalsuan. Lalu, janji Allah bahwa Khilafah tegak yang akan membebaskan Palestina. Islam kembali memimpin dunia menebar rahmat ke seluruh alam.
Via
Opini
Posting Komentar