Feature News
Menguatkan Hati
Oleh: L. Nur Salamah
(Sahabat Feature News)
TanahRibathMedia.Com—"Mbak, saya izin pulang dulu ya," ucapku lirih dengan air mata yang sudah menganak sungai, aku cium tangan guruku.
Aku ambil tas ransel, memasukkan kitab ke dalamnya seraya membalikkan badan dengan sejuta perasaan. Tak mampu aku menatap wajah teman-teman yang lain, karena ada perasaan sedih dan malu menyelimuti jiwa dan ragaku.
Dengan terus melangkah menuju pintu keluar, aku berusaha menguatkan hati dan menahan agar buliran bening itu tidak mengalir liar.
"Ayo pulang!" ucapku agak dingin kepada ketiga anakku, yang sejak masih di rumah sudah cukup menguras energi dan emosi.
Hari ini, Rabu, 14 Mei 2025, merupakan jadwal rutin kajian mutu, mengkaji dua kitab, yakni Kitab Tazkiratus Sami' dan Al-Kafi, sarah jurumiah. Asuhan Ustazah Tyas Sayekti, yang kerap dipanggil Teh Tyas. Tapi aku memanggilnya dengan Mbak Tyas.
Kajian ini sebelumnya bertempat di rumah Mbak Tyas. Namun karena ada sedikit kendala, maka sudah dua kali pertemuan, pekan lalu dan hari ini bertempat di ruang TPQ Kampung Pandawa.
Hari ini aku berusaha untuk datang lebih awal, dengan harapan bisa mengkondisikan anak-anak terlebih dahulu. Aku suapi mereka bertiga dengan nasi putih dan tahu telur yang aku persiapkan dari rumah.
Ketika disuap pun, mereka sudah rieweuh. Mulai dari rebutan tempat, rebutan antrian disuap sampai dorong-dorong meja. Aku masih tidak begitu menghiraukan. Karena kajian belum dimulai.
Setelah kenyang, mereka bergegas untuk lari meninggalkanku. Bukannya tenang, suara mereka bertiga justru bak pasar yang riuh dengan aktivitas jual beli.
Sekali dua kali aku peringatkan. Ternyata masih tetap tidak berpengaruh. Aku ajak mereka keluar di nasihati agar salih & salihah tidak menggangu orang yang sedang belajar, ternyata masih tetap juga.
Aku tatap mereka dengan pandangan agak tajam tidak juga mengubah keadaan. Mereka tetap sibuk mendorong-dorong meja di ruang TPQ untuk disusun, agar bisa mereka berbaring. Karena sudah tidak bisa lagi dikondisikan, maka dengan segala perasaan aku memutuskan untuk meminta izin pulang terlebih dahulu.
Sepanjang perjalanan pulang hingga tiba di rumah, bibirku seakan kelu. Serasa berat untuk berkata-kata. Antara kesal, sedih, dan malu. Kesal karena tingkah polah bocah. Sedih karena tidak bisa belajar dan malu karena anak-anak yang Allah Swt. titipkan cukup aktif.
Sedari awal sudah aku peringatkan mereka agar berbaik budi. Namun realitas tidak seindah harapan.
Setibanya di rumah, aku ambil air wudhu dan salat Duha untuk mengalihkan berbagai perasaan tidak nyaman.
"Ya Allah, mampukan aku untuk memikul segala amanah di pundak ini! Menjadi istri, menjadi ibu, menjadi penuntut ilmu dan pengemban dakwah. Tuntunlah diri ini ke jalan yang Engkau rihoi," pintaku saat sujud terakhir di atas sajadah panjang ku.
Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya tumpah. Para ‘malaikat’ kecil itu mendekat, mendekap penuh harap agar tanganku meraihnya untuk memeluk mereka.
"Bunda, maafin aku ya! Aku sayang Bunda," ucap mereka mengiba.
"Iya, Bunda maafin. Tapi jangan diulangi lagi ya. Kalau Bunda ngaji, Bunda ngisi kajian atau ada orang yang sedang berbicara tidak boleh mengganggu. Oke?" ucapku kepada tiga bocah itu. Karena sekesal apapun, aku tak mungkin menghajar mereka. Mereka adalah bocah-bocah yang belum bisa membedakan baik dan buruk. Bahkan bicara saja belum jelas. Hanya sebatas mengingatkan, mengingatkan dan terus mengingatkan.
Hanya doa yang terus aku langitkan agar mereka kelak menjadi anak-anak yang saleh, cerdas dan paham terhadap agamanya.
Via
Feature News
Posting Komentar