Opini
Marak Ibu Bekerja, Kejar Karir atau Terpaksa?
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
Sahabat Tanah Ribath Media
TanahRibathMedia.Com—Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia meluncurkan hasil jumlah prosentase perempuan sebagai tenaga profesional di dunia industri, di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2022-2024, yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2022, jumlah perempuan yang bekerja mencapai 48,6 persen, maka di tahun 2023 terjadi kenaikan 1 persen menjadi 49,53 persen dan pada tahun 2025 menjadi 50,13 persen (bps.go.id, 25-4-2025).
Data dari BPS juga menyebutkan bahwa peningkatan berdasarkan jenis kelamin, angkatan kerja wanita juga mengalami kenaikan selama 5 tahun terakhir. Pada bulan Februari 2024 lalu, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan tercatat mencapai 55,41% yang ini menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan pada peran perempuan di dunia industri (Datagoodstats.id, 21-5-2024).
Namun, kenaikan persentase karir perempuan di dunia kerja ini seolah sejalan dengan kenaikan maraknya kasus-kasus kenakalan, kejahatan, dan kriminal yang melibatkan anak sebagai pelaku di Indonesia. Tawuran antar pelajar menggunakan senjata tajam di awal tahun 2025 ini saja sudah melibatkan ratusan pelajar (Pusiknas.polri.go.id, 21-2-2025).
Juga kasus maraknya kasus remaja hamil duluan yang angkanya kian signifikan dari tahun ke tahun, bahkan mencapai angka ribuan menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (cnnindonesia.com, 18-1-2023). Itu belum kasus-kasus lain yang menggambarkan betapa anak-anak kurang kasih sayang dan perhatian orangtuanya akibat kesibukan mencari nafkah.
Terjunnya kaum wanita ke dunia industri tentu tidak lepas dari fakta sulitnya meraih kehidupan yang layak hari ini. Segala kebutuhan hidup menjadi mahal. Sandang, pangan, dan papan seolah perlu usaha keras untuk bisa diraih, serta pendidikan yang berkualitas pun biayanya fantastis untuk bisa dijangkau rakyat kecil. Sementara itu, gaji rata-rata minimum pekerja tak lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka, terjunnya para wanita di sektor industri hari ini tentu saja tidak lepas dari faktor demikian. Karena menggantungkan biaya sehari-hari untuk di level layak hanya dari gaji 1 orang saja, tidaklah cukup.
Apalagi jika para orangtua menginginkan yang terbaik untuk anak dari segi makanan bergizi dan seimbang, pendidikan yang berkualitas, tempat tinggal yang nyaman, serta kendaraan dan segala fasilitas yang memadai. Maka satu-satunya cara untuk meraih itu semua, jelaslah solusi yang kerap kali diambil adalah terjunnya seorang ibu untuk turut andil mencari nafkah.
Meskipun di sisi lain, tidak sedikit para wanita memiliki kegilaan dalam bekerja dan mengejar karir sebagai bagian dari mempertahankan eksistensinya hingga mengorbankan segalanya. Mengorbankan waktunya untuk tidak menikah, mengorbankan pernikahannya hingga bercerai, atau mengorbankan anak-anaknya dan hanya diasuh oleh pengasuh. Namun secara naluriah, seorang ibu yang memiliki anak tentu tidak ingin jauh dari anak-anaknya. Keinginan untuk dekat dan merawat langsung anak-anaknya adalah bagian dari fitrah mereka.
Hanya saja fitrah itu sering ditinggalkan demi melihat jauh ke depan. Yakni ketakutan akan kesulitan hidup, tentang pendidikan dan masa depan sang anak, hingga menjadikan sang ibu rela melakukan apapun, bahkan terbang jauh ke luar negeri demi kesejahteraan sang buah hati. Dan ini fakta yang banyak terjadi di masyarakat kita. Kesulitan ekonomi dan buramnya masa depan akibat kesenjangan sosial, menjadi faktor utama banyaknya para wanita keluar rumah untuk mencari nafkah.
Padahal bila kita telaah lagi pokok permasalahannya, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, kemudahan akses Pendidikan, dan kesehatan adalah bagian dari kewajiban pemerintah untuk mengayomi rakyatnya. Hanya saja hal ini tidak dikenal di sistem sekuler-kapitalisme. Karena di sistem yang diadopsi negara kita saat ini, peran pemerintah hanyalah regulator bagi para pengusaha atau konglomerat. Segala undang-undang dibuat demi keuntungan mereka, meski hal itu harus mencekik rakyatnya. Termasuk minimnya gaji yang diterima para pekerja beserta sistem kontraknya, hingga sempitnya lapangan pekerjaan bagi kaum lelaki.
Di sisi lain, hukum seorang wanita bekerja adalah mubah atau boleh sepanjang pekerjaan tersebut memenuhi rambu-rambu syariat, seperti tidak ada khalwat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan, aurat terjaga, menjalankan pekerjaan yang tidak menjurus kepada kemaksiatan atau yang sifatnya mengeksploitasi, serta tetap menjalankan kewajibannya kepada Allah dan suami (apabila ia seorang istri), dan tetap amanah dalam kewajibannya merawat anak-anaknya (jika ia seorang ibu).
Karena bagaimana pun dunia pendidikan, kesehatan, serta perdagangan yang membutuhkan wanita sebagai penjualnya seperti menjual alat-alat kecantikan dan pakaian dalam wanita, jelas sangat membutuhkan peran wanita di sini. Hanya saja, jika kita melihat lagi fakta yang terjadi di lapangan, para ibu kerap kali melalaikan tugasnya sebagai seorang hamba Allah seperti menutup aurat dan menjalankan sholat, juga melalaikan tugasnya sebagai istri dan ibu hingga anak-anaknya menjadi terlantar, lantaran sibuknya ia dalam bekerja. Peraturan perusahaan pun tak ada satupun yang memberikan kelonggaran, sekalipun si pegawai memiliki bayi. Lantas, di mana peran pemerintah dalam melindungi hak-hak pekerja? Tidak ada! Karena nyatanya, UU dibuat hanya untuk menguntungkan para pengusaha.
Kebutuhan hidup yang sulit, ditambah dengan penghasilan yang minim, lalu UU yang lebih condong ke pengusaha, menjadi faktor terbesar keluarnya para perempuan secara terpaksa untuk turut menyingsingkan lengan mencari nafkah. Inilah konsekuensi hidup dalam sistem sekuler-kapitalisme.
Berbeda apabila sistem Islam yang diterapkan oleh negara, maka segala kebijakan untuk pengelolaan Sumber Daya Alam tidak akan menggunakan investor asing, melainkan dikelola sendiri oleh negara dengan mempekerjakan anak bangsa sendiri, sehingga hal ini memberikan kesempatan terbukanya lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Ketiadaan investor asing dalam pengelolaan SDA ini juga otomatis memangkas besar penghasilan yang seharusnya diperuntukkan kepada investor sebagai keuntungan mereka. Alhasil, keuntungan besar itu cukup untuk memberikan gaji yang layak bagi para pekerja dan sisanya masuk ke Baitul Mal.
Adanya Baitul Mal juga menjadi kekuatan perekonomian negara untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat berupa akses kesehatan dan pendidikan yang mudah dijangkau, juga murahnya sandang-pangan-papan akibat pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara. Selain itu, Khalifah selalu pemimpin negara membuat kebijakan berupa kewajiban bagi setiap laki-laki yang sudah Akil baligh dan mampu, untuk bekerja. Selain untuk mengajarkan kepada para laki-laki untuk menjalankan fitrahnya sebagai pencari nafkah, juga tentunya mencegah keluarnya para istri untuk turut mencari nafkah secara terpaksa.
Maka, kasus-kasus kenakalan remaja, anak-anak yang terlantar dan kurang kasih sayang serta perhatian orangtua tidak akan pernah ada. Karena ibu mereka ada di rumah untuk menjaga mereka. Ayah mereka bekerja tanpa berpikir lagi bagaimana mencari tambahan uang akibat minimnya gaji, serta tak ada lagi kegalauan yang dirasakan mereka terkait masa depan anak-anaknya akan pendidikan atau kesehatan.
Inilah dua perbedaan secara nyata dan jauh antara sistem sekuler-kapitalisme dan sistem Islam. Sistem sekuler-kapitalisme hanya menguntungkan para pengusaha dan menyengsarakan rakyat, sementara sistem Islam memberikan kesejahteraan bagi rakyat secara merata.
Melihat perbedaan keduanya ini, maka sebagai seorang muslim, memperjuangkan penegakan syari'at Islam untuk diterapkan oleh negara adalah bagian dari usaha untuk menyelesaikan persoalan hidup hari ini. Termasuk juga untuk mengatasi lelahnya seorang ibu yang harus menambah peran di luar rumah sebagai seorang pekerja. Jika dibolehkan berteriak, tentu para pekerja wanita yang terpaksa bekerja ini akan berteriak kencang akan kelelahan yang mereka alami hari ini. Hanya saja, kelelahan itu tidak akan berubah selamanya jika kita tidak memahami akar masalahnya, yakni sistem rusak bernama kapitalisme.
Seperti potongan firman Allah dalam Qur'an surat Ar-Ra'd ayat 11, yang artinya:
"... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri..."
Maka, demi kehidupan yang lebih baik, memperjuangkan penegakan syari'at Allah di negara ini dan dunia adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi segala persoalan umat manusia hari ini.
Wallahu 'alam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar