Opini
Ketika Fantasi Sedarah Semakin Marak, Maka Keluarga Telah Mati di Tangan Sekularisme
Oleh: Endah Dwianti, S.E., CA., M.Ak.
(Pengusaha)
TanahRibathMedia.Com—Di tengah gegap gempita bangsa ini mengeklaim sebagai negeri agamis, fakta justru menampar kesadaran kita dengan keras: sebuah grup Facebook yang secara terbuka mempromosikan fantasi inses. Bukan fiksi, ini nyata. Diakses, dikomentari, dibagikan, bahkan didiskusikan seolah-olah itu hal biasa. Maka pertanyaannya, bukan sekadar "kok bisa?" tetapi kenapa kita sampai pada titik ini?
Jawabannya sederhana, tetapi menuntut keberanian untuk diakui: karena kita hidup di bawah sistem yang rusak yaitu sekularisme yang menyingkirkan agama dari ruang publik dan kapitalisme yang menjadikan manusia sekadar alat produksi dan konsumsi.
Kapitalisme dan Sekularisme: Dua Wajah Sistem yang Sama-Sama Busuk
Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan. Kapitalisme menghamba pada keuntungan. Keduanya melahirkan generasi tanpa nilai, tanpa arah, tanpa pagar. Dalam sistem ini, agama boleh hidup, asal dibatasi pada sajadah dan tembok masjid. Namun, ketika ia bicara tentang moral, keluarga, media, atau kebijakan publik, ia akan dibungkam sebagai “radikal” atau “kolot”.
Di saat yang sama, kapitalisme terus memoles dosa menjadi gaya hidup. Seks bebas dilabeli kebebasan berekspresi. Aurat dipamerkan atas nama seni. Pornografi dikemas jadi hiburan. Fantasi disimpang tak lagi dianggap abnormal, tetapi alternatif. Lalu saat inses merebak, semua pura-pura terkejut?
Hal yang lebih tragis adalah peran negara. Negara yang seharusnya menjadi penjaga moral dan pemangku kebijakan, justru hanya tampil sebagai buzer moral musiman. Sekadar mengutuk, mengusut, lalu lupa.
Padahal, sistem hukum dan kebijakan yang ada justru membuka ruang lebar bagi penyimpangan: sensor longgar, edukasi moral nihil, konten vulgar lolos klasifikasi 18+, dan pergaulan bebas yang dilegalkan. Negara dalam sistem sekuler kapitalis ibarat pemadam kebakaran yang sibuk menyiram api di ujung daun, tetapi membiarkan bensin terus disiram ke akar.
Islam: Bukan Opsi, tetapi Kebutuhan Peradaban
Berbeda dengan sistem hari ini yang membebaskan nafsu lalu kebingungan ketika ia membakar, Islam hadir bukan hanya untuk memadamkan kebakaran moral, tetapi mencegahnya sejak percikan pertama. Islam tidak hanya melarang inses, tetapi membangun pagar kokoh yang menjaganya tetap haram dalam akal dan perilaku.
Islam mewajibkan hijab, bukan sekadar kain, tetapi sistem interaksi yang menjaga kemuliaan perempuan. Islam memisahkan ruang publik lelaki-perempuan non-mahram, bukan untuk membatasi, tapi untuk menjaga. Islam mengharuskan amar makruf nahi mungkar agar masyarakat saling mengoreksi, bukan saling membiarkan.
Hal yang paling penting, Islam menjadikan negara sebagai penjaga moral tertinggi. Negara dalam Islam tidak netral terhadap maksiat. Ia aktif mencegah, menghukum, dan mendidik. Sistem pendidikan dan medianya diarahkan untuk membentuk manusia bertakwa, bukan budak konten.
Kita terlalu lama tertipu bahwa penyimpangan adalah masalah personal, bukan sistemis. Bahwa pelakunya sekadar “sakit” atau “sesat”, bukan korban dari sistem pendidikan sekuler, media liberal, dan hukum permisif. Padahal, kerusakan ini bukan hanya dosa individu, tetapi dosa kolektif akibat pembiaran sistematis.
Jika akar masalahnya adalah sistem, maka solusinya juga sistem. Kita tak sedang butuh revisi KUHP, atau penambahan pasal-pasal moralitas semu. Kita butuh sistem yang menyeluruh yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar hukum, media, pendidikan, dan kehidupan keluarga.
Itulah Islam. Bukan Islam versi privat. Namun, Islam sebagai ideologi yang mengatur negara dan masyarakat secara menyeluruh. Selama kita masih bersikukuh mempertahankan sistem sekuler kapitalis ini, maka bersiaplah melihat lebih banyak keluarga hancur, lebih banyak generasi tumbuh tanpa arah, dan lebih banyak kebiadaban yang disulap jadi “pilihan hidup.” Islam secara kafah. Bukan untuk romantisme masa lalu. Namun, untuk menyelamatkan masa depan peradaban manusia. Sebelum semuanya benar-benar terlambat.
Wallahualam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar