Opini
Dituntut Pintar Tapi Susah Mendapatkan Akses Belajar
Oleh: Maya A
(Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—Dituntut menjadi generasi pintar, namun minim support untuk akses belajar. Mungkin beginilah yang dirasa oleh rakyat di negeri ini. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa rata rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP). Hanya sekitar 10,2% penduduk usia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah perguruan tinggi, sementara lulusan SMA masih mendominasi di angka 34,12% (Beritasatu, 2-5-2025).
Masalah tingginya angka-anak tidak sekolah, atau hanya menamatkan pendidikan dasar dan menengah pertama sejatinya bukan hal baru. Dari tahun ke tahun, rezim ke rezim dan pergantian menteri yang berulang dengan berbagai program yang digagas untuk memperbaiki dan menanggulangi problem ini, nyatanya masih menemui jalan buntu. Kartu Indonesia pintar (KIP) kuliah, perluasan akses perguruan tinggi negeri, sekolah gratis, serta penguatan pendidikan vokasi dan sederet bantuan lain terbukti tidak menyelesaikan masalah. Karena realitanya belum semua rakyat dapat mengakses layanan pendidikan, apalagi program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya pun terbatas.
Problem menahun yang menggantung ini sejatinya tak lepas dari nihilnya evaluasi secara kritis mengenai akar permasalahan. Sehingga yang terjadi, solusi demi solusi yang ditawarkan kerapkali bersifat tambal sulam dan pragmatis. Padahal, masalah disparitas lama bersekolah adalah dampak nyata dari penerapan prinsip prinsip kapitalisme dalam pengelolaan sistem pendidikan di tanah air.
Pertama, dalam kapitalisme pendidikan dipandang sebagai komoditas yang tidak lebih menguntungkan dibanding investasi negara di bidang ekonomi. Ini tampak pada minimnya anggaran pendidikan ketimbang anggaran yang digelontorkan untuk proyek/infrastruktur yang konon menghasilkan keuntungan ekonomi lebih. Efisiensi anggaran pendidikan yang beberapa waktu lalu, sempat, digagas makin memperburuk kondisi.
Kedua, masih soal alokasi anggaran yang belum sesuai kebutuhan juga disebabkan oleh kapitalisme yang mengkerdilkan peran negara sebatas regulator. Negara tidak lagi memainkan perannya secara maksimal sebagai pengurus rakyat. Ia kerap abai pada fenomena ketidaktepatan pengelolaan anggaran. Saling lempar tanggung jawab, tidak meratanya akses dan kualitas pendidikan adalah fakta yang jamak ditemui akibat kurangnya kontrol pemerintah pusat.
Ketiga, ekonomi kapitalisme berhasil menjauhkan negara penganutnya jauh dari kata sejahtera dalam segala aspek kehidupan. Rusaknya tata kelola SDA tidak memberi keuntungan apapun bagi rakyat kecil. Sebaliknya, justru cukong kapitalis, swasta bahkan asinglah yang bebas merasai manisnya pundi-pundi hasil jarahan kekayaan alam. Padahal pengelolaan yang tepat, bisa menjadi solusi biaya pendidikan bahkan kesehatan gratis.
Efek domino dari liberalisasi SDA ini memberi ruang bagi ketimpangan sosial dan ekonomi untuk mempengaruhi akses terhadap pendidikan yang merata. Jenjang pendidikan tinggi hanya bisa dinikmati kalangan berduit, sementara orang miskin harus merasa cukup dengan tingkat pendidikan dasar/menengah.
Adapun dalam khilafah, institusi yang mengambil Islam sebagai sistem kenegaraan, yang eksistensinya pernah menjadi mercusuar dunia termasuk dalam hal pendidikan, yang darinya pula lahir ratusan intelektual Muslim - menempatkan pendidikan sebagai hak dasar setiap warganya. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata untuk membentuk manusia berilmu, bertakwa, dan berketrampilan tinggi.
Hal ini bukan perkara sulit, sebab para pemangku kekuasaan bukan orang yang haus kekuasaan. Mereka adalah orang orang terpilih yang bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya baik kemampuan maupun ketakwaan. Mereka paham betul fungsi jabatan dan amanah yang bertengger di pundaknya tak lain sebagai penanggungjawab jawab urusan rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, para penguasa didalam sistem Khilafah akan bersungguh-sungguh dalam memenuhi hak setiap individu rakyat termasuk hak pendidikan.
Adapun soal pembiayaan, khilafah memiliki sumber dana mumpuni yang berasal dari fai, kharaj dan kepemilikan umum yang merupakan hasil dari pengelolaan SDA. Tanpa campur tangan asing/swasta, semua keuntungan dari pengelolaan ini akan dikembalikan kepada rakyat 100%. Kemudian, seluruh sumber keuangan ini dikelola secara sentralisasi oleh baitul mal.
Dengan demikian, solusi persoalan pendidikan yang tak kunjung tuntas di sistem kapitalis ini adalah diterapkannya kembali syariat Islam secara menyeluruh dalam bingkai khilafah. Sebab hanya Islam dan institusi negaranya yang mampu menandingi bahkan mengalahkan jerat jerat kapitalisme yang kini mengekang negeri-negeri Muslim. Hanya Islamlah yang berani menyelesaikan persoalan dengan melihat pada akar permasalahan dan mulai membenahi dari akar pula.
Satu yang pasti, sistem yang shahih hanya akan menyaring orang orang shalih untuk memikul tanggung jawab dan menyingkirkan mereka yang tidak layak. Tidak ada celah bagi orang zalim untuk berkuasa dan membawa mudharat bagi orang banyak.. Inilah yang mestinya kita perjuangkan eksistensinya jika benar benar ingin mengulang kembali masa kejayaan yang dulu pernah melingkupi kaum Muslimin.
Via
Opini
Posting Komentar