Motivasi
Bolehkah Aku Berhenti Menulis?
Oleh: Asma Sulistiawati
(Pegiat Literasi)
TanahRibathMedia.Com—Aku duduk sambil memegang handphone. Membuka word dengan lembar yang kosong, menantiku mengetik satu huruf, satu kata, satu kalimat. Tapi jemariku kaku. Tak satu pun kata mengalir. Hari ini, aku benar-benar lelah.
Sudah berbulan-bulan aku menulis. Tulisan demi tulisan kutuangkan, berharap bisa menyentuh hati, membuka pikiran, atau sekadar menjadi pengingat. Tapi makin hari, aku merasa sepi. Tak banyak yang membaca. Tak banyak yang peduli. Yang membaca pun lebih tertarik pada sensasi daripada substansi.
“Untuk apa lagi aku menulis?” batinku bergumam lirih.
Apakah aku terlalu naif berharap tulisan bisa mengubah dunia?
Apakah aku terlalu idealis menyangka huruf-huruf bisa menggetarkan jiwa?
Badanku bersandar ke dinding. Mataku terus menatap layar handphone sambil merenung. Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa saat aku pertama kali jatuh cinta pada tulisan. Aku menulis saat itu karena tanpa sengaja ikut kelas tulisan yang dibawakan oleh salah satu guru. Beliau menyampaikan kiat-kiat atau cara bisa menulis dengan baik dan tak lupa diberi tugas untuk dikerjakan. Saat itu rasanya ingin menyerah di kondisi itu. Karena tak tau caranya. Tetapi beliau tetap sabar, sabar melihat tulisan yang sangat berantakan. Sesekali beliau memberi saran, yang akhirnya jadilah juga satu tulisan pertama saya.
Saat itu, menulis adalah bentuk untuk dakwah lewat udara. Di saat lisan masih terlalu kaku. Tak lupa untuk sesekali ikut kelas guna memantapkan dan menajamkan lagi tulisan yang diukir.
Alhasil, aku bisa tumbuh berkat bantuan para guru. Aku mulai menulis bukan hanya untuk diriku. Aku menulis untuk orang lain, untuk umat, untuk kehidupan. Aku belajar bahwa tulisan bisa menjadi kekuatan. Bisa menjadi dakwah. Bisa menjadi senjata melawan kezaliman. Aku menulis dengan gairah, dengan semangat. Setiap kalimat kutulis seolah sedang menanam benih kebaikan yang suatu hari akan tumbuh.
Tapi kini…
Aku mulai ragu. Dunia terlalu bising. Kebatilan terlalu lantang. Aku, dengan tulisan-tulisanku yang sederhana terasa kecil, nyaris tak berarti.
Lalu aku terdiam. Lama.
Tiba-tiba muncul satu pertanyaan yang menghantam hatiku:
“Sejak kapan menulis harus diukur dengan respon manusia?”
Aku tertegun.
Sejak kapan aku mulai menulis demi angka, demi pujian, demi validasi?
Bukankah awalnya aku menulis karena ingin menjadi saksi atas apa yang kutahu?
Bukankah aku menulis karena aku tahu, ada kebenaran yang harus terus disuarakan?
Bukankah menulis adalah bentuk ibadah bukan karier, bukan lomba?
Aku lalu teringat satu nasehat. Seorang guru mengingatkan: "potensi setiap orang berbeda-beda, dan setiap potensi akan dimintai pertanggungjawaban". Aku tersadar sudah terlalu lama jauh dari Allah.”
Hanya satu nasehat. Tapi cukup untuk membuatku merasa tertampar.
Mungkin tidak semua tulisan akan dibaca.
Tidak semua akan dikomentari.
Tapi bila satu tulisan mampu menggerakkan satu jiwa menuju Allah, bukankah itu sudah cukup?
Karena tujuan akhir menulis bukanlah popularitas, tapi keikhlasan.
Bukan pengakuan manusia, tapi ridha ilahi.
Jadi, bolehkah aku berhenti menulis?
Tidak. Aku tidak boleh berhenti.
Karena selama hidup ini masih berjalan, masih ada kebaikan yang harus disampaikan.
Masih ada luka yang perlu diobati.
Masih ada ruh yang menanti untuk disentuh dengan kalimat yang hidup.
Dan mungkin, tulisan-tulisan kecilku adalah bagian dari itu.
Aku menatap layar lagi. Jemariku mulai bergerak.
Bukan karena aku kuat. Tapi karena aku ingat:
Menulis adalah caraku bersaksi.
Dan aku ingin kelak di hadapan-Nya, aku bisa berkata,
"Ya Rabb, aku telah menulis apa yang aku tahu. Aku tidak diam."
Lelilef, 29 Mei 2025
Via
Motivasi
Posting Komentar