Opini
Lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ bikin Ambyar
Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak
(Penulis Ideologis)
Sukatani, grub band bergenre punk baru-baru ini menggemparkan jagad maya usai lagu "Bayar Bayar Bayar" menggema di seluruh media sosial. Pasalnya, Sukatani menuangkan keresahan masyarakat melalui lagu "Bayar Bayar Bayar" sebagai bentuk kritikan terhadap aparat polisi.
Kritik tajam Sukatani ternyata cukup membuat ketegangan di circle polisi, terlebih secara tiba-tiba dua personil Sukatani mengunggah video permintaan maaf atas karyanya sendiri. Tidak cukup sampai di situ, lagu tersebut ditarik dari seluruh platform pemutaran musik.
Anehnya, ketika Sukatani kembali manggung tanpa membawakan lagu Bayar Bayar Bayar yang tengah viral, meskipun penonton sudah request berulang kali, tapi tetap tidak dinyanyikan. Terlihat, sepanjang konser, gabungan polisi pun turun ke lokasi untuk memantau serta memperketat keamanan (Tempo.com, 24-2-2025).
Ketika melihat secara seksama, berdasarkan "view helikopter", sistem demokrasi memiliki seperangkat aturan tentang kebebasan berpendapat yang tertuang dalam undang-undang pasal 28 E ayat 3, perihal setiap manusia berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat.
Namun adanya video permintaan maaf Sukatani, justru memicu penggiringan opini liar di tengah-tengah masyarakat. Hampir seluruh netizen sepakat dengan lagu Bayar Bayar Bayar, karena liriknya sangat relate dengan realitas yang ada.
Hidup dengan aturan demokrasi yang katanya paling melindungi hak asasi manusia, nyatanya banyak suara rakyat dikriminalisasi. Mereka bilang, demokrasi memberikan kebebasan manusia untuk berpendapat, ternyata ekspresi yang dituangkan lewat karya dilarang tayang kembali.
Jadi sebenarnya, kebebasan berpendapat itu milik siapa? Kenapa terkesan pemilik jabatan anti kritik, sedangkan rakyat jelata selalu dikritik?
Bayar Bayar Bayar ramai menjadi perbincangan seluruh masyarakat, termasuk konten kreator. Setiap postingan yang membahas lirik lagu tersebut sontak dibanjiri beragam komentar netizen. Uniknya, kolom komentar didapati penuh dengan curhatan netizen yang ikut geram akan maraknya oknum polisi yang nakal. Dari fenomena tilang harus bayar polisi, buat SIM bayar polisi, bahkan yang miris mau masuk polisi harus bayar polisi. Ini juga menunjukkan betapa rapuhnya sistem hukum di negeri ini.
Adanya rumor 'no viral no justice' bukan menjadi rahasia publik lagi, bahkan terbukti akan kebenarannya. Hidup di era digital nativ hari ini, memang memiliki tantangan tersendiri. Orang bisa bertindak kriminal melalui gadget, namun orang juga bisa menuntut keadilan melalui media sosial.
Masih Ingatkah?
Masih ingatkah dengan sosok Wiji Thukul, aktivis sekaligus penyair. Lewat karya puisi-puisi yang terkenal kritis terhadap berbagai bentuk ketidakadilan. Banyak puisi yang sangat relate dengan keadaan sekarang, termasuk puisi berjudul Peringatan yang menyiratkan perlawanan.
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang,
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan,
dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah,hanya ada satu kata: Lawan!"
(Wiji Thukul)
Kriminalisasi Menyasar ke Ulama
Sosoknya seakan hilang ditelan bumi, tanpa meninggalkan tapak sejak bahkan tiada kabar sampai detik ini. Berdasarkan riset, kepergiannya sangat misterius pada tahun 1998. Rekam jejak Wiji Thukul menunjukkan demokrasi anti kritik sudah sejak lama. Ironis, kriminalisasi berkembang menyasar sampai ke ulama.
Setidaknya, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) dinobatkan sebagai top satu radikal nomor satu di Indonesia, karena kerap mengritik kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Kemudian Ustadz Felix Siauw hangat dikenal sebagai pendakwah serta penulis, juga dibranding sebagai tokoh radikal setelah UIY. Ustadz Felix sering mengedukasi umat tentang Islam rahmatanlil'alamin, serta mengritik kebijakan yang tidak mencerminkan kesejahteraan.
Ekspresi kebebasan pendapat masih dikriminalisasi, menunjukkan pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak berjalan. Bisakah dikatakan para pemangku kekuasaan melanggar aturan yang dirancang sendiri?
Seharusnya publik menyediakan ruang terbuka untuk berdialektika secara tertib. Kebebasan berpendapat harus dihidupkan, karena itulah salah satu cara masyarakat memastikan para penguasa menjalankan wewenangan serta membuat kebijakan selalu dalam koridor aturan yang berlaku.
Namun, ketika dikaji ulang dan secara mendalam. Budaya antikritik ini mencuat ketika ada suara rakyat yang menentang kebijakan. Terjadi perdebatan antara rakyat jelata dengan para penguasa tentang memaknai kesejahteraan. Seperti penggalan puisi Wiji Thukul berjudul Sajak Suara, "Mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?"
Merujuk kepada KBBI, esensi kesejahteraan adalah aman, sentosa, makmur, atau terbebas dalam gangguan. Ketika kesejahteraan ini untuk seluruh warga, baik penguasa, pengusaha, atau manusia biasa tentu semua mendapatkan porsi sejahtera secara merata. Uniknya, dalam konsep demokrasi kekuasaan politik dipegang oleh rakyat. Sehingga kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, ironis itu hanya retorika belaka. Dalam praktiknya berjalan sebaliknya, rakyat tetaplah rakyat tanpa memiliki kuasa apapun.
Politik dalam Islam
Sejenak bercermin dalam kehidupan negara darul Islam, di mana aturan yang diterapkan hanya aturan Islam. Meskipun hanya tinggal sejarah, namun goresan tinta emas menuliskan sejarah peradaban Islam yang gemilang.
Esensi politik dalam Islam adalah mengatur segala urusan serta kesejahteraan rakyat, dan memastikan seluruh kebijakan berjalan sesuai aturan Islam. Dari sini sangat nampak perbedaan yang sangat kontras, karena dalam sistem pemerintahan Islam, rakyat memang wajib hukumnya untuk memberi aspirasi dan kritikan kepada negara.
Belajar dari kisah Khalifah Umar Bin Khattab protes ketika ditunjuk sebagai pemimpin Islam. Kekhawatirannya ketika menjabat sebagai kepala negara tidak akan ada yang berani menegurnya ketika berbuat salah dan tak adil. Umar adalah sosok yang dikenal bijaksana dan pemberani, sampai-sampai setan saja takut kepada Umar karena keimanannya.
Ibrah yang bisa diambil, kekhawatiran Khalifa Umar menunjukkan bahwa dalam sistem apa pun, setiap manusia yang diamanahi kekuasaan harus siap dan mau diingatkan dan dikritik. Sebab pada hakikatnya, manusia memiliki sifat yang lemah, bahkan akalnya terbatas. Sehingga sangat sombong ketika manusia menciptakan aturan hidup sendiri untuk ditaati, pasti akan berkubang kemaksiatan dan kerusakan.
Ini semua merujuk kepada Islam yang fundamental, bukan sekedar agama, melainkan memiliki seperangkat aturan yang paripurna. Dibuktikan dengan kenyataan bahwa Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman. Islam memiliki solusi dari seluruh persoalan kontemporer yang kian beragam dan berkembang.
Sekarang momentum yang tepat, beranjak dari Indonesia gelap menuju Indonesia terang benderang dengan risalah Islam.
Wallahu'alam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar