OPINI
Perceraian Marak: Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh
Oleh: Tati Pranita
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena perceraian di Indonesia kian mengkhawatirkan. Dilansir dari laman kompas.id (07-11-2025), merujuk data Statista, jumlah perceraian di Indonesia mencapai hampir 400.000 kasus sepanjang 2024. Angka tersebut meningkat 13,1 persen dibandingkan satu dekade lalu. Jika dibandingkan jumlah pernikahan di tahun yang sama, kasus perceraian mengambil proporsi 27 persen.
Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan cermin perubahan sosial yang sedang terjadi. Angka ini naik signifikan dibanding beberapa tahun sebelumnya. Ironisnya, penyebab perceraian kini tidak lagi didominasi faktor klasik seperti ekonomi, melainkan juga karena gaya hidup, media sosial, dan lemahnya komitmen dalam pernikahan. Seperti yang dilaporkan news.detik.com (04-11-2025), Kepala Biro Humas dan Komunikasi Publik Kemenag Thobib Al Asyhar mengatakan tren perceraian pasangan muda sebagai salah satu fenomena yang mengkhawatirkan. Ada kecenderungan kenaikan angka perceraian dari keluarga dengan usia pernikahan kurang dari 5 tahun. Artinya, perceraian di usia muda rawan terhadap masalah, baik ekonomi maupun sosial, yang di dalamnya terkait potensi kerawanan terhadap perlindungan anak akibat perceraian.
Kondisi ini mencerminkan betapa rapuhnya fondasi keluarga di tengah arus modernisasi. Padahal, keluarga adalah pilar utama pembentuk generasi dan peradaban. Ketika institusi keluarga hancur, maka yang runtuh bukan hanya hubungan suami istri, melainkan juga masa depan anak-anak dan kekuatan sosial bangsa.
Krisis Rumah Tangga di Era Modern
Peningkatan angka perceraian terjadi seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Di era digital, medsos sering menjadi pemicu perselisihan. Kecemburuan karena interaksi daring, gaya hidup konsumtif, hingga perbandingan dengan kehidupan orang lain di dunia maya memperlemah keutuhan rumah tangga.
Fakta menunjukkan bahwa lebih dari 70% kasus perceraian diajukan oleh pihak istri. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan psikologis, ketidakharmonisan, atau hilangnya rasa saling menghargai dalam relasi suami istri. Ketika komunikasi gagal, pernikahan pun menjadi ladang konflik, bukan tempat berteduh.
Anak-anak menjadi korban paling nyata dari perceraian. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak dari keluarga broken home lebih rentan mengalami depresi, kesulitan dalam belajar, dan kehilangan arah hidup. Mereka tumbuh tanpa teladan yang utuh tentang cinta, tanggung jawab, dan komitmen. Maka tak berlebihan jika perceraian bukan hanya masalah individu, tapi juga ancaman generasional.
Akar Masalah Bukan Sekadar Ekonomi
Sering kali perceraian dianggap akibat lemahnya ekonomi, padahal akar persoalannya jauh lebih dalam, yakni krisis nilai dan lemahnya pemahaman terhadap tujuan pernikahan itu sendiri.
Dalam masyarakat modern yang diwarnai paham sekularisme, pernikahan sering dimaknai sebatas kontrak sosial atau hubungan emosional sementara. Ketika cinta pudar, hubungan dianggap tak perlu dipertahankan. Pandangan ini berakar dari ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga nilai kesabaran, tanggung jawab, dan pengorbanan dianggap beban, bukan ibadah.
Selain itu, budaya individualistik membuat banyak pasangan menempatkan kebahagiaan pribadi di atas kepentingan keluarga. Alih-alih saling melengkapi, mereka justru bersaing dan saling menuntut. Akibatnya, rumah tangga kehilangan ruh sakinah (ketenangan) dan mawaddah (kasih sayang).
Sistem sosial dan ekonomi yang kapitalistik juga memperburuk keadaan. Tekanan hidup, beban kerja, dan tuntutan materi menciptakan jarak emosional antara pasangan. Sementara itu, negara abai menyediakan sistem yang mendukung ketahanan keluarga, karena fokus utamanya masih pada pertumbuhan ekonomi, bukan pembangunan moral.
Solusi Islam: Menegakkan Kembali Pondasi Keluarga Takwa
Islam memandang pernikahan bukan sekadar urusan duniawi, melainkan ibadah dan amanah besar. Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Dari ayat ini jelas bahwa tujuan pernikahan adalah membangun ketenangan, bukan sekadar kesenangan. Maka pondasi utama rumah tangga haruslah takwa kepada Allah, bukan hanya cinta yang fana.
Islam juga menetapkan pembagian peran yang jelas antara suami dan istri. Suami sebagai qawwam (pemimpin) wajib menafkahi, melindungi, dan membimbing keluarga dalam ketaatan. Istri sebagai pendamping berperan menjaga kehormatan dan mendidik generasi dengan nilai iman. Jika masing-masing memahami perannya dengan benar, konflik dapat diminimalisir karena semua berjalan dalam koridor syariat.
Lebih dari itu, negara yang menerapkan sistem Islam (Khilafah) memiliki peran strategis menjaga ketahanan keluarga. Negara wajib menanamkan pendidikan berbasis akidah Islam, mengatur ekonomi agar tidak menekan rumah tangga, dan memberikan bimbingan sosial bagi pasangan bermasalah. Hukum Islam juga menjaga agar perceraian tidak dijadikan solusi instan, melainkan jalan terakhir setelah upaya ishlah (perdamaian) dilakukan.
Saatnya Kembali pada Jalan Islam
Maraknya perceraian adalah tanda serius bahwa masyarakat sedang kehilangan arah dalam membangun kehidupan. Keluarga yang rapuh akan melahirkan generasi lemah dan mudah stres, kehilangan adab, dan tak punya visi hidup. Jika akar masalahnya adalah sistem sekuler yang menyingkirkan aturan Allah dari kehidupan, maka solusinya harus dikembalikan pada Islam sebagai pedoman hidup.
Hanya dengan Islam, pernikahan kembali dimaknai sebagai ibadah, cinta menjadi tanggung jawab, dan keluarga menjadi tempat lahirnya generasi tangguh beriman. Saatnya umat menyadari, perceraian bukan sekadar kisah dua orang yang berpisah, tapi alarm keras bagi masyarakat untuk membangun kembali keluarga di atas landasan takwa dan syariat. Ketika keluarga kokoh, peradaban pun akan tegak. Namun ketika keluarga runtuh, generasi pun rapuh. dan masa depan bangsa ikut terjerembab dalam kehancuran.
Wallahu alam bisshawab.
Via
OPINI
Posting Komentar