opini
Melindungi Anak di Ruang Digital Bukan dengan PP, Tetapi Hapus Sistem Kapitalis Sekuler
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—.Kondisi kehidupan anak dan remaja hari ini sungguh sangat memprihatinkan. Di tengah banjir informasi digital yang semakin bebas diakses justru semakin mengkhawatirkan.
Anak dan remaja semakin banyak yang terpapar konten pornografi, bullying, dan gaya hidup liberal dari media sosial. Tanpa disadari algoritma platform digital membuat konten tidak layak justru lebih mudah ditemukan daripada ilmu yang bermanfaat. Kebebasan berekspresi yang diagungkan sistem sekuler membuat batas benar atau salah semakin kabur saja. Anak terseret pada pergaulan dunia maya yang tanpa pagar.
Bahkan, anak dan remaja yang rapuh mentalnya akibat pengaruh media sosial, berakhir dengan bunuh diri saat mendapat masalah hidup.
Lebih jauh lagi, generasi yang dibersamai oleh validasi digital menjadi mudah runtuh ketika tidak mendapat “like”, tidak diterima kelompok, atau menghadapi tekanan sosial. Mereka tumbuh dengan fondasi mental yang rapuh akibat sisi buruk ruang digital.
Berdasarkan data terbaru UNICEF yang diungkapkan oleh Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, sekitar 48 persen anak di Indonesia pernah mengalami cyberbullying, sementara 50 persen anak yang menggunakan internet rata-rata 5,4 jam per hari terpapar konten pornografi (Kompas.com, 6 Desember 2025)
Temuan ini menunjukkan bahwa ruang digital telah menjadi lingkungan yang rawan bagi anak-anak, sehingga membutuhkan regulasi dan pengawasan yang lebih serius dari negara. Tidak salah kiranya jika negara pun merespons dengan menghadirkan PP Tunas sebagai regulasi perlindungan anak di ruang digital. Namun pertanyaannya: benarkah aturan ini cukup untuk membentengi generasi dari arus destruktif dunia maya?
Harusnya seluruh elemen masyarakat memahami bahwa, ruang digital dan media sosial bukanlah penyebab utama kerusakan yang menimpa anak dan remaja hari ini. Platform digital hanya berperan sebagai “penguat emosi”, mempertebal apa yang sudah ada di dalam diri mereka. Jika anak sedang labil, justru media sosial memperbesar kegelisahannya. Jika anak haus validasi, algoritma menyediakan panggung tanpa batas untuk mencari perhatian. Artinya, yang bermasalah bukan hanya medianya, tetapi bagaimana anak dibentuk sebelum mereka memasuki ruang digital itu sendiri.
Sejatinya kondisi ini berakar pada penerapan sekularisme kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan serta memuja kebebasan tanpa batas. Anak tumbuh dalam sistem yang tidak memberikan fondasi akidah dan akhlak yang kokoh, sementara budaya liberal di sekitar mereka terus menawarkan gaya hidup instan, hedonistik, dan individualistis. Orang tua bekerja dalam tekanan ekonomi kapitalistik sehingga perhatian kepada anak tersisa sedikit. Pendidikan pun berorientasi kompetisi, bukan pembinaan karakter. Maka lahirlah generasi yang secara moral kosong, secara mental rapuh, dan mudah digerakkan oleh tren digital.
Oleh karena itu pembatasan akses media sosial melalui PP Tunas memang terlihat sebagai langkah perlindungan, tetapi sejatinya hanya solusi pragmatis. Ia tidak menyentuh akar persoalan, karena masalahnya bukan sekadar konten yang muncul di layar, melainkan sistem kehidupan yang membentuk cara berpikir dan perilaku anak-anak kita. Selama sekularisme masih menjadi dasar hukum dan kebijakan publik, batas-batas moral akan tetap kabur. PP Tunas bekerja hanya pada aspek teknis, mengatur aplikasi dan durasi, bukan pada pembinaan pola pikir, spiritualitas, dan lingkungan sosial yang membentuk anak secara komprehensif.
Harus dipahami, perilaku manusia dipengaruhi oleh pemahamannya, bukan sosial media. Media sosial hanyalah madaniyah, produk perkembangan iptek yang sifatnya netral. Ia bisa menjadi alat kebaikan atau keburukan tergantung ideologi yang mengatur penggunaannya. Ketika yang melingkupi kehidupan adalah sekularisme, maka media sosial akan cenderung melahirkan konten liberal, hedonistik, dan merusak moral. Sebaliknya, jika ideologi Islam yang menjadi landasan, maka media pun diarahkan untuk membentuk akhlak dan ketakwaan.
Negara memiliki tanggung jawab paling besar dalam membangun benteng keimanan yang kokoh bagi generasi. Ini hanya mungkin melalui sistem pendidikan yang tidak sekadar mengajarkan pengetahuan teknis, tetapi juga membina akidah, membentuk karakter, dan menanamkan cara berpikir Islami. Generasi yang memiliki pemahaman benar akan mampu menyikapi media sosial dengan bijak. Mereka tidak mudah terprovokasi, tidak mudah rapuh, dan tidak mudah hanyut oleh gaya hidup liberal.
Pembinaan moral generasi tidak akan sempurna jika hanya dilakukan di sektor pendidikan. Harus ada negara Khilafah yang akan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan yaitu, politik, ekonomi, sosial, media, hingga teknologi. Dengan demikian, lingkungan yang terbentuk adalah lingkungan yang menuntun manusia taat kepada Allah. Di bawah sistem Islam, negara mengarahkan seluruh perangkat hukum, kebijakan publik, dan budaya masyarakat untuk mewujudkan generasi yang taat, tangguh, dan berkepribadian Islam.
Oleh sebab itu, butuhnya peran seluruh generasi untuk sama- sama memahami dan memperjuangkan penerapan Islam. Kita semua harus memahami, mengkaji, dan memperjuangkan penerapan Islam secara total. Tanpa dukungan kesadaran kolektif, regulasi apa pun akan hanya menjadi solusi tambal sulam. Namun jika umat bersatu dalam visi penerapan syariat, maka lahir generasi yang betul-betul terlindungi, bukan hanya dari bahaya digital, tetapi dari kerusakan ideologi lainnya.
Pada akhirnya, perlindungan anak di ruang digital tidak bisa hanya mengandalkan regulasi teknis seperti PP Tunas. Masalah yang kita hadapi jauh lebih besar daripada sekadar paparan konten negatif. Selama kapitalisme sekuler masih menjadi dasar kebijakan negara, generasi akan terus tumbuh dalam lingkungan yang rapuh dan rentan terhadap arus destruktif dunia maya.
Karenanya, solusi hakiki hanya akan lahir ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Baik individu, masyarakat, dan negara. Lingkungan bebas dari nilai liberal, karena kebijakan publik yang bersumber dari syariat, barulah generasi mampu berdiri tegak menghadapi derasnya informasi digital. Inilah tugas besar kita bersama, memperjuangkan kembali penerapan Islam secara kaffah demi terwujudnya generasi yang kuat, bermartabat, dan terlindungi. Sebab hanya dengan syariat Allah, kehormatan generasi benar-benar terdapat.
Wallahualam bissawab.
Via
opini
Posting Komentar