OPINI
Ibu dan Bayi Meninggal, Hubungan Ironis Antara Nyawa dan Komoditas Kesehatan
Oleh: Anggun Istiqomah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Kabar meninggalnya Irene Sokoy dan bayi dalam kandungannya mengguncang publik dan kembali membuka luka lama tentang buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia. Irene, warga Kampung Hobong, Sentani, Jayapura, harus bolak-balik dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya pada Senin dini hari dalam keadaan darurat. Namun empat rumah sakit diduga menolak dirinya sehingga ia akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan menuju RSUD Dok II Jayapura.
Kabar ini diberitakan luas di berbagai media. Dilansir dari detikSulsel (23-11-2025), penolakan terjadi karena alasan yang beragam: tidak adanya dokter spesialis, ruang operasi yang sedang direnovasi, hingga ruang BPJS yang penuh.
Dilansir dari BBC Indonesia (24-11-2025), bahwa kasus serupa bukanlah yang pertama terjadi di Papua. Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey, menyebut tragedi ini sebagai sesuatu yang “sangat memilukan dan memalukan”.
Tragedi ini menggambarkan bagaimana nyawa seorang ibu dan bayi tidak ditempatkan sebagai prioritas tertinggi dalam sistem kesehatan kita. Secara prinsip, semua warga negara berhak mendapatkan layanan kesehatan yang cepat dan layak. Namun kenyataannya, pelayanan kesehatan sering kali tunduk pada birokrasi, keterbatasan fasilitas, dan logika bisnis. Akibatnya, pasien dalam kondisi kritis seperti Irene kehilangan kesempatan untuk diselamatkan hanya karena sistem pelayanan kesehatan gagal merespons keadaan darurat.
Jika dilihat lebih dalam, tragedi ini bukan sekadar kelalaian satu-dua petugas atau nasib buruk semata. Ia merupakan bagian dari pola besar sistem kesehatan yang berdiri di atas paradigma sekuler kapitalistik. Dalam paradigma ini, layanan kesehatan diperlakukan sebagai komoditas yang diatur berdasarkan kemampuan bayar, kapasitas fisik rumah sakit, atau kelengkapan administrasi. Prinsip “yang paling membutuhkan harus diutamakan” berubah menjadi “yang paling mampu membayar lebih dulu dilayani”.
Situasi ini semakin parah di daerah terpencil seperti Papua, di mana akses kesehatan sangat terbatas. Infrastruktur minim, distribusi dokter tidak merata, dan ketergantungan pada BPJS membuat masyarakat miskin semakin terpinggirkan. Penolakan berulang yang dialami masyarakat menjadi bukti bahwa sistem kesehatan kita rapuh pada bagian yang seharusnya paling kuat: pelayanan darurat yang menyangkut nyawa manusia.
Perspektif Islam: Nyawa adalah Amanah Agung
Dalam Islam, kesehatan bukan sekadar layanan publik, melainkan hak dasar setiap manusia yang wajib dijamin oleh negara. Memelihara jiwa (hifzhun-nafs) merupakan kewajiban syariat. Karena itu, penolakan terhadap pasien dalam keadaan darurat termasuk tindakan zalim dan pengingkaran tanggung jawab.
Allah menegaskan betapa berharganya satu nyawa manusia dalam QS. Al-Māidah ayat 32:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“…Siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.”
Ayat ini menunjukkan bahwa menyelamatkan satu nyawa adalah kewajiban besar — dan membiarkan satu nyawa hilang tanpa alasan yang dibenarkan merupakan keburukan yang sangat besar.
Dalam sistem Islam, negara wajib berperan sebagai ra’în (pengurus rakyat), bukan sekadar regulator. Rumah sakit dibiayai negara, bukan badan usaha yang mengejar profit. Tidak ada pembedaan antara pasien BPJS, umum, atau kelas tertentu. Tidak ada birokrasi yang menghalangi penanganan darurat. Setiap jiwa harus ditolong terlebih dahulu, administrasi bisa belakangan.
Distribusi tenaga medis dilakukan secara merata, termasuk ke wilayah terpencil. Fasilitas kesehatan dibangun menggunakan dana baitul mal, bukan mekanisme bisnis. Sistem gawat darurat dibangun agar responsif, cepat, dan tidak berbelit-belit.
Solusi Islam untuk Menghentikan Tragedi Berulang
Agar kasus Irene tidak kembali terjadi, Islam menawarkan solusi yang bersifat struktural dan komprehensif, yakni pelayanan kesehatan yang gratis dan merata di seluruh wilayah dengan negara menanggung seluruh biaya tanpa ketergantungan pada asuransi; pembangunan infrastruktur kesehatan yang kuat berupa rumah sakit, klinik, dan fasilitas darurat yang tersedia bahkan di daerah terpencil; distribusi tenaga medis yang adil sehingga dokter dan tenaga kesehatan ditempatkan berdasarkan kebutuhan, bukan hanya di kota besar; penerapan sistem gawat darurat yang responsif tanpa birokrasi sehingga pasien dalam kondisi kritis wajib ditangani segera tanpa melihat kemampuan bayar; serta penegasan tanggung jawab negara untuk mengawasi dan membina rumah sakit, termasuk memberi sanksi tegas kepada fasilitas kesehatan yang menolak pasien darurat dan mengancam keselamatan jiwa
Kematian Irene dan bayinya adalah tragedi besar yang seharusnya tidak terjadi di negeri yang mengaku menjunjung hak hidup warganya. Ini menjadi seruan keras untuk meninjau ulang paradigma dan struktur layanan kesehatan kita. Islam menawarkan sistem yang menempatkan manusia di atas komoditas, kemaslahatan di atas bisnis, dan keselamatan jiwa di atas birokrasi.
Semoga tragedi ini membuka mata kita semua akan pentingnya sistem kesehatan yang adil, manusiawi, dan berpihak pada rakyat — bukan pada mekanisme pasar.
وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Via
OPINI
Posting Komentar