OPINI
Generasi Takut Nikah: Luka Kapitalisme dan Masa Depan Keluarga Muslim
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Ada satu fenomena sosial yang kini menjadi bahan perbincangan luas di kalangan anak muda: “Marriage is scary.” Ungkapan itu tidak lahir dari ketidakseriusan, apalagi hilangnya ketertarikan pada pernikahan. Ia lahir dari realitas hidup yang semakin berat: harga kebutuhan pokok terus naik, biaya hunian tak terjangkau, persaingan kerja ketat, dan gaji stagnan. Banyak anak muda akhirnya merasa lebih takut miskin setelah menikah dibanding takut tidak menikah sama sekali (Kompas, 22 November 2025).
Media sosial memperkuat sentimen ini. Di TikTok dan Instagram, video bertema “Nikah butuh modal minimal 100 juta”, “Pacaran murah, nikah mahal”, atau “Aku siap menikah, tapi realita ekonomi tidak” menjadi konten yang viral dan relatable di kalangan Gen Z dan milenial. Di sebagian besar kota besar, istilah waithood—fase penundaan transisi menuju kehidupan dewasa seperti menikah—kian terasa nyata (Tempo, 19 November 2025).
Sebuah survei nasional menunjukkan kecenderungan baru: lebih dari separuh responden anak muda menganggap stabilitas finansial lebih penting dibanding menikah pada usia ideal. Bahkan sebagian mengaku menikah hanya akan menambah beban ekonomi dan mengancam kebebasan hidup (Detik, 25 Oktober 2025).
Akibatnya, tren menunda pernikahan meningkat, angka kelahiran menurun, dan institusi keluarga sebagai pilar masyarakat mulai tergeser dari prioritas hidup. Fenomena ini bukan sekadar statistik; ia menggoyang fondasi sosial umat.
Akar Persoalan: Sistem Kapitalisme yang Menjadikan Hidup Mahal
Jika ditelusuri lebih dalam, persoalan ini bukan semata masalah psikologis, rasa takut, atau kurangnya kesiapan mental. Ini adalah dampak dari struktur sistem ekonomi yang berlaku hari ini.
Dalam sistem kapitalisme, hampir seluruh aspek kehidupan—hunian, pendidikan, kesehatan, energi, pangan—diposisikan sebagai komoditas. Negara berperan sebagai regulator pasar, bukan penjamin kesejahteraan rakyat. Siapa yang mampu membeli, hidup layak; siapa yang tidak, berjuang sendiri. Maka wajar bila generasi muda melihat menikah sebagai beban tambahan. Mereka bukan takut komitmen, tetapi takut konsekuensi ekonomi yang belum tentu bisa ditanggung.
Di sisi lain, pendidikan sekuler dan budaya media liberal membentuk standar hidup yang tinggi: menikah harus pesta besar, rumah harus minimalis modern, standar parenting harus sempurna, dan gaya hidup harus tetap trendy. Akhirnya, pernikahan berubah menjadi proyek finansial, bukan ibadah dan penjagaan keturunan. Narasi-narasi itu membentuk persepsi bahwa: menikah = beban, bukan berkah. itu berbahaya. Bukan hanya bagi individu, tetapi bagi keberlangsungan generasi dan struktur sosial umat.
Fenomena Global: Bukan Hanya Indonesia
Fenomena menunda menikah bukan hanya terjadi di sini. Jepang, Eropa, dan Korea Selatan mengalaminya lebih dulu. Korea bahkan mencatat angka kelahiran terendah di dunia hingga 0,72 dan pemerintah menyebut kondisi ini sebagai “darurat nasional demografis” (BBC, 14 Februari 2025). Jika tren ini berlanjut 20–30 tahun lagi, Indonesia sangat mungkin menuju arah yang sama—jumlah lanjut usia meningkat, generasi produktif menurun, dan perekonomian nasional ikut terguncang. Artinya, krisis keluarga adalah krisis sistem, bukan krisis individu.
Islam Pernah Menghadapi Kondisi Serupa—Namun Solusinya Berbeda Total
Sejarah mencatat, umat Islam pernah melewati masa-masa sulit seperti krisis pangan, kelangkaan suplai, serta tingginya tekanan hidup. Namun pada masa Khilafah Islam, negara tidak menyerahkan beban hidup kepada individu dan keluarga. Negara bertugas menjamin kesejahteraan rakyat secara nyata—bukan sekadar slogan.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kebutuhan dasar rakyat dipenuhi, harga kebutuhan stabil, dan negara mengelola kekayaan milik umum seperti tambang, energi, dan lahan subur untuk kesejahteraan rakyat. Hingga tercatat dalam sejarah:
Tidak ditemukan lagi penerima zakat karena rakyat hidup berkecukupan (Tarikh Ath-Thabari).
Contoh lain terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab saat terjadi paceklik. Beliau memerintahkan negara mendatangkan suplai makanan dari Mesir, mendata keluarga miskin, dan mendistribusikan bantuan hingga krisis selesai. Tidak ada satu pun rakyatnya dibiarkan bertahan sendiri (Ibn Katsir, Al-Bidayah Wa An-Nihayah).
Menariknya, pada masa itu, banyak pemuda tetap menikah—bahkan di usia lebih muda dibanding generasi modern. Karena negara menanggung fondasi kesejahteraan, bukan menyerahkannya kepada individu.
Bagaimana Mengembalikan Keberanian Generasi Muda untuk Menikah?
Untuk menjawab krisis ini, solusi harus menyentuh tiga ranah sekaligus:
1. Sistem Ekonomi Berkeadilan
Negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat: pangan, tempat tinggal, pendidikan, dan lapangan kerja. Dalam ekonomi Islam, harta milik umum seperti energi, tambang, dan air dikelola negara dan hasilnya kembali kepada rakyat—bukan korporasi.
Jika ini diterapkan, biaya hidup turun drastis dan pernikahan tak lagi terasa sebagai risiko finansial.
2. Pendidikan Berbasis Aqidah, Bukan Hedonisme
Generasi perlu dibina dengan pola pikir yang lurus: hidup bukan untuk mengejar standar kesempurnaan duniawi, tetapi menjalankan amanah Allah—termasuk berkeluarga dan menjaga keturunan. Pernikahan harus dikembalikan ke maknanya: Ibadah, bukan proyek pamer sosial.
3. Penguatan Institusi Keluarga
Negara juga harus menciptakan ekosistem sosial yang mendukung pernikahan: dukungan nafkah, kemudahan menetap, bimbingan keluarga, dan kebijakan yang memperkuat fungsi rumah tangga.
Karena keluarga bukan urusan personal—tetapi fondasi peradaban.
Masa Depan Umat Tidak Boleh Dibiarkan Menggantung
Generasi muda hari ini bukan tidak ingin menikah. Mereka hanya hidup dalam sistem yang membuat pernikahan terasa mustahil. Mereka bukan takut komitmen. Mereka takut sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat.
Maka solusi bukan memberikan motivasi kosong, tetapi menghadirkan sistem yang menjadikan menikah wajar, mudah, dan penuh keberkahan.
Sejarah sudah menunjukkan bahwa ketika kehidupan diatur dengan syariat, rakyat tidak perlu takut membangun keluarga—karena negara hadir sebagai penopang, bukan penonton.
Selama kapitalisme memimpin, kalimat yang sering kita dengar adalah: “Aku ingin menikah, tapi hidup terlalu mahal. Namun ketika syariat kembali tegak, insyaAllah, kalimat itu berubah menjadi: “Aku menikah karena yakin—Allah menjamin, negara menanggung, dan umat menopang.”
Via
OPINI
Posting Komentar