OPINI
Era Digital, Gen Z, dan Aktivisme: Antara Potensi Perubahan dan Krisis Paradigma
Oleh: Dyah Alkhanza, S.Pd
(Pendidik dan Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Era digital merupakan realitas yang tidak terelakkan dalam kehidupan modern. Perkembangan teknologi informasi telah menghadirkan kemudahan luar biasa dalam mengakses pengetahuan, membangun jejaring sosial, serta mengekspresikan pendapat di ruang publik. Namun, kemajuan ini tidak datang tanpa konsekuensi. Di balik berbagai kemudahan, era digital juga membawa dampak serius, terutama bagi Generasi Z (Gen Z) yang tumbuh sebagai generasi ‘digital native’, generasi yang sejak lahir telah akrab dengan internet dan media sosial.
Data menunjukkan bahwa dampak negatif era digital tidak bisa dianggap remeh. Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, sebanyak 5,5% remaja usia 10–17 tahun mengalami gangguan mental. Rinciannya, 1% mengalami depresi, 3,7% gangguan kecemasan, 0,9% post-traumatic stress disorder (PTSD), dan 0,5% attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Data ini diperkuat oleh berbagai kajian media, salah satunya artikel Detiknews berjudul: “Gen Z dan Tekanan Media Sosial”, yang menyoroti bagaimana tekanan eksistensi, perbandingan sosial, dan tuntutan validasi digital menjadi beban psikologis bagi Gen Z (https://news.detik.com/kolom/d-7878505/gen-z-dan-tekanan-media-sosial).
Dalam wacana publik, Gen Z sering dilabeli sebagai generasi lemah, mudah rapuh secara mental, dan kurang daya tahan. Namun, label ini sesungguhnya tidak sepenuhnya adil. Di sisi lain, Gen Z memiliki potensi kritis yang besar. Mereka lebih berani menyuarakan ketidakadilan, responsif terhadap isu sosial, dan mampu menginisiasi gerakan melalui media sosial. Fenomena aktivisme digital menunjukkan bahwa Gen Z bukan generasi apatis, melainkan generasi yang sedang mencari bentuk dan arah perjuangan.
Persoalan utamanya terletak pada karakter ruang digital itu sendiri. Ruang digital tidaklah netral. Ia dibangun dan dikendalikan oleh logika sekuler kapitalistik yang menjadikan keuntungan, popularitas, dan atensi sebagai tujuan utama. Algoritma media sosial tidak bekerja untuk membentuk kesadaran kritis yang mendalam, melainkan mendorong konten yang viral dan sensasional. Dalam kondisi ini, nilai-nilai liberal, relativisme moral, dan gaya hidup konsumtif dengan mudah mendominasi, sekaligus membentuk cara pandang Gen Z terhadap kehidupan.
Di sisi positif, era digital memungkinkan lahirnya local activism—gerakan lokal yang memiliki daya jangkau global. Gen Z dapat belajar secara mandiri, mengakses literatur luas, dan membangun solidaritas lintas wilayah. Namun, sisi negatifnya juga signifikan. Selain problem kesehatan mental, muncul kecenderungan nilai inklusif-progresif yang sering kali bertabrakan dengan ajaran Islam.
Tidak sedikit anak muda mempertanyakan agama bukan dalam kerangka pencarian kebenaran yang jujur, tetapi karena terpengaruh narasi sekuler yang memosisikan agama sebagai urusan privat atau bahkan penghambat kebebasan. Akibatnya, Gen Z membangun sistem nilai sendiri yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Aktivisme Gen Z juga cenderung pragmatis dan instan. Pergerakan sering berorientasi pada simbol, viralitas, dan validasi sosial. Unggahan di media sosial kerap dianggap sebagai puncak perjuangan. Karakter ini tidak terlepas dari budaya digital yang serba cepat dan dangkal. Tanpa landasan ideologis yang kuat, aktivisme berisiko berhenti pada permukaan masalah dan mudah terkooptasi oleh sistem yang justru ingin dikritik.
Kondisi ini menegaskan pentingnya upaya menyelamatkan generasi dari hegemoni ruang digital yang sekuler kapitalistik. Penyelamatan tersebut bukan dengan menjauhkan Gen Z dari teknologi, melainkan dengan mengubah paradigma berpikir mereka. Paradigma sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan perlu digantikan dengan paradigma berpikir Islam, yang menjadikan akidah sebagai landasan dalam memahami dan mengatur realitas.
Paradigma Islam memandang kehidupan secara menyeluruh dan sistemis.
Aktivisme dalam Islam bukan sekadar ekspresi emosi atau solidaritas sesaat, melainkan bagian dari tanggung jawab keimanan untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar. Oleh karena itu, pergerakan Gen Z harus diarahkan agar mampu menawarkan solusi yang tidak hanya teknis, tetapi juga ideologis dan sistemis, berlandaskan nilai-nilai Islam.
Upaya ini tentu tidak bisa dibebankan kepada Gen Z semata. Diperlukan sinergi antara keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga berperan menanamkan akidah dan karakter sejak dini. Masyarakat menciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi nilai Islam. Sementara negara bertanggung jawab mengatur sistem pendidikan dan media agar tidak tunduk sepenuhnya pada logika kapitalisme. Dengan sinergi ini, Gen Z dapat diarahkan menjadi agen perubahan yang sahih kritis, beriman, dan mampu menghadirkan solusi kehidupan di era digital.
Via
OPINI
Posting Komentar