SP
Efektifkah PP Tunas Lindungi Anak di Ruang Digital?
TanahRibathMedia.Com—Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Tunas dengan tujuan melindungi anak dari berbagai ancaman di ruang digital, mulai dari paparan pornografi hingga cyberbullying. Regulasi ini digadang-gadang sebagai langkah cepat negara merespons darurat keselamatan anak di tengah derasnya arus media sosial. Dalam pemberitaan Kompas disebutkan bahwa PP Tunas membatasi akses anak di ruang digital sebagai upaya melindungi mereka dari perundungan siber dan konten berbahaya (Kompas, 6 Desember 2025). Namun, pertanyaan mendasarnya: sejauh mana kebijakan ini efektif menyelesaikan persoalan anak dan remaja hari ini?
Fakta menunjukkan bahwa anak dan remaja memang semakin rentan. Media sosial menjadi ruang bebas yang memperlihatkan pornografi, kekerasan verbal, hingga gaya hidup liberal tanpa filter. Tak sedikit kasus anak mengalami gangguan mental serius, depresi, bahkan bunuh diri ketika menghadapi tekanan hidup dan serangan warganet. Kondisi ini membuat negara tampak “harus hadir” melalui regulasi teknis. Kementerian Komunikasi dan Digital bahkan berharap PP Tunas dapat diimplementasikan dalam jangka sangat panjang demi melindungi generasi mendatang (Bisnis Indonesia, 19 November 2025).
Namun, menjadikan ruang digital sebagai biang keladi sesungguhnya adalah simplifikasi masalah. Media sosial bukan penyebab utama kerusakan mental dan perilaku anak, melainkan hanya medium yang mempertebal emosi, kecenderungan, dan cara pandang yang sudah terbentuk sebelumnya. Anak yang rapuh secara mental akan semakin rapuh ketika berhadapan dengan tekanan digital, sementara anak yang kokoh kepribadiannya mampu menyikapi konten dengan kritis. Artinya, masalah utama tidak terletak pada medianya, tetapi pada manusia dan sistem yang membentuknya.
Di sinilah akar persoalan itu bermuara pada penerapan sistem sekularisme-kapitalisme. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan kebahagiaan diukur dengan materi, popularitas, dan kebebasan tanpa batas. Anak-anak tumbuh dalam atmosfer kompetisi, validasi semu, dan krisis makna hidup. Dalam kondisi seperti ini, pembatasan akses media sosial hanyalah solusi pragmatis dan tambal sulam. Bahkan PP Tunas sendiri dinilai masih membingungkan dari sisi teknis dan implementasi (CNBC Indonesia, 22 Oktober 2025), menandakan bahwa kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan secara komprehensif.
Perilaku manusia sejatinya dibentuk oleh pemahaman dan akidahnya. Media sosial adalah produk kemajuan teknologi—bersifat madaniyah—yang netral, tetapi akan selalu dipengaruhi oleh ideologi yang melingkupinya. Ketika ideologi sekular mendominasi, maka ruang digital pun menjadi sarana penyebaran nilai-nilai rusak. Karena itu, negara tidak cukup hanya mengatur akses, melainkan wajib membangun benteng keimanan generasi melalui sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, agar anak mampu bersikap dan memilah dengan kesadaran iman, bukan sekadar takut pada larangan.
Lebih jauh, dalam sistem Khilafah, syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam pendidikan, media, ekonomi, dan sosial. Negara menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terbentuknya generasi yang taat, tangguh, dan berkepribadian Islam. Perlindungan anak tidak berdiri sendiri sebagai regulasi teknis, tetapi menjadi bagian dari sistem kehidupan yang menyehatkan akal, jiwa, dan perilaku. Karena itu, upaya melindungi anak di ruang digital sejatinya menuntut peran seluruh generasi untuk memahami Islam secara kaffah dan bersama-sama memperjuangkan penerapannya dalam kehidupan. Tanpa itu, regulasi seperti PP Tunas akan terus lahir, namun krisis generasi tak pernah benar-benar usai.
Prayudisti SP
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Via
SP
Posting Komentar