OPINI
Bencana Sumatra: Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme dalam Mengelola Alam
Oleh: Ummu Fatimah
(Ibu Rumah Tangga)
TanahRibathMedia.Com—Bencana longsor dan banjir bandang menerjang sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan beberapa tempat lainnya. Jumlah korban berjatuhan semakin hari semakin bertambah. Menurut kepala BNPB, per tanggal 15 Desember 2025, jumlah korban meninggal bertambah menjadi 1.030 orang, total korban hilang mencapai 206 orang, dan pengungsi menurun dari 624.670 jiwa menjadi 608.940 orang. Korban terbesar dinyatakan berada di Aceh dengan total 572.862 jiwa.
Luka yang Menganga
Penyebab bencana ini tidak hanya faktor hujan yang memuncak. Banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh turunnya daya tampung wilayah berupa beralihfungsinya hutan alami menjadi hutan tanaman industri.
Lebih menyedihkan lagi, di tengah luka yang masih menganga, pemerintah masih belum menetapkan status bencana besar ini sebagai bencana nasional. Bahkan beredar isu terdapat penurunan dana banjir. Dikutip dari Beritasatu.com (14-12-2025), Pemerintah melalui kementrian keuangan (Kemenkeu) mulai melakukan penurunan alokasi dana banjir Sumatra yang awalnya sebesar 2 triliun menjadi 491 miliar saja.
Sungguh miris. Jika kita telisik lebih dalam, sesungguhnya bencana yang terjadi saat ini bukanlah karena faktor alam atau sekadar ujian semata. Ia adalah dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan legitimasi kebijakan zalim penguasa seperti pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, membuka izin tambang seluas-luasnya, bagi-bagi tambang untuk ormas, hingga pengesahan UU Minerba dan Ciptaker.
Ini adalah keniscayaan sikap penguasa dalam sistem sekulerisme-demokrasi-kapitalisme. Demokrasi dalam setiap aturan mainnya sangatlah kotor, apalagi biaya perpolitikannya sangatlah mahal. Penyebabnya tidak lepas dari ikatan balas budi politik antara penguasa dan pengusaha besar, baik asing maupun swasta. Menjelang agenda pemilu presiden, pengusaha berlomba-lomba menyokong dana bagi partai politik guna mengambil keuntungan tatkala partai berhasil menjadi penguasa, baik berupa jabatan atau pun kebijakan yang pro mereka.
Alhasil, dalam hal ini penguasa dan pengusaha dengan sangat mudah kerap 'berkongkalikong' untuk menjarah hak umum yang sejatinya milik rakyat atas nama pembangunan. Beginilah perjalanan sejati sistem rusak ini melahirkan penguasa zalim. Apa yang dipikirkan penguasa adalah semata-mata kemaslahatan pengusaha bulan rakyat.
Musibah banjir dan longsor di Sumatra membuktikan bahaya nyata kerusakan lingkungan oleh sebab diterapkannya sistem tata kelola ala kapitalis yang sangat merugikan alam. Terlebih , sistem ini melakukan pembukaan hutan dengan mengeksploitasinya secara besar-besaran tanpa memperhatikan dampak setelahnya.
Akibat Ditinggalkannya Hukum Ilahi
Inilah efek dari negara yang meninggalkan hukum Allah atau sistem Islam dalam pengelolaan lingkungan. Pengusaha dan penguasa menikmati hasil hutan, sedangkan masyarakat menderita. Islam di dalam Al-Quran telah tegas telah mengingatkan dan memperingatkan manusia akan hasil mengerikan yang mereka dapatkan akibat perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri.
Allah Swt. berfirman yang artinya:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, (bertujuan) agar Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, sehingga mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS.Ar-Rum: 41)
Islam tidak melarang memanfaatkan hutan menjadi hutan industri, kebun sawit dan penambangan. Namun, ada ketentuan yang harus diperhatikan, seperti keharusan bekerja sama dengan para pakar ahli ekologi, hidrometeorologi, dan lain sebagainya untuk meminimalisir bahkan menghindari dampak lingkungan yang mungkin akan terjadi.
Yang paling utama, pemanfaatan itu harus berlandaskan atas ketakwaan, bukan karena dorongan hawa nafsu serakah seperti halnya yang diajarkan oleh sistem demokrasi-kapitalisme. Sistem yang hanya mendahulukan kepentingan oligarki kapitalis.
Apabila kerusakan sudah terjadi dimana-mana seperti hari ini, tentu umat sepenuhnya harus benar-benar bertaubat dan kembali kepada hukum Allah Swt., terutama negara agar terhindar dari kehidupan yang sempit. Allah Swt. memperingatkan, "Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TQS.Thaha: 124)
Negara harus menggunakan hukum Allah dalam mengurusi semua urusannya, termasuk tanggung jawab menjaga kelestarian alam, yakni menata hutan dengan pengelolaan yang benar. Negara juga mesti siap mengeluarkan biaya antisipasi pencegahan banjir dan longsor setelah melalui pendapat para ahli lingkungan.
Hanya dengan hukum Allah Swt. negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Khilafah sebagai pemegang mandat dari Allah akan fokus dalam setiap kebijakannya mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar. Khalifah akan merancang blue print tata ruang yang menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, dan tempat tinggal dengan semua daya dukungnya; industri, tambang, dan himmah. Hanya dengan begitu, setiap negeri akan aman dan sentosa. Semuanya terjamin tatkala hukum Sang Khalik ditegakkan.
Wallahu a'lam bishshowab.
Via
OPINI
Posting Komentar