OPINI
RUU KUHAP: Ujian Kemerdekaan Umat dan Seruan Kebangkitan Pemuda Muslim Menggugat Hukum Kapitalistik
Oleh: Rianti Budi Anggara
(Tim Redaksi Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—RUU KUHAP yang tengah digodok pemerintah kembali menegaskan bahwa hukum di negeri ini belum benar-benar berpihak pada rakyat. Di balik narasi, orasi, dan argumen manis “modernisasi hukum pidana,” tersembunyi di dalamnya pasal-pasal yang justru mengancam ruang kebebasan rakyat sipil. Kewenangan penyidik diperluas, pengawasan dipersempit, kontrol hakim dilemahkan, sementara aparat diberikan ruang selebar-lebarnya dengan kata “mendesak” untuk bertindak tanpa standar objektif yang jelas.
Inilah ciri negara yang perlahan bergeser menjadi super-police state. Ketika kewenangan dibuka selebar-lebarnya, sementara pengawasan justru dipersempit, rakyat pun berada di posisi paling rentan. Mereka yang paling mudah dikorbankan.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan hasil logis dari sistem demokrasi-kapitalistik yang selama puluhan tahun membentuk wajah hukum di negara Indonesia. Regulasi yang lahir dari sistem ini cenderung melindungi kepentingan elite politik dan pemilik modal kalangan atas, bukan pada umat. Karena itu, RUU KUHAP bukan sekadar persoalan teknis hukum semata, ia adalah ujian kemerdekaan umat: apakah kita kembali tunduk kepada hukum yang bias pada kekuasaan, atau bangkit menantang akar persoalan yang jauh lebih dalam?
Negara Super-Polisi: Saat Kewenangan Melebar, namun Pengawasan Menghilang
RUU KUHAP memperlihatkan bagaimana kekuasaan negara diarahkan untuk terpusat pada aparat penegak hukum. Kewenangan penyadapan, penahanan, hingga pemeriksaan makin dipermudah, tetapi tanpa jaminan transparansi yang kuat. Sentralisasi seperti ini menghasilkan negara yang sanggup melihat dan menjangkau hampir semua aspek kehidupan masyarakat, namun masyarakat tidak memiliki sarana yang sama untuk mengawasi balik.
Sejumlah pasal dalam RUU KUHAP secara terang-terangan memperlihatkan arah yang berbahaya seperti;
1. Pasal 16 — Penyelidikan dengan Kewenangan Super-Luas Tanpa Pengawasan
Mengizinkan penyelidik melakukan pembuntutan, penyamaran, pembelian terselubung, pengiriman di bawah pengawasan, hingga pelacakan.
Semua kewenangan ini dulu hanya ada pada tindak pidana khusus (misal narkotika), kini diperluas untuk semua jenis kasus. Tidak memerlukan izin hakim, membuka peluang entrapment (penjebakan) dan perekayasaan perkara.
(Aparat bisa “menciptakan” tindak pidana dan menentukan siapa pelakunya).
2. Pasal 5 — Penangkapan dan Penahanan di Tahap Penyelidikan
Penyelidik diperbolehkan menangkap, menggeledah, menahan, dan mengambil data biometrik seseorang sebelum ada kepastian bahwa tindak pidana benar-benar terjadi.
Pada KUHAP lama, hal ini tidak diperbolehkan di tahap penyelidikan.
(Siapa pun bisa ditangkap hanya berdasarkan kecurigaan awal tanpa bukti memadai)
3. Pasal 90 dan 93 — Penangkapan dan Penahanan Tanpa Pengawasan Hakim
Penangkapan berlangsung hingga 1×24 jam atau lebih, bergantung undang-undang lain di luar KUHAP.
Penahanan dapat dilakukan terhadap dugaan tindak pidana 5 tahun ke atas tanpa mekanisme pemeriksaan hakim independen.
(Tidak ada mekanisme habeas corpus, sehingga membuka ruang penahanan sewenang-wenang)
4. Pasal 105, 112A, 132A, 124 — Penggeledahan, Penyitaan, dan Penyadapan Tanpa Izin Hakim
Aparat dapat menggeledah, menyita, memblokir data, dan menyadap tanpa persetujuan pengadilan.
Penyadapan didasarkan pada undang-undang yang bahkan belum ada.
(Penyalahgunaan kewenangan berbasis subjektivitas aparat tanpa kontrol lembaga yudisial)
5. Pasal 74 — Restorative Justice di Tahap Penyelidikan
Restorative justice dapat dilakukan di tahap penyelidikan, penyidikan, hingga sidang.Tanpa batasan jelas, berpotensi menjadi alat pemerasan untuk “damai” meski tindak pidana belum terbukti.
(Korban bisa ditekan, pelaku bisa membeli “perdamaian”, dan aparat bisa menyalahgunakannya)
6. Pasal 7 dan 8 — Semua PPNS Ditarik ke Bawah Kendali Polri
Semua penyidik instansi lain harus berada di bawah koordinasi Polri. Berkas perkara PPNS harus melalui Polri sebelum ke Jaksa.
(Polri menjadi lembaga superpower dengan konsentrasi kendali penyidikan yang sangat besar, tanpa akuntabilitas yang sepadan)
7. Pasal 137A — Risiko Penahanan Tanpa Batas untuk Penyandang Disabilitas Mental
Pengadilan dapat menetapkan tindakan rehabilitasi/perawatan terhadap penyandang disabilitas mental. Tidak disebutkan batas waktu, mekanisme evaluasi, maupun pengawasan.
(Potensi arbitrary detention pengurungan tanpa batas waktu yang melanggar hak asasi)
8. Masalah Proses: Masukan Publik Diabaikan
Masukan dari akademisi, koalisi masyarakat sipil, advokat, hingga organisasi disabilitas tidak diakomodasi. Transparansi minim, pembahasan dikebut tanpa diskusi publik memadai.
(Legislasi dilakukan dengan orientasi kekuasaan, bukan kepentingan publik)
Akar Masalah: Hukum Sekuler-Kapitalistik Menjadikan Rakyat Objek, Bukan Subjek
Setiap kali muncul regulasi yang bermasalah, pemerintah selelu memberikan obat penenang pada rakyat dengan janji perbaikan teknis. Namun, masalahnya bukan sekadar teknis, fondasi ideologi melahirkan hukum itu sendiri yang harus di perbaiki sampai ke akar-akar terdalamnya.
Dalam sistem kapitalisme-liberal di ketahui:
a. Hukum tunduk pada tafsir politik
b. Pasal bisa diarahkan pada siapa saja yang dianggap mengganggu stabilitas
c. Aparat diberi ruang besar untuk menekan
d. Rakyat ditempatkan sebagai objek yang harus dikendalikan
Allah Swt. telah memperingatkan kita dalam firman-nya;
“Dan barang siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (TQS. Al-Ma’idah: 45)
Hukum yang tidak bersandar pada wahyu sangat rentan melahirkan kezaliman.
Pemuda Muslim: Pewaris Peradaban yang Tidak Boleh Diam
Pemuda Muslim memiliki peran historis dalam mengoreksi kezaliman yang terus di lakukan di bangsa nya. Mereka bukan sekadarseorang “komentator politik,” tetapi pemuda adalah pewaris generasi yang akan memimpin dunia dengan hukum yang adil dan manusiawi. Rasulullah saw. memuji suara kebenaran di hadapan penguasa:
“Jihad paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Maka diam di hadapan kezaliman hukum bukanlah pilihan. Menjadi penonton bukanlah kemuliaan. Pemuda Muslim harus bangkit dengan kesadaran ideologis, bukan sekadar emosional yang menggedor fitrah seorang manusia.
Tanpa harus menunggu sebuah perubahan sistem besar, Islam memiliki solusi yang dapat diterapkan secara realistis, aplikatif, dan dapat dijalankan sekarang juga oleh umat, komunitas, dan gerakan pemuda:
1. Mendirikan dan memperluas Pusat Advokasi Umat (PAU)
Fungsinya memberikan edukasi hukum Islam dan hukum positif, menyediakan pendampingan bagi warga yang diproses aparat, membangun jejaring advokat yang pro-rakyat, dan memantau pasal-pasal yang berpotensi menindas
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma'idah: 2)
2. Membangun Komunitas Melek Hukum Berbasis Masjid & Kampus
Bisa dilakukan melalui kajian rutin, kelas literasi hukum, simulasi menghadapi aparat, hingga penyebaran panduan hak-hak warga.
Islam memerintahkan umat untuk cerdas sebagaimana disebutkna dalam Al Quran:
“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)
Kebodohan hukum adalah pintu kezaliman modern.
3. Menghidupkan Majelis Hisbah Modern
Hisbah dalam Islam adalah lembaga yang mengoreksi kezaliman dan pelanggaran penguasa.
Hari ini dapat kita lakukan melalu forum kritik terbuka, media dakwah advokatif, pemantauan kinerja aparat, dan laporan publik terhadap penyalahgunaan wewenang
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia ubah dengan tangannya…” (HR. Muslim)
4. Kezaliman hukum adalah salah satu kemungkaran terbesar.
Konsolidasi Pemuda Muslim Lintas Kampus dan Ormas. Gerakan kolektif jauh lebih kuat dan tidak mudah diintimidasi. Konsolidasi dapat diarahkan untuk melakukan kampanye publik melawan pasal karet, edukasi literasi hukum syariat, advokasi pendampingan rakyat kecil, dan konsistensi dakwah menolak sistem hukum kapitalistik
Ujian Kemerdekaan Umat Tiba
RUU KUHAP bukan sekadar regulasi kontroversial; ia adalah gejala dari penyakit besar bernama kapitalisme, sistem yang melahirkan hukum tidak pasti, tidak adil, dan tidak berpihak pada umat. Penyembuhannya tidak lahir dari patching regulasi, tetapi dari kesadaran kolektif umat untuk kembali kepada hukum Allah.
Pertanyaannya sederhana namun berat: apakah pemuda Muslim hanya akan menjadi saksi sejarah, atau bangkit sebagai penggugat kezaliman hukum, pembela kaum tertindas, dan pengusung kembali syariat Allah sebagai standar keadilan? Kelak, Allah akan bertanya bukan tentang seberapa nyaring kita berkomentar, tetapi pada pihak mana kita berdiri ketika kebenaran diinjak-injak.
Jawaban itu ada di tangan generasi hari ini generasi yang kelak ditanya Allah tentang keberpihakannya terhadap kebenaran
Wallahu'alam.
Via
OPINI
Posting Komentar