OPINI
Perceraian Marak: Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh
Oleh: Nindri Lia Desmita
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Angka perceraian di Indonesia terus meningkat setiap tahun, seolah menjadi tren baru. Kini, sebagian besar perceraian didominasi oleh cerai gugat, yaitu gugatan dari pihak istri. Bahkan, kata “cerai” menjadi salah satu kata kunci paling populer di Google. Fenomena ini mencerminkan bahwa perceraian bukan lagi urusan pribadi, tetapi bagian dari refleksi sosial di era digital. Kasus perceraian Raisa dan Hamish Daud misalnya, menjadi sorotan publik karena keduanya dahulu dianggap pasangan ideal. Namun, kasus itu hanyalah potret kecil dari realitas sosial yang lebih luas—perceraian kini makin akrab di tengah masyarakat.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 399.921 kasus perceraian pada 2024, sedikit menurun dari 408.347 kasus pada 2023, tetapi jauh di atas angka sebelum pandemi (291.677 kasus). Sementara jumlah pernikahan justru menurun dari 1,78 juta (2020) menjadi 1,47 juta (2024). Dari total perceraian 2024, cerai gugat mencapai 308.956 kasus (77,2%), sedangkan cerai talak 85.652 kasus.
Dari data tersebut, kasus cerai gugat menempati angka tertinggi. Fenomena ini menunjukkan meningkatnya kemandirian dan keberanian perempuan untuk keluar dari hubungan tidak sehat. Mirisnya lagi, kasus perceraian ini tidak hanya terjadi di usia pernikahan muda tapi juga terjadi pada usia pernikahan senja (grey divorce). Ini menunjukkan adanya tren perubahan sosial masyarakat yang mulai bergeser, dimana sebuah keluarga lebih cepat memutuskan untuk bercerai daripada bertahan.
Faktor Perceraian
Perceraian terjadi pasti dipicu oleh banyak faktor. Penyebab perceraian menurut BPS, faktor yang paling sering muncul adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, faktor ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perselingkuhan. Faktor lainnya termasuk masalah seperti judi, mabuk, ditinggal salah satu pihak, atau masalah akibat pihak ketiga juga turut memperburuk keadaan.
Jika demikian disebutkan bahwa perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus dapat mengakibatkan pada perceraian, maka perlu diteliti lagi bahwa pertengkaran itu terkait persoalan apa. Karena kembali lagi, pertengkaran bisa terjadi karena masalah ekonomi, pasangan selingkuh, KDRT dan yang lainnya. Sementara KDRT sendiri juga terjadi karena dipicu masalah ekonomi. Pasangan yang tidak mandiri secara ekonomi akan rentan mengalami pertengkaran serius. Tidak heran, banyak perempuan yang mandiri finansial menggugat cerai suami hanya karena masalah kecil. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya pemicu utama dari maraknya kasus perceraian ini adalah faktor ekonomi.
Dari beberapa faktor pemicu perceraian yang disebutkan diatas pada dasarnya berpangkal pada lemahnya pemahaman masyarakat tentang pernikahan itu sendiri. Dimana pernikahan yang dibangun tanpa tujuan yang jelas akan lebih mudah kandas dihantam badai kecil. Maka memahami tujuan dari pernikahan ini menjadi sangat penting sebagai landasan mengarungi kehidupan rumah tangga. Dalam Islam sendiri, menikah adalah bagian dari sunnah Rasul dalam menyempurnakan setengah agama. Maka sudah tentu didalamnya terkandung nilai-nilai spiritual yang mesti senantiasa dijaga. Menyadari bahwa pernikahannya adalah ibadah, menjalaninya tentu dengan tuntunan ibadah, sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya. Memang, tidak ada pernikahan tanpa masalah, tetapi pasangan yang memahami tujuan pernikahan akan mampu meredam masalah besar menjadi kecil dan masalah kecil coba untuk dihilangkan.
Selain itu, anak menjadi pihak paling terdampak dari perceraian. Mereka kehilangan figur orang tua sebagai panutan, sehingga muncul gangguan emosional seperti kecemasan, depresi, rasa bersalah, dan trauma sosial. Anak-anak dari keluarga broken home sering menjadi pendiam, sulit bersosialisasi, bahkan kehilangan semangat belajar. Kondisi ini dapat menghambat proses tumbuh kembang serta membentuk pola pikir negatif terhadap hubungan keluarga di masa depan.
Doktrinasi Paradigma Kapitalis
Tanpa kita sadari, ada satu faktor utama yang melahirkan faktor-faktor lain itu hadir. Faktor itu adalah sistem. Sebuah sistem yang lahir dari perasaan dan akal manusia yang terbatas justru diterapkan untuk mengatur kehidupan manusia dalam berbagai ranah yang super komplit. Penerapan sistem kapitalis dengan asas pemisahan peran agama dalam setiap lini kehidupan melahirkan paradigma yang keliru. Sistem ini memandang segala sesuatu dari sudut pandang manfaat.
Sistem pendidikan hari ini telah mengalami pergeseran tujuan, yang seharusnya menjadi wadah untuk mencetak generasi yang bertaqwa dan berkepribadian Islam, justru telah terdoktrin oleh paradigma sesat kapitalis yang berorientasi pada perolehan sebanyak-banyaknya materi. Paradigma ini kemudian yang teradobsi dalam kehidupan termasuk dalam rumah tangga, dimana pernikahan tegak berdasarkan kemandirian finansial yang bebas dari nilai-nilai agama.
Sistem kapitalis juga menjadikan kebebasan sebagai sarana meraih kebahagiaan serta munculnya prilaku hidup yang individualis dan apatis terhadap lingkungan diluar. Serta tidak ada kontrol dari masyarakat maupun negara semakin memicu munculnya faktor-faktor perceraian terjadi. Selain itu, politik ekonomi ala kapitalis yang memberikan kebebasan atas kepemilikan harta menyebabkan kekayaan hanya dinikmati oleh kelompok tertentu saja. Sementara, masyarakat dengan keterbatasan akan tetap berada pada kondisi yang terhimpit. Keterhimpitan ekonomi tidak sedikit menggeser peran domestik perempuan sampai pada meninggalkan pernikahan.
Islam Menjaga Ketahanan Keluarga
Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam justru memiliki solusi yang mendasar dalam mengatasi berbagai masalah. Termasuk pada kasus percerain, Islam tidak hanya hadir pada muara persoalan tapi pada pangkal persoalan. Tentu, sebelum mengarungi kehidupan pernikahan, Islam menetapkan rambu-rambu yang mesti ditaati. Sistem Islam akan membina masyarakat terlebih dahulu agar memiliki syaksyiah Islam yang meliputi pola pikir dan pola sikap Islami. Syaksyiah Islam ini akan dibentuk melalui pendidikan yang berasaskan aqidah. Umat yang terbina dengan syaksyiah Islam senantiasa melahirkan ketaqwaan dalam membina hubungan keluarga dan sosial masyarakat agar tetap harmonis.
Pendidikan yang berasaskan aqidah ini terwujud dalam sebuah institusi negara khilafah. Sebuah negara dengan sistem kepemimpinan umum dengan asas Islam. Seorang pemimpin dalam negara khilafah akan menjamin hak dan kewajiban rakyatnya terpenuhi. Rasulullah saw. bersabda:
"Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalanya." (HR. Bukhari)
Negara Islam menjamin kebutuhan dasar seperti keamanan, kesehatan, dan pendidikan, dibiayai oleh baitul mal. Pelanggaran seperti KDRT atau kelalaian nafkah dikenai sanksi tegas. Dalam sistem ini, perempuan dapat berperan optimal sebagai ibu, pendidik, dan penopang generasi tanpa dibebani tekanan ekonomi. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang sejahtera, aman, dan berakhlak Islam. Dengan demikian, hanya penerapan Islam kafah yang mampu menegakkan ketahanan keluarga dan membangun generasi yang kuat lahir dan batin.
Wallaahu a'lam bishsawwab.
Via
OPINI
Posting Komentar