OPINI
Negara Abai: Ketika Anak Tak lagi Merasa Aman di Tanahnya Sendiri
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kasus penculikan anak kembali terjadi di Indonesia. Kabar tentang balita yang diculik di Makassar dan kemudian dikaitkan dengan dugaan jaringan perdagangan orang menjadi pengingat pahit bahwa ruang publik kita semakin tidak bersahabat bagi kelompok paling rentan. Kejadian ini bukan insiden yang berdiri sendiri—ia terhubung dengan kelemahan struktural negara dalam memastikan keamanan warganya, khususnya anak-anak.
Pada titik ini, masyarakat harus jujur mengakui bahwa jaminan keselamatan anak di negeri ini masih rapuh, terfragmentasi, dan sering kali baru direspons setelah tragedi terjadi. Fakta bahwa pelaku dengan mudah berinteraksi, menipu, atau bahkan memanfaatkan masyarakat adat dalam menjalankan aksinya, sebagaimana disorot oleh berbagai laporan Tribunnews (08-11-2025) dan BBC News Indonesia (15-11-2025), memperlihatkan betapa celah keamanan sangat terbuka lebar. Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat anak tumbuh, bermain, dan berinteraksi justru berubah menjadi kawasan penuh ancaman yang tak kasatmata.
Di saat yang sama, lemahnya sistem penegakan hukum memperparah ketidakpastian tersebut. Setiap kali kasus penculikan dan perdagangan anak mencuat, publik hanya disuguhi janji-janji investigasi, pernyataan “mengutuk keras”, atau tekad untuk memperbaiki koordinasi antarinstansi. Namun, tidak sedikit kasus yang akhirnya meredup tanpa pembenahan berarti. Hukum kita tampak tidak memiliki daya gentar yang cukup untuk memutus mata rantai kejahatan, terutama yang melibatkan jaringan. Pelaku bisa keluar masuk wilayah, memanfaatkan kelengahan aparat, hingga menjadikan kelompok rentan sebagai tameng, sebagaimana juga terlihat dalam pemberitaan tentang dugaan upaya penipuan terhadap warga adat (Tribunnews, 09-11-2025). Kelemahan ini semakin menegaskan bahwa negara belum berhasil menutup ruang gerak para pelaku eksploitasi anak dan masih berkutat pada respons yang bersifat reaktif, bukan preventif.
Yang lebih memprihatinkan, berkembangnya kejahatan yang menyasar kelompok rentan—anak, masyarakat adat, dan keluarga miskin—menandai adanya ketimpangan sosial yang belum tertangani. Di banyak daerah, masyarakat adat tidak memiliki instrumen perlindungan yang memadai, membuat mereka mudah didekati, dimanipulasi, atau dijadikan medium pelarian oleh para pelaku kejahatan. Begitu pula keluarga yang hidup dalam kondisi ekonomi sulit; mereka sering menjadi target tipu daya karena keterbatasan akses informasi atau tekanan hidup yang menghimpit. Dalam situasi demikian, kejahatan tidak hanya lahir dari niat pelaku, tetapi juga tumbuh subur di lingkungan sosial yang penuh kerentanan. Realitas ini tercermin dalam laporan mengenai keluarga korban yang berjalan jauh ke pedalaman untuk mencari anak mereka (Kompas.com, 14-11-2025)—sebuah gambaran emosional bahwa masyarakat sendirilah yang sering menanggung beban terbesar ketika negara gagal hadir secara nyata.
Jika ditinjau dari perspektif Islam, problem ini sebenarnya bersentuhan langsung dengan maqasid syariah—konsep fundamental yang menempatkan penjagaan jiwa (ḥifẓ al-nafs), kehormatan, keturunan, dan keamanan sebagai tujuan utama penerapan hukum. Dalam pandangan syariah, negara wajib memastikan setiap individu, terlebih anak-anak, benar-benar terlindungi dari ancaman apapun. Jaminan keamanan bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan mandat keagamaan dan tanggung jawab negara sebagai pengurus urusan rakyat. Dalam sistem pemerintahan Islam, ancaman terhadap jiwa dan kehormatan manusia dianggap sebagai pelanggaran serius yang wajib diberi sanksi tegas dan cepat. Tidak ada ruang kompromi bagi pelaku kejahatan yang menargetkan yang lemah, karena negara wajib bertindak sebagai penjaga (ra‘in) yang memastikan setiap bentuk pelanggaran diberi hukuman yang setimpal agar kejahatan serupa tidak terulang.
Sejarah pemerintahan Islam memberikan contoh konkret bagaimana negara mampu menghadirkan jaminan keamanan yang efektif. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, negara memiliki mekanisme pengawasan masyarakat yang terstruktur dan respons cepat terhadap munculnya potensi kejahatan. Ketika terjadi kasus penculikan atau eksploitasi manusia, aparat negara bergerak cepat, pelaku ditangkap, dan diberikan sanksi setimpal berdasarkan hukum syara tanpa tunduk pada tekanan politik atau ekonomi. Dalam beberapa catatan sejarah, individu yang menculik anak atau memperjualbelikannya langsung dijatuhi hukuman had atau ta’zir berat, diberi efek jera, dan kasus serupa bisa ditekan secara signifikan. Negara juga memastikan distribusi ekonomi yang adil agar masyarakat tidak terdorong melakukan kejahatan karena kemiskinan—sebuah titik yang hari ini justru menjadi alasan maraknya kejahatan yang menyasar golongan rentan.
Oleh karena itu, kasus penculikan anak yang belakangan terjadi semestinya menjadi alarm keras bahwa pendekatan keamanan saat ini tidak lagi memadai. Negara perlu bertransformasi dari sekadar penjaga administrasi menjadi pelindung sejati bagi rakyatnya. Sistem yang ada harus diperkuat dengan mekanisme yang berpihak pada keberlanjutan keamanan, bukan hanya reaksi sesaat. Jika negara sungguh-sungguh menjalankan perannya sebagaimana dalam tradisi pemerintahan Islam—menegakkan hukum tanpa pandang bulu, menciptakan kesejahteraan, dan memastikan masyarakat dididik dalam atmosfer ketakwaan—maka ruang bagi kejahatan seperti penculikan, perdagangan anak, dan penipuan terhadap masyarakat adat akan semakin menyempit. Anak-anak akan kembali merasa aman, para orang tua dapat bernapas lebih lega, dan masyarakat tidak lagi dibiarkan bertahan sendiri menghadapi jaringan kejahatan yang terus berkembang.
Via
OPINI
Posting Komentar