OPINI
Narkoba: Kejahatan Peradaban dan Ancaman bagi Generasi
Oleh: Arista Hurain
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Di tengah perhatian publik yang tertuju pada isu ekonomi dan pembangunan, diam-diam generasi bangsa sedang menghadapi ancaman serius yang jauh lebih mematikan: narkoba. Bukan lagi hanya merambah kalangan dewasa, kini racun perusak akal itu telah menyasar pelajar usia belia, bahkan anak SMP. Sebagaimana dilansir dari KumparanNews pada Jumat (14/11), Surabaya kembali dikejutkan dengan kabar mencengangkan: sebanyak 15 pelajar SMP dinyatakan positif mengonsumsi narkoba setelah dilakukan tes urine oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Timur. Temuan ini bukan sekadar angka, tetapi alarm keras bahwa bahaya narkoba kini telah menyusup hingga ke usia yang seharusnya masih berada dalam masa tumbuh-kembang, belajar, dan membangun impian. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan keberanian jaringan narkoba menjangkau anak-anak, tetapi juga menandakan adanya ruang kosong dalam perlindungan generasi baik dari keluarga, masyarakat, maupun negara (KumparanNews, 14-11-2025).
Jalan Kunti di Surabaya bahkan dikenal luas sebagai “Kampung Narkoba”, sebuah julukan yang lahir dari realitas pahit bahwa kawasan tersebut telah lama menjadi sarang transaksi dan pesta sabu. Di sepanjang gang sempitnya, berjajar bedeng-bedeng kecil berdinding kayu dan beratapkan terpal, yang berfungsi sebagai tempat jual beli barang haram, sekaligus lokasi pesta narkoba. Aktivitas ini berlangsung bukan sesekali, tetapi terus menerus, seolah telah menjadi bagian dari denyut kehidupan kampung itu. Kondisi ini menunjukkan bahwa perdagangan narkoba tidak lagi tersembunyi, melainkan hadir secara terang-terangan di tengah pemukiman warga, bahkan berdekatan dengan ruang tumbuh anak-anak dan remaja (detik.com, 15-11-2025).
Fenomena remaja yang terjerumus dalam narkoba bukan sekadar persoalan kenakalan atau pelampiasan stres, tetapi lebih jauh menggambarkan hilangnya nilai keimanan dan kebahagiaan hakiki dalam diri generasi muda. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang sering kali menawarkan kesenangan semu seperti hiburan instan, pergaulan bebas, dan gaya hidup permissive, namun miskin pembinaan ruhiyah. Akibatnya, sebagian remaja mencari pelarian dari tekanan hidup melalui jalan pintas yang menipu. Padahal, kebahagiaan sejati tidak lahir dari kebebasan tanpa arah, tetapi dari keterikatan pada nilai-nilai iman yang mengokohkan akal, jiwa, dan perilaku.
Ketika keimanan tidak tertanam kuat, maka hati menjadi kosong dan rapuh. Dalam kondisi ini, narkoba muncul bukan hanya sebagai barang haram, tetapi sebagai jawaban palsu bagi jiwa yang kehilangan makna hidup. Inilah gambaran generasi yang tidak lagi memahami tujuan keberadaannya, tidak mengenal batas halal dan haram, dan tidak merasa diawasi oleh Allah Swt. Mereka tidak hanya kehilangan perlindungan dari lingkungan, tetapi juga kehilangan pelindung dari dalam diri mereka yaitu ketakwaan. Di titik ini kita harus jujur mengakui, lahirnya “anak-anak korban narkoba” sejatinya juga merupakan korban dari kegagalan sistem pendidikan dan lingkungan sosial yang tidak berhasil menanamkan nilai iman dan pemahaman hidup yang benar. Mereka tidak hanya butuh hukuman atau rehabilitasi, tetapi butuh arah yaitu arah yang hanya bisa diberikan oleh iman dan sistem yang menjadikan iman sebagai pondasi kehidupan.
Peredaran narkoba yang merajalela bahkan hingga menembus ruang hidup masyarakat, mulai dari gang sempit hingga lingkungan sekolah, menunjukkan bahwa persoalan ini bukan lagi sekadar tindak kriminal individu, melainkan telah menjadi masalah sistemik. Keberadaan Kampung Narkoba yang beroperasi secara terang-terangan selama bertahun-tahun membuktikan bahwa pengawasan negara terhadap peredaran narkoba begitu lemah, bahkan nyaris tidak berdaya. Ketika bedeng-bedeng transaksi narkoba bisa berdiri bebas tanpa rasa takut, ini menandakan bahwa hukum tidak lagi memiliki wibawa, dan negara gagal menjalankan fungsi pengawasan dan perlindungan terhadap warganya.
Kelemahan pengawasan tidak hanya terjadi pada level negara, tetapi juga pada level masyarakat. Nilai kepedulian sosial yang seharusnya menjadi benteng komunitas telah tergantikan oleh sikap individualis yaitu sikap hanya peduli diri sendir sehingga tidak memikirkan dampak bagi orang lain atau lingkungan, dan permisif yaitu sikap membiarkan perilaku salah seakan-akan wajar dan boleh selama dianggap pilihan pribadi. Budaya amar makruf nahi munkar melemah, sehingga kemaksiatan dan kejahatan dibiarkan tumbuh subur tanpa kontrol moral. Akibatnya, lingkungan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak-anak justru berubah menjadi tempat penyebaran racun sosial yang membahayakan masa depan generasi.
Pada titik ini, kita melihat bahwa narkoba bukan hanya kejahatan kriminal, tetapi juga kejahatan peradaban, karena ia merusak akal, menghancurkan moral, dan memutuskan generasi dari masa depannya. Jika sistem pengawasan negara lemah, hukum tidak tegas, dan masyarakat tidak peduli, maka jaringan narkoba akan terus berkembang dan bukan hanya sebagai bisnis haram, tetapi sebagai instrumen penghancur generasi.
Jika keberadaan Kampung Narkoba seperti di Jalan Kunti dibiarkan terus hidup dan berkembang, maka kita sebenarnya sedang menyaksikan lahirnya “zona merah perusak generasi”. Kehadiran tempat-tempat seperti itu bukan hanya merusak individu, tetapi juga menimbulkan efek domino: merusak lingkungan sosial, melemahkan moral masyarakat, dan menghancurkan masa depan bangsa. Di sinilah kita melihat betapa tidak cukup hanya menangkap pengedar atau merehabilitasi korban narkoba; selama akar permasalahan dibiarkan yakni lingkungan yang permisif dan hukum yang tak berdaya. Maka kasus seperti ini akan terus berulang, bahkan semakin meluas.
Di tengah kondisi seperti ini, remaja adalah kelompok yang paling rentan. Mereka sedang berada dalam fase pencarian jati diri, membutuhkan bimbingan, teladan, dan lingkungan yang sehat. Namun, ketika lingkungan justru dipenuhi dengan kemaksiatan yang dibiarkan, maka mereka akan mudah terjebak dan terseret dalam arus kehancuran moral. Inilah mengapa keberadaan Kampung Narkoba bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk kemungkaran sosial yang mengancam nasib generasi dan masa depan peradaban.
Karena itu, pembiaran terhadap sarang-sarang kemaksiatan seperti ini bukan hanya kelalaian, tetapi juga kejahatan. Sebab, membiarkan kemungkaran tumbuh sama artinya dengan membiarkan generasi kita hancur secara perlahan. Pada akhirnya, tidak ada masa depan bangsa tanpa masa depan generasi, dan tidak ada masa depan generasi ketika lingkungan mereka justru menjadi sumber kehancuran.
Penguatan nilai keimanan dan kebahagiaan hakiki harus menjadi pondasi pertama dalam membentengi generasi dari bahaya narkoba. Keluarga sebagai madrasah utama tidak hanya bertugas memberikan nafkah dan pendidikan formal, tetapi menanamkan makna hidup, mengenalkan Sang Pencipta, serta membangun ikatan ruhiyah dalam diri anak. Remaja yang memahami tujuan hidupnya bahwa ia diciptakan untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan tidak akan mudah tergoda oleh kesenangan semu seperti narkoba, sekalipun tekanan hidup datang melanda.
Begitu pula dunia pendidikan, tidak cukup hanya menjadi tempat transfer ilmu dan nilai akademik, tetapi harus menjadi kawah candradimuka pembentuk karakter, akhlak, dan ketakwaan. Sekolah yang hanya menilai kecerdasan kognitif tanpa memperhatikan aspek spiritual dan moral, sejatinya telah melepaskan generasi dalam keadaan rapuh secara mental dan miskin pegangan hidup. Di sinilah pentingnya pendidikan berbasis iman yang tidak hanya mengajarkan angka dan teori, tetapi juga membangun kesadaran diri bahwa setiap perilaku akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Maka, penguatan iman bukan sekadar nasihat verbal, melainkan harus menjadi sistem: sistem pengasuhan, sistem pendidikan, dan sistem kehidupan yang membentuk generasi dengan keteguhan akidah, kejernihan akal, dan kekuatan jiwa. Hanya generasi seperti itulah yang mampu menolak narkoba bukan karena takut pada hukum, tetapi karena sadar bahwa narkoba adalah racun yang merusak fitrah, akal, dan masa depan.
Maka negara memiliki kewajiban fundamental untuk melindungi generasi dari segala bentuk bahaya, termasuk narkoba yang merusak akal dan menghancurkan masa depan bangsa. Perlindungan ini tidak cukup dengan razia dan penangkapan berkala, tetapi harus diwujudkan melalui sistem pengawasan yang kuat, hukum yang tegas dan menjerakan, serta pemberantasan jaringan narkoba hingga ke akar-akarnya, termasuk produsen, bandar besar, dan aktor-aktor yang membekingi peredaran barang haram tersebut. Negara tidak boleh hanya hadir setelah generasi menjadi korban. Negara harus hadir sebagai penjaga sejak awal, menciptakan lingkungan yang sehat, aman, dan bebas dari kemungkaran.
Selain itu, negara juga wajib menyediakan sistem pendidikan, sosial, dan budaya yang menjauhkan remaja dari gaya hidup permisif, hedonis, dan bebas nilai yang selama ini menjadi pintu masuk bagi narkoba dan berbagai kerusakan moral lainnya. Kebijakan negara semestinya tidak hanya berorientasi pada pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi juga pembangunan manusia, yakni melahirkan generasi yang sehat akalnya, kuat jiwanya, dan bersih moralnya. Sebab, kehancuran generasi bukan hanya tragedi sosial, tetapi juga tanda kegagalan negara dalam menjalankan amanahnya sebagai pelindung rakyat.
Maka, negara yang mampu menjalankan peran strategis ini bukanlah negara yang berdiri di atas asas sekuler-kapitalisme seperti saat ini, yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan dan hanya fokus pada kepentingan ekonomi serta manfaat materi. Sistem seperti ini telah terbukti tidak mampu melindungi generasi, karena justru membuka ruang bagi gaya hidup permisif, liberal, dan hedonis, yang menjadi pintu masuk bagi narkoba dan kerusakan akhlak. Negara yang benar-benar mampu menjaga generasi adalah negara yang menjadikan Islam sebagai asas kehidupan, sebagaimana diterapkan dalam negara Islam dimasa lampau. Dalam sistem ini, perlindungan akal, jiwa, dan generasi adalah kewajiban syar'i yang ditunaikan secara menyeluruh (kaffah). Negara Islam menerapkan tiga aspek perlindungan secara sistemik: preventif, kuratif, dan represif.
Preventif, melalui pendidikan berbasis akidah yang menanamkan rasa takut kepada Allah dan kesadaran bahwa narkoba adalah perusak akal, yang diharamkan syariat. Remaja tidak hanya diberi pengetahuan, tetapi juga kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral sebagai hamba dan khalifah fil ardh. Kuratif, dengan menyediakan rehabilitasi yang tidak sebatas pengobatan fisik, tetapi juga pembinaan spiritual dan penguatan mental, agar pengguna dapat kembali ke jalan yang benar, bukan sekadar keluar dari kecanduan. Represif, dengan sanksi hukum yang tegas dan menjerakan untuk produsen, pengedar, dan pihak yang melindungi jaringan narkoba. Dalam Islam, bandar narkoba dipandang sebagai pelaku kejahatan besar (jarimah), karena merusak akal, umat, dan masa depan generasi, sehingga layak dikenai hukuman yang berat.
Lebih dari itu, negara Islam mengaktifkan peran masyarakat melalui mekanisme amar makruf nahi munkar, sehingga peredaran narkoba tidak bisa tumbuh membentuk “kampung-kampung narkoba” sebagaimana terjadi di Jalan Kunti Surabaya seperti yang dijelaskan di atas. Masyarakat tidak permisif membiarkan kemaksiatan, dan negara tidak membiarkan satu wilayah pun menjadi sarang kehancuran akal dan moral. Sistem Islam menawarkan bukan sekadar penanganan kasus, tetapi melindungi generasi sebelum mereka jatuh menjadi korban. Inilah solusi ideologis dan sistemik, bukan tambal sulam. Sebab, menyelamatkan generasi berarti menyelamatkan masa depan umat dan peradaban.
Via
OPINI
Posting Komentar