OPINI
Akibat Bangunan Sosial Rapuh, Keluarga Runtuh
Oleh: Susi Sukaeni
(Pendidik dan Pengamat Sosial)
TanahRibathMedia.Com—Miris, perceraian kini menjadi potret sosial yang makin akrab di tengah masyarakat. Google Trend mencatat kata kunci cerai menjadi puncak pencarian tertinggi pada Agustus 2025 dan terus meningkat hingga Oktober 2025 (Kompas, 7 Novemeber 2025).
Tren perceraian terjadi merata baik di kalangan pasangan muda maupun pasangan yang telah lama menikah bahkan di usia senja. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 399.921 kasus perceraian sepanjang 2024. meningkat 13,1% dibandingkan satu dekade sebelumnya.
Sebanyak 63% kasus perceraian dipicu oleh pertengkaran yang terus berulang disusul masalah ekonomi sekitar 25% (BPS 2024). Tekanan finansial pascapandemi dan meningkatnya biaya hidup menjadi alasan umum yang membuat banyak pasangan tak lagi mampu bertahan. Selain itu perceraian juga diakibatkan perselingkuhan, perjudian, penyalahgunaan alkohol atau narkoba.
Sementara itu Kemenag RI mencatat bahwa mayoritas gugatan cerai (77%) diajukan oleh pihak perempuan. Fakta ini menunjukkan adanya tren perubahan sosial dimana kemandirian finansial kaum perempuan menjadi salah satu faktor pendorong kaum perempuan mengakhiri pernikahan yang tidak lagi harmonis.
Sumber Masalah Perceraian
Tren perceraian yang meningkat di Indonesia mencerminkan bangunan sosial yang rapuh karena berdiri di atas pondasi yang salah. Beragam faktor pemicu perceraian sesungguhnya berpangkal pada satu hal yakni penerapan sistem kapitalis sekuler dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Sistem ini telah mencampakkan aturan agama dalam mengatur kehidupan. Akibatnya masyarakat terasing dari nilai-nilai agama termasuk bagaimana memahami hakikat pernikahan sesuai petunjuk Allaah Swt.
Sistem kapitalis sekuler telah menjadikan masyarakat memandang pernikahan hanya sebagai urusan pribadi atau bahkan sebagai sarana pemenuhan hasrat semata. Maka tak heran jika konflik kecil saja bisa berujung perceraian. Sistem kapitalisme sekuler telah menjadikan kebebasan individu dan materi sebagai tolak ukur kebahagiaan. Hubungan antar individu selalu diukur dari manfaat dan kepuasan bukan lagi berdasar tuntunan Allah untuk membangun keluarga samawa.
Sistem pendidikan sekuler telah mengajarkan faham liberalisme dalam kehidupan. Alhasil masyarakat khususnya generasi muda sibuk mengejar kebebasan: bebas bergaul, bebas mencintai, bebas menikah, dan bebas pula berpisah. Kapitalisme juga telah menjadikam perempuan meninggalkan peran utamanya sebagai pendidik generasi dengan dalih kemandirian. Padahal sistem ini hanya menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja murah demi kepentingan pasar. Tekanan ekonomi dan peran ganda membuat banyak perempuan akhirnya memilih perceraian sebagai bentuk kebebasan.
Sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan negara juga telah gagal menyejahterakan rakyatnya. Sistem ekonomi ini menyebabkan kekayaan hanya berputar pada segelintir elit penguasa dan konglomerat saja. Sementara mayoritas rakyat menderita karena minimnya pendapatan, beban pajak yang tinggi hingga mahalnya berbagai kebutuhan pokok dan layanan publik.
Cara Islam Menuntaskan Problem Perceraian
Keadaan berbeda ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Islam memandang bahwa persoalan perceraian bukan semata masalah ketidakharmonisan suami istri. Karenanya tidak bisa diselesaikan melalui bimbingan konseling atau nasehat moral semata. Persoalan perceraian menyangkut banyak hal dan kondisi yang melingkupi masyarakat termasuk berbagai kebijakan negara. Menyelesaikan problem perceraian harus dimulai dengan perubahan sistem yang menyentuh akar masalahnya.
Dalam Islam ketahanan keluarga dibangun di atas tiga pilar utama yakni kepribadian Islam yang kokoh pada individu, masyarakat Islam dan jaminan kesejahteraan dan perlindungan oleh negara. Sistem pendidikan Islam memiliki peran sentral dalam membentuk kokohnya kepribadian islam individu dan masyarakat. Mereka dibina agar memiliki pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan akidah islam.
Pendidikan bukan sekedar transfer pengetahuan melainkan proses pembentukan iman, taqwa dan tanggung jawab sebagai hamba Allah. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Pendidikan Islam akan menyiapkan para lelaki menjadi pemimpin dan penanggung jawab keluarga. Adapun para perempuan akan disiapkan menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Keduanya memahami bahwa pernikahan adalah perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalizoo) bukan sekedar kontrak sosial atau hubungan emosional untuk mengejar kenikmatan dunia semata. Pernikahan adalah ikatan agung atas dasar ketakwaan bertujuan menjaga kesucian, kehormatan, keturunan dan mewujudkan ketentraman hidup dalam ridho Allah Swt. sebagaimana firman-Nya;
“Dan diantara tanda-tanda kebesarannya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS Ar-Rum;21).
Sistem sosial kemasyarakatan Islam akan menjaga hubungan dalam keluarga dan masyarakat tetap harmonis berlandaskan pada ketakwaan. Pelaksanaan syariat Islam secara kaffah akan membentuk interaksi sosial yang jauh dari kemaksiatan yang bisa memicu perceraian. Sebaliknya masyarakat bisa hidup dengan tenang, damai dan saling membantu dalam kebaikan dan kemajuan.
Dengan penerapan ssstem ekonomi Islam kesejahteraan masyarakat akan dirasakan. Negara Islam atau Khilafah mewajibkan penguasa menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat, menyediakan lapangan kerja dan menjaga harga kebutuhan pokok tetap terjangkau. Dengan sistem ini para kepala keluarga tidak terbebani oleh berbagai pungutan pajak yang memberatkan dan tekanan ekonomi yang menghimpit. Demikian pula para istri tidak dipaksa menanggung peran ganda dan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang baik dan stabil. Dengan demikian penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan akan bisa mengatasi problem perceraian hingga tuntas sampai ke akar-akarnya.
Wallaahu a’lam bishowwab
Via
OPINI
Posting Komentar