Opini
Magang Nasional dan BLT 2025: Stimulus Ekonomi atau Sekadar Peredam Sementara?
Oleh: Prayudisti SP
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pada pertengahan Oktober 2025, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengumumkan paket stimulus ekonomi tambahan yang menyasar dua kelompok rentan: masyarakat pra-sejahtera dan para pencari kerja muda. Stimulus ini berupa penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai 30 Triliun Rupiah kepada 35.046.783 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang akan dibagikan pada bulan Oktober, November, dan Desember 2025 (Antaranews, 14 Oktober 2025).
Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan meluncurkan Program Magang Nasional yang menargetkan penempatan 100.000 fresh graduate pada Oktober dan November 2025, dengan partisipasi dari 451 perusahaan (Kemnaker.go.id, 15 Oktober 2025). Kedua program ini diklaim sebagai bagian dari 'quick wins' atau program percepatan yang diusung pemerintahan baru untuk menunjukkan dampak nyata dalam waktu singkat (Kemenkopmk.go.id, CNNIndonesia.com).
Secara sekilas, langkah ini terlihat solutif dan penuh perhatian. BLT meringankan beban hidup sesaat, sementara magang nasional memberi secercah harapan bagi generasi muda yang baru lulus. Namun, jika kita menelisik lebih dalam dengan kacamata yang jernih, kita akan menemukan bahwa kedua kebijakan ini, meski bermaksud baik, hanyalah perban yang ditempel pada luka yang semakin menganga. Ia adalah respons yang pragmatis, sebuah 'obat bius' ekonomi yang menenangkan untuk sementara, tetapi sama sekali tidak menyentuh akar patologis dari penyakit yang diderita.
Analisis mendasar menunjukkan bahwa problem sebenarnya adalah kemiskinan struktural dan pengangguran kronis. Keduanya adalah buah dari sistem ekonomi yang bobot. BLT, dengan segala manfaat langsungnya, bersifat konsumtif dan temporer. Ia tidak membangun kemandirian. Begitu tunai itu habis, masyarakat akan kembali terjebak dalam kubangan kesulitan yang sama. Alih-alih menjadi solusi, ia berpotensi menciptakan ketergantungan baru.
Demikian pula dengan program magang. Meski memberi pengalaman, ia bukanlah jaminan penyerapan tenaga kerja permanen. Seratus ribu lapangan magang hanyalah setetes air di lautan pengangguran terdidik, dan banyak dari program magang justru berisiko menjadi bentuk eksploitasi tenaga kerja murah yang dilegalkan. Program 'quick wins' ini, dalam perspektif yang lebih luas, adalah manifestasi dari solusi ala kapitalisme sekuler: praktis, pragmatis, berorientasi jangka pendek dan popularitas, serta enggan menyentuh relung masalah yang sesungguhnya.
Lantas, di manakah solusi yang hakiki? Islam menawarkan paradigma yang fundamentally berbeda. Dalam konstruksi politik Islam, negara bukanlah regulator pasif atau pemberi bantuan seadanya. Negara adalah pelayan dan penanggung jawab utama (ri'āyun) yang memiliki kewajiban untuk menjamin pemenuhan semua kebutuhan dasar setiap individu rakyatnya, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan, secara layak. Ini adalah kewajiban, bukan bentuk kedermawanan. BLT tidak akan diperlukan jika negara menjalankan fungsinya dengan menciptakan lapangan kerja yang luas dan memastikan distribusi kekayaan yang adil.
Pada aspek ekonomi, solusinya terletak pada penerapan sistem ekonomi Islam secara kaffah. Islam memandang bahwa sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak—seperti tambang, minyak, gas, hutan, dan air—adalah milik umum (milkiyah ‘āmmah).
Pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada segelintir korporasi swasta maupun asing. Negara harus mengelolanya secara langsung dan hasilnya harus dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat dalam bentuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan gratis berkualitas, pembangunan infrastruktur, serta yang terpenting: menciptakan lapangan kerja yang produktif dan berkelanjutan.
Dalam sistem ini, uang 30 Triliun untuk BLT akan dialihkan untuk membangun industri strategis berbasis sumber daya alam, yang akan menyerap tenaga kerja secara massal dan permanen. Program magang akan bertransformasi menjadi bagian dari sistem pendidikan yang terintegrasi dengan industri nyata, bukan sekadar program seremonial.
Oleh karena itu, Magang Nasional dan BLT 2025 harus kita lihat sebagai pengakuan tidak langsung dari kegagalan sistem sekuler-kapitalis dalam menyelesaikan masalah fundamental umat. Ia adalah bukti bahwa solusi tambal sulam tidak akan pernah membawa pada perbaikan yang hakiki.
Saatnya kita berani menggali mutiara yang telah ditinggalkan oleh peradaban kita sendiri. Hanya dengan kembali kepada paradigma politik dan ekonomi yang bersumber dari Sang Pencipta Kehidupan, yang memandang negara sebagai pelayan amanah dan kekayaan sebagai instrument untuk menyejahterakan, maka problem kemiskinan dan pengangguran akan dapat diatasi dari akarnya. Tanpa itu, kita hanya akan terus berputar dalam pusaran 'quick wins' yang sesungguhnya adalah 'slow losses' bagi masa depan bangsa.
Via
Opini
Posting Komentar