Opini
Pendidikan Sekuler Menghasilkan Generasi Perundung
Oleh: Rejeyanti,S.S k
(Guru dan Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Perundungan terjadi di sekolah Menengah Kebangsaan Agama (SMKA) di Negri jiran (Malaysia) pada Rabu (16/6). Misteri kematian seoarang anak yang bernama Zahra Qairina Mahatir (13), siswi kelas satu Sekolah Menengah Kebangsaan Agama (SMKA) Tun Datu Mustapa ini mencuri perhatian seluruh dunia. Penyebab kematiannya diduga ada unsur perundungan di sekolah (Kompas, 14-8-2025).
Perundung memang telah membudaya dan menjadi masalah yang sangat serius. Kita bisa melihat kasus perundungan terjadi hampir di berbagai tingkat pendidikan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Perbuatan intimidasi baik dilakukan seseorang secara fisik maupun tidak yang dapat mengakibatkan dampak buruk pada perkembangan psikologi dan akademis seorang pelajar.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia sepanjang 2023. Sedangkan pada awal 2024 sudah mencapai 141 kasus perundungan. Fakta ini menambah panjang daftar catatan buruknya sistem hari ini. Pelaku perundungan bukan hanya anak-anak tapi orang dewasa bahkan sampai menghilangkan nyawa. Permasalahan ini disebabkan: pertama, tidak adanya perhatian, pengawasan, edukasi dan tindakan tegas dari guru terhadap peserta didik yang membuat keonaran dalam ruang lingkup sekolah. Guru hanya menganggap itu hanya kenakalan anak-anak.
Kedua, dari keluarga terutama ibu memiliki peran sebagai madrastul ula (sekolah pertama bagi anak-anak) ternyata itu tidak didapatkan disebabkan orang tua yang terlalu sibuk bekerja di luar. Hak asuh anak diserahkan pada orang lain yang terjadi anak tidak mendapatkan kasih sayang bahkan didikan akhirnya anak mencari perhatian di luar dengan melakukan perundungan.
Ketiga, peran media yang menyuguhkan pengajaran yang kurang baik seperti adanya kartun dan animasi yang melakukan kekerasan fisik. Ini dicontoh oleh anak-anak yang belum paham.
Kegagalan Sistem Pendidikan
Ini semua diakibatkan karena paradigma sekularisme yang memisahan agama dari kehidupan yang menganggap agama tidak penting dipelajari dan adanya kebebasan. Generasi seharusnya adalah sosok kaum muda yang menjadi penerus tapi malah mengalami krisis akhlak dan moral yang parah bahkan bobrok. Di mana mental generasi muda saat ini keropos dan dipenuhi dengan emosional.
Sekularisme telah merusak kehidupan generasi dari berbagai aspek kehidupan. Baik di dalam sekolah atau pun di luar sekolah. Di mana sekolah bukanlah lagi sebagai tempat ternyaman untuk menuntut ilmu. Justru dunia pendidikan sekarang menuntut bagaimana dapat menyelesaikan pendidikan dengan cepat, mendapat pekerjaan bagus, dan gaji banyak, tanpa memperhatikan kualitasnya. Akhirnya sekolah hanyalah dijadikan sebaga ajang tempat memuaskan daya intlektualitas. Namun sangat jauh dari pembentukan keimanan dan ketaatan kepada Allah bahkan jauh dari calon perubahan peradaban, apalagi sebagai generasi pemecah permasalahan.
Pendidikan Islam Membangun Generasi Pengubah Peradaban
Islam mempunyai solusi untuk melahirkan generasi yang mampu membangun peradaban gemilang. Generasi penjaga, penyebar dakwah ke seluruh dunia dan mampu menjadi pemimpin yang memiliki karakter yang tangguh.
Ada beberapa tujuan utama sistem pendidikan tinggi yang Islam perkenalkan. Pertama, memperdalam kepribadian Islam untuk menjadi pemimpin yang menjaga dan melayani umat, yaitu Khilafah dan mengetahui bagaimana menegakan Khilafah ketika belum tegak dan menjaganya ketika sudah tegak.
Kedua, pendidikan Islam juga bertujuan menghasilkan orang-orang yang ahli dalam segala bidang yang mampu berkreasi dengan kemampuan yang mereka miliki.
Negara akan melarang setiap tontonan, tayangan, media dan konten yang menyimpang dan menjauhkan generasi dari ketaatan semisal pornografi, kekerasan, gaya hidup hedonistik sekuler, dan segala akses yang mengandung kemaksiatan dan kriminal. Dalam kitab Ajhizah Daulah al-Khilafah fi Al-Hukmi wa al-idarati halaman 246 karya Syekh Abdul Qadim Zallum menyatakan: ”Negara akan mengeluarkan undang-undang yang menjelaskan garis-garis umum politik negara dalam mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariat.
Negara Islam sebagai pelaksana utama diterapkan Islam yang memiliki kewajiban memberi sanksi kepada para pelaku perundung. Islam akan melihat apakah para pelaku di bawah umur atau sudah baligh. Jika Islam melihat pelakunya adalah anak di bawah umur maka pelaku tidak dapat dijatuhkan sanksi karena belum baliq. Dalil bahwa anak di bawah umur dan orang gila tidak dapat hukuman. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Telah diangkat pena dari 3 golongan yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR. Abu Dawud).
Oleh karena itu jika pelaku kriminal dilakukan anak di bawah umur dikarenakan kelalaian wallinya dan walinya mengetahui dan dibiarkan maka Islam menjatuhkan sanksi kepada walinya, tetapi jika bukan karena kelalaian walinya maka tidak dapat hukuman. Negara akan melakukan edukasi terhadap wali dan anak (Abdurahman Al- Malik Nizhomul ‘Uqubat, halaman 108).
Jika para pelaku sudah Nampak baligh dan dia melakukan perbuatan karena pIlihanya, maka dia dianggap mukhalaf dan dapat dijatuhi sanksi. Di mana jika pelaku menyakiti organ tubuh atau tulang manusia maka sanksinya adalah diyat (denda). Sebagimana Rasulullah saw. bersabda:
“Pada 2 biji mata dikenakan diyat pada satu biji mata, diyatnya 50 ekor unta. Pada dua daun telinga dikenakan diatnya penuh.” (Adurahman al- Malik, Nizhomul Uqubat).
Untuk mewujudkan semua tujuan tersebut, maka kurikulum pendidikan wajib disusun berlandaskan akidah islam. Kurikulum yang berlaku hanya satu, yaitu kurikulum yang diterapkan oleh negara. Keberadaan sekolah swasta tidak dilarang selama mengikuti kebijakan negara. Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan dalam mewujudkan visi misi pendidikan, bukan dalam rangka menarik minat peserta didik, juga bukan untuk menangkap peluang bisnis.
Wallahualam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar