Opini
Kumpul Kebo Berujung Mutilasi, Dampak Tragis Liberalisasi Pergaulan Sosial
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—Publik kembali digemparkan dengan kasus mutilasi di Mojokerto. Polisi menemukan puluhan bagian tubuh manusia yang setelah diidentifikasi ternyata milik seorang perempuan muda dengan inisial TAS (25).
Tragisnya, pelaku adalah pasangan haram korban sendiri yakni Alvi Maulana (24) yang menjalin hubungan tanpa ikatan sah pernikahan alias kumpul kebo atau bahasa kerennya kohabitasi.
Dari sekian jumlah kasus serupa, Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan dalam ranah personal meningkat setiap tahun. Banyak kasus bermula dari pertemanan hingga berujung pacaran kemudian hidup bareng atau kohabitasi. Padahal dengan melakoni kohabitasi menjadikan perempuan lebih rentan menjadi korban. Sayangnya, praktik kohabitasi ini sering dinormalisasi lewat media, gaya hidup urban, bahkan sebagian kalangan akademik yang menyebutnya sebagai pilihan pribadi.
Fenomena kumpul kebo bukan sekadar kriminal murni, tetapi potret nyata dari liberalisasi pergaulan sosial yang semakin marak di tengah masyarakat. Hubungan bebas ala orang Barat yang dianggap modern dan sah-sah saja, pada kenyataannya justru membuka pintu pada banyak tragedy, dari kekerasan dalam pacaran, kehamilan tidak diinginkan, aborsi ilegal, hingga pembunuhan keji.
Kasus mutilasi yang sering terjadi akibat kumpul kebo adalah buah pahit liberalisasi pergaulan. Ketika aturan Allah dipinggirkan, hubungan laki-laki dan perempuan dipandang sebatas kesenangan atau coba-coba hidup bersama tanpa ikatan yang sah. Padahal, hubungan seperti ini berpotensi konflik, kecemburuan, hingga kekerasan menjadi lebih besar, sebab hubungan itu rapuh dan tidak memiliki dasar tanggung jawab yang jelas.
Hal inilah yang terjadi di tengah masyarakat pemuja kapitalis-sekuler. Mengadopsi kebebasan individu, sementara regulasi agama dianggap mengekang. Industri hiburan, media sosial, hingga iklan-iklan komersial adalah ladang subur kemaksiatan. Bahkan mereka beranggapan tubuh dan relasi intim adalah hak pribadi yang tidak boleh diganggu. Padahal hal ini adalah pemicu tindak kriminal, merusak tatanan sosial serta menciptakan generasi rapuh.
Lebih jauh, negara pun tak memiliki fungsi dalam menjaga generasinya. Seolah negara berperan ganda, di satu sisi, kohabitasi tidak diakui hukum, di sisi lain, praktiknya tidak dicegah secara serius. Bahkan tempat-tempat praktik kumpul kebo dibiarkan tanpa aturan jelas. Masyarakat hidup dalam situasi abu-abu, celah inilah yang membuat kasus-kasus tragis terus terulang.
Berbeda dengan aturan Islam dalam hal ini sistem Khilafah. Pergaulan dibangun atas dasar akidah Islam, jadi standar baik-buruk bukan hawa nafsu atau budaya, melainkan hukum Allah.
Negara mengatur pergaulan/interaksi lawan jenis serta kewajiban menutup aurat secara sempurna di ruang publik. Tidak ada potensi campur baur yang diperbolehkan syara. Menerapkan larangan khalwat (berdua-duaan tanpa mahram). Interaksi diperbolehkan dalam urusan yang dibolehkan syariat (haji, belajar, jual beli, bekerja dan lain-lain).
Dalam hal yang memungkinkan ada potensi campur baur di tengah aktivitas masyarakat tanpa kebutuhan syar’i kholifah menerapkan pemisahan, contohnya di sekolah/kampus, rumah sakit, tempat kerja, acara-acara publik (majelis ilmu) dan lain-lain.
Namun begitu, yang tidak kalah penting adalah penerapan sistem ekonomi yang mendukung laki-laki mudah mendapatkan akses pekerjaan. Karena ini juga menjadi salah satu sebab generasi enggan menikah.
Akan tetapi negara juga menerapkan sanksi tegas jika terjadi pelanggaran.
Karena sesunggunya sanksi tegas untuk melindungi martabat manusia, terutama wanita. Sehingga tidak ada lagi bayi yang lahir tanpa ikatan perkawinan yang sah, ataupun persoalan-persoalan rumit lainnya akibat keliru dalam pergaulan antara pria dan wanita.
Itulah mengapa Islam mengatur pergaulan dengan sistem pergaulan dalam Islam guna mencegah kerusakan sejak dini. Alhasil, masyarakat hidup dalam suasana saling menghormati, dan wanita benar-benar dimuliakan.
Kohabitasi bukan sekadar pilihan gaya hidup, melainkan gejala dari sistem yang sakit. Liberalisasi pergaulan yang dilegalkan atas nama kebebasan justru melahirkan korban, terutama perempuan. Jika kita ingin fenomena tragis seperti mutilasi akibat kohabitasi tidak terulang, kita membutuhkan sistem yang mampu menutup peluang lahirnya relasi bebas sekaligus memuliakan perempuan yakni sistem Islam dalam naungan Khilafah.
Wallahu'alam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar