Opini
Keracunan Makanan Gizi Gratis Kembali Terulang, Islam Solusi Cemerlang
Oleh: Syifa Rafida
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pemerintah melalui program Makanan Bergizi Gratis (MBG) bertekad meningkatkan gizi generasi muda Indonesia. Namun, kasus keracunan akibat program (MBG) kembali terulang di beberapa daerah. Ratusan siswa dan santri harus mendapatkan perawatan medis setelah menyantap makanan bergizi gratis tersebut.
Fakta menunjukkan bahwa di Sleman, Yogyakarta 135 siswa SMPN 3 Berbah mengalami gejala keracunan usai makan (MBG) pada Selasa, 26 Agustus 2025.
Di hari yang sama, 20 santri pondok pesantren Al-Islah, Lampung Timur juga dilarikan ke rumah sakit dengan keluhan mual dan pusing usai menyantap MBG (Kompas.com, 29-8-2025).
Sehari kemudian, Rabu, 27 Agustus 2025 sebanyak 456 siswa di Kabupaten Lebong, Bengkulu mengalami keracunan massal. Hingga membuat Bupati Lebong, Azhari mengatakan agar seluruh tenaga medis dan dokter dikerahkan untuk mengobati siswa yang mengalami keracunan (Kompas.com, 29-8-2025).
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya dilaksanakan sebagai janji kampanye presiden dengan tujuan untuk mengatasi masalah malnutrisi dan stunting pada anak-anak, serta ibu hamil. Sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, maraknya kasus keracunan yang terus terulang di berbagai daerah menunjukkan bahwa adanya ketidakseriusan negara dalam merencanakan dan menjalankan program ini.
Kelalaian pemerintah tampak jelas dalam minimnya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang matang, lemahnya pengawasan terhadap Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) serta buruknya aspek higienitas dan sanitasi yang mestinya menjadi prioritas.
Sejatinya, program MBG bukanlah solusi tepat untuk mengentaskan kasus gizi buruk dan stunting di negeri ini. Sebab, akar persoalannya terletak pada beberapa faktor, di antaranya:
Pertama, gagalnya negara dalam menjamin lapangan pekerjaan yang layak bagi pencari nafkah, sehingga keluarga sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya secara mandiri.
Kedua, negara gagal dalam menyediakan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat serta abai dalam memberikan edukasi bagi para ibu dan calon ibu mengenai pentingnya pemenuhan gizi anak.
Ketiga, mahalnya bahan makanan pokok membuat masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah kesulitan jika harus memenuhi gizi anaknya secara sempurna.
Hal ini lumrah terjadi lantaran, dalam sistem kapitalisme negara lebih berperan sebagai regulator kepentingan korporasi ketimbang pengurus kepentingan rakyat. Akibatnya, program sosial seperti MBG menjadi proyek politis jangka pendek tanpa mampu menjawab akar masalah.
Berbeda dengan sistem Islam, kasus stunting dan gizi buruk tentu tidak akan terjadi. Sebab, pemimpin (Khalifah) akan bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya secara menyeluruh mulai dari pemenuhan sandang, pangan, kesehatan dan pendidikan.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
"Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya negara dalam Islam bukan sekedar simbol politik melainkan instrumen yang secara langsung memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat dengan berbagai mekanisme yang telah ditetapkan syariat di antara mekanismenya sebagai berikut:
Pertama, negara akan mengelola kepemilikan umum seperti minyak, gas, tambang, dan SDA lainnya secara transparan untuk kepentingan ummat.
Kedua, negara akan menjamin sistem perdagangan yang bersih dari riba, monopoli maupun spekulasi. Sehingga, pasar berjalan dengan adil dan memberi kesempatan bagi seluruh warga untuk berusaha.
Ketiga, negara akan menyediakan layanan kesehatan secara gratis kepada umat, sehingga umat akan mudah mendapatkan akses kesehatan.
Inilah gambaran jika kita menjadikan Islam sebagai ideologi, maka maraknya kasus keracunan makanan, stunting dan gizi buruk tertentu tidak akan terjadi. Jadi akankah kita masih diam saja melihat kerusakan yang terjadi pada sistem saat ini atau ikut berjuang bersama kelompok dakwah ideologis untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah di muka bumi ini.
Wallahua'lam Bissowwab.
Via
Opini
Posting Komentar