Opini
Merdeka Tapi Terjajah
Oleh: Kahairani Kembaren
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Sudah memasuki usia kemerdekaan yang ke-80 tahun, namun miris Indonesia masih dilanda kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan sosial, badai PHK, akses pendidikan dan kesehatan yang mahal. Inikah yang dikatakan dengan merdeka? Jauh, memang jauh dari kata merdeka, merdeka hanya kata formalitas saja yang menjanjikan kata manis tapi pahit yang didapat.
Baru-baru ini kita melihat kasus Bupati Pati adalah cerminan arogansi petinggi negara yang menaikkan pajak secara ugal-ugalan hingga 250 persen sudah seperti mau balapan saja lalu menentang rakyat untuk mendemonya dengan mengerahkan 50 ribu orang. Namun Bupati Pati bukan satu satunya rival rakyat tapi juga pemerintah pusat. Kita melihat bagaimana Sri Mulyani terus memajaki rakyat mulai dari A sampai Z, dari timur sampai barat. Padahal apa yang dia sebut sebagai pajak itulah darah kita. Selain itu Nusron Wahid, ia ingin mengambil seluruh aset rakyat mulai dari tanah, rumah, dan warisan lainnya.
Kemudian ketua PPATK Ivan Yustitia Vandana merampas uang rakyat di Bank, ekonomi ‘collapse’, terjadi ‘rush money’, kerugian di pasar saham mencapai puluhan triliun dan potensi kerugian ribuan triliun. Ekonomi terguncang dan roda ekonomi berhenti berputar. Dia menumbangkan negara seorang diri. Sungguh hukuman matilah yang harusnya dia terima tapi karena dia bagian dari tim perampok, maka dia masih aman, ternyata pemblokiran 31 juta rekening yang dilakukan PPATK hanyalah simulasi mengarah Payment ID yang akan diluncurkan oleh Bank Indonesia dan akan diresmikan oleh Presiden Prabowo.
Maka pada tanggal 17 Agustus nanti, Indonesia yang katanya merdeka, pemerintah justru akan memborgol seluruh warga negaranya dengan sistem perbudakan digital dari Tatanan Dunia Baru, yang dalam agama Kristen disebut sistem anti krisis, Islam menyebutnya sistem dajjal, yang akan diberlakukan. Kita semua akan dipaksa untuk menyimpan seluruh keuangan kita di bank tabungan, saldo, investasi, transaksi, bahkan pulsa yang kita beli semuanya akan dipantau dan dicatat oleh sistem ini. Semuanya terhubung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kita yang berdasarkan data kependudukan asli kita. Intinya, kita semua akan dijajah dan diperbudak agar kita tidak bisa lagi mengkritik kebijakan pemerintah yang menindas rakyat, karena data kita akan langsung dikenali. Intinya, merekalah yang menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang tidak, mereka melakukannya dengan cepat dan tergesa-gesa agar kita tidak sempat mempersiapkan perlawanan.
Ini hanyalah segelintir gambaran ketidakadilan di negeri ini yang katanya merdeka dan bebas berpendapat, belum lagi angka kemiskinan yang semakin hari semakin merajalela, namun apa yang kita dapat? Perampokan aset, pajak semakin hari semakin mencekik kita, sedangkan di antara kita masih ada yang harus bekerja keras untuk mencari sesuap nasi namun harus dibebankan dengan pajak yang sangat besar. Bukankah seharusnya negara mengayomi serta memberi perlindungan kepada masyarakat? Namun negara justru menjadikan masyarakat sebagai sapi perah.
Ini adalah hasil dari sistem hukum sekuler, yang mengandalkan akal manusia dan kepentingan elit, alih-alih wahyu Ilahi.
Namun, kita tahu bahwa Islam memiliki sistem peradilan yang kuat, adil, dan independen secara politik. Sistem ini dibangun di atas iman dan ketakwaan. Sistem ini berasal dari wahyu Allah Swt., bukan dari keinginan dan kepentingan manusia. Allah SWT berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Sesungguhnya yang berkuasa menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia-lah yang menerangkan kebenaran dan Dia-lah yang memberi ketetapan yang terbaik.” (TQS al-An’am [6]: 57).
Hukum Islam tidak patuh atau takut pada tekanan kekuasaan atau opini publik. Tidak akan ada ruang untuk kompromi di dalam hukum Allah Swt. Setiap ketetapan pengadilan bersifat final, bahkan seorang Khalifah pun tidak berhak membatalkan keputusan hukum seorang qadi (hakim). Sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Mawardi bahwa jika qadi telah memutuskan suatu perkara, Imam (Khalifah) tidak boleh membatalkan keputusannya (Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 99). Semua ini adalah hukum Allah, bukan hukum manusia, sehingga tidak akan ada yang dirugikan.
Islam membawa sistem peradilan yang adil, tegas, dan imparsial. Dalam Khilafah Islam, tidak satu orang pun berada di atas hukum, bahkan Khalifah sekalipun. Tak ada keputusan pengadilan, yang dapat dibatalkan bahkan oleh penguasa sekalipun, hanya karena tekanan politik.
Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam kembali kepada sistem Islam secara utuh. Hal ini hanya dapat diwujudkan dengan menerapkan sistem Islam secara utuh, termasuk sistem peradilan Islam, dalam lembaga pemerintahan Islam, yaitu Khilafah Islam. Hanya dengan demikianlah keadilan sejati akan benar-benar terwujud di antara umat manusia. Allah Swt. berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِ ۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَئَانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْ ۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰ ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang memelihara keadilan karena Allah dengan menjadi saksi yang adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menggerakkanmu untuk berlaku tidak adil. Bersikaplah adil, karena (keadilan) itu lebih dekat kepada ketakwaan. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa pun yang kamu lakukan." (TQS. al-Maidah [5]: Ayat 8)
Via
Opini
Posting Komentar