Opini
Kekerasan Siber Problematik, Islam Solusi Apik
Oleh: Ayu Lusfita A
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kemajuan dunia digital saat ini bak memiliki dua mata pisau. Tak dipungkiri, saat ini sebagai manusia yang mengikuti perkembangan zaman, kita dituntut untuk bisa menggunakan gawai.
Namun sayangnya, dewasa ini gawai dan siber adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Penggunanya harus dapat memilah dan memilih aplikasi yang digunakan dan untuk apa saja penggunaannya. Jika salah guna, tak jarang menjadi ancaman dan berdampak buruk bagi penggunanya.
Seperti halnya saat ini, rentan terjadi kekerasan siber yang dialami oleh anak-anak maupun perempuan. Menurut data, sebagian penyebab terjadi kekerasan tersebut bersumber dari media sosial atau gadget. Fenomena ini menjadi serius mengingat tingginya angka keterpaparan anak pada dunia digital yang minim pengawasan dan bimbingan. Seperti yang dikatakan Arifatul Choiri Fauzi, Menteri Perlindungan Anak dan Perempuan (Antara, 08-07-2025).
Tak hanya itu, kabarnya remaja Indonesia saat ini memiliki kecenderungan kecanduan gadget dan media sosial. Hal ini merupakan tantangan bonus demografi yang terjadi di Indonesia. Seperti yang dikatakan Kepala BKKBN Wihaji bahwa teknologi diciptakan untuk membantu, jangan sampai kita dikuasai teknologi. Jika remaja memiliki kecenderungan berlebih terhadap penggunaan gawai, dikhawatirkan akan muncul masalah baru. Memang telah muncul masalah baru saat ini yaitu pornografi anak pada ruang digital. Menurut survei National Centre on Missing and Exploited Children (NCMEC), Indonesia menduduiki peringkat empat se dunia dan peringkat kedua se ASEAN dalam kasus pornografi anak di ruang digital (Tempo, 08-06-2025).
Sungguh memprihatinkan, tak hanya menjadi korban kekerasan siber, anak-anak juga bisa menjadi pelaku pornografi. Hal yang tak bisa terus didiamkan. Lalu apakah solusi yang diberikan pemerintah? Dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Digital saat ini yaitu Meutya Hafidz, telah memperkenalkan Peraturan Pemerinah (PP) Nomor 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sisitem Elektronik dalam Perlidungan Anak atau PP TUNAS, sebagai regulasi yang menjadi acuan global untuk melindungi anak diruang digital kepada organisasi telekomunikasi internasional, yakni International Telecommunication Union (ITU). Peraturan tersebut resmi dikeluarkan stetlah pertemuannya dengan Sekretaris Jenderal ITU di Jenewa, Swiss pada Rabu, 9-7-2025 (Panrb, 10-7-2025).
Disinyalir, peraturan tersebut tak cukup solutif dalam menyelesaikan masalah kekerasan siber pada perempuan dan anak di ruang digital. Pemerintah perlu mengkaji lebih dalam, mengapa Indonesia bisa memiliki masalah seserius ini. Remaja terpapar gawai berlebihan, kekerasan anak dan perempuan terjadi lewat daring, kasus pronografi anak bisa juga terjadi karena game online serta tontonan tanpa filter. Selain itu, Indonesia memiliki tingkat rata-rata penggunaan gawai tertinggi di dunia yaitu sebesar 6,05 jam perhari, berdasarkan survei State of Mobile 2024.
Dari manakah akar masalah ini dapat dituntaskan?
Pertama, dari dalam rumah.
Orangtua amat memiliki andil penting dalam memberikan fasilitas gawai kepada anak. Orangtua berhak membatasi di umur berapa anak boleh memiliki gadgetnya sendiri atau memiliki sosmed sendiri. Kontrol penuh seharusnya terjadi dari dalam rumah. Selain pada pengawasan, keluarga juga perlu menanamkan nilai-nilai mendasar yang boleh atau tidak boleh ia lakukan dan miliki. Dalam hal ini adalah pendidikan berbasis fitrah dan moral. Sayangnya, tidak semua keluarga memahami ini. Acapkali, orangtua memberikan gadget pada anaknya di usia SD. Entah hanya karena agar anaknya tidak tantrum meilhat anak lain sudah memiliki gadget, bisa membuat konten atau hanya karena agar orangtuanya bebas tidak “diganggu” saat bekerja. Hal ini justru memprihatinkan dan berbanding terbalik dengan keluarga pemilik aplikasi besar seperti google atau Youtube yang melarang anak-anaknya untuk memiliki gawai sebelum berumur 14 tahun.
Kedua, dari sistem pendidikan.
Saat ini tak jarang pelajar-pelajar Indonesia khususnya remaja, diharuskan menggunakan gadget untuk pembelajaran. Hal ini merupakan dampak dari masa pendemi 6 tahun lalu. Sayangnya, sampai saat ini dibangku SMP dan SMA pembelajaran dengan handphone masih dilakukan. Inilah yang membuat remaja saat ini tak terpisah dengan handphone bahkan malah kecanduan.
Ketiga, sistem saat ini.
Tak bisa dipungkiri bahwa penggunaan gadget atau sosial media amat diperlukan bagi pelaku ekonomi digital. Sehingga aturan yang adapun akan berbasis pada kepentingan serta keuntungan pihak tertentu semata. Sedangkan, yang memiliki kewenangan membatasi ruang digital publik adalah pemerintah. Namun, pemerintah belum bisa melakukan pencegahan signifikan dalam ruang digital.
Saat ini banyak perempuan memanfaatkan mencari pendapatan di ruang digital. Dengan membuat konten-konten jualan atau hal yang bermanfaat maupun yang bergeser dari norma agama. Pemerintah seharusnya dapat bertindak mencegah kerusakan-kerusakan terjadi di ruang digital. Salah satu caranya, dengan membatasi konten negatif berseliweran di Indonesia. Pemerintahpun harusnya dapat mengambil sikap tegas untuk memblok konten-konten kekerasan serta pornografi, dan tidak mengikuti negara lain. Sehingga apa yang masyarakat tonton termasuk anak-anak tidak memiliki dampak negatif.
Islam Satu-satunya Solusi
Kerusakan sistemik ini harus dituntaskan dengan solusi yang sistemik pula. Islamlah satu-satunya sistem yang memiliki aturan menyeluruh sehingga dapat menuntaskan ini semua hingga ke akarnya. Dalam sistem Islam, keluarga memiliki andil menyediakan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Keluarga akan saling mengingatkan dalam amar makruf nahi munkar.
Pendidikan yang disediakan dalam sistem Islam, adalah pendidikan yang bertujuan menghasilkan output pribadi berakidah kuat, keimanan kokoh dan hidup untuk kebaikan dunia dan akhiratnya. Pendidikan tidak dijadikan ladang bisnis atau keuntungan sebagian pihak saja. Hal yang bisa kita lihat dalam sistem pendidikan kapitalis-sekuler saat ini. Dalam Islam, kurikulum pendidikan memiliki pedoman yang jelas, pasti dan tak berubah-ubah begitu saja, serta tidak mengekor pada kurikulum asing. Namun, Islam tetap bisa memanfaatkan teknologi yang ada untuk mencapai kemajuan pendidikan dengan baik.
Selain itu, peran pemerintah Islam dalam hal ini adalah Khalifah, memiliki kewenangan dalam mengatur atau memfilter aplikasi serta konten yang dapat diakses masyarakat. Sehingga meminimalisir kemungkinan konten kekerasan dan pornografi dapat diakses rakyatnya. Pemerintah akan bertindak serius dalam menindaklanjuti pelanggaran yang terjadi di ruang digital dan serius dalam melindungi perempuan dan anak-anak. Karena sadar akan kewajibannya mengurusi urusan umat.
Sebagaimana doa kebaikan bagi pemimpin umat dalam sabda Rasululullah saw berikut: “Ya Allah siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku. Maka susahkanlah ia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan umatku lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim).
Hadist tersebut jelas menjadi motivasi bagi para pemimpin agar berupaya disayang Allah, dengan mengurusi urusan umatnya serta memberi jalan kemudahan dan kebaikan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Khilafah tidak menolak kemajuan dunia digital, akan tetapi Khilafah dapat berupaya menggunakan kemajuan teknologi yang ada untuk kemaslahatan umat dan berdiri diatas hukum syariah yang Allah ridhoi, berlepas diri dari hukum asing yang akan Allah murkai.
Via
Opini
Posting Komentar