Opini
Uji Nyali atau Tadabbur Alam? (Renungan dari Insiden Juliani di Rinjani)
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Indonesia kembali dihebohkan dengan kematian seorang turis asing asal Brazil yang meninggal dunia akibat terjatuh ke jurang saat mendaki Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat pada Sabtu pagi, 21 Juni 2025 (Tempo.co, 4-7-2025).
Selain karena keterbatasan perlengkapan penyelamatan darurat dan cuaca di Rinjani yang kerap kali menyulitkan, juga medan yang sangat curam membuat jenazah Juliana baru berhasil dievakuasi oleh tim SAR pada Selasa, 24 Juni 2025 di kedalaman 600 meter (Kompas.com, 26-6-2025).
Musibah yang dialami Juliana bukan pertama kali yang terjadi di kawasan Gunung Rinjani. Setidaknya, sepanjang tahun 2024-2025 tercatat ada sekitar 8 wisatawan yang jatuh di TN Gunung Rinjani. Dari total tersebut, 4 di antaranya meninggal dunia, tiga orang berhasil dievakuasi dengan selamat dan sisanya 1 orang lagi belum berhasil ditemukan hingga kini (Lombokpostjawapos.com, 27-6-2025).
Lebih jauh lagi, fenomena tragis di Gunung Everest, yang dikenal sebagai “cemetery tertinggi di dunia” – memperlihatkan hingga Desember 2024, lebih dari 335 orang tewas saat berupaya mencapai puncak Gunung Everest. Tidak sedikit di antaranya masih ditemukan oleh pendaki karena mencairnya lapisan es akibat perubahan iklim. Salah satu kawasan terkenal adalah Rainbow Valley, dimana jasad-jasad para pendaki yang tewas tertata menyerupai karpet warna-warni – menjadi simbol betapa ambisi manusia sering kali berakhir tragis di ketinggian (Cnbcindonesia.com, 6-3-2025).
Manusia kerap memiliki hasrat menaklukkan alam: mendaki puncak tertinggi, menguji batas diri, bahkan terkadang sekadar demi mengejar popularitas di media sosial. Namun, tragedi demi tragedi yang terjadi di gunung-gunung dunia seharusnya menjadi refleksi, bahwa sebesar apa pun ego manusia, ia tetaplah makhluk yang penuh keterbatasan dan kelemahan.
Hukum Islam tentang Hobi Mendaki Gunung
Dalam Islam, menyalurkan hobi seperti mendaki gunung pada dasarnya diperbolehkan (mubah), selama tidak melanggar batasan syar’i. Di antara batasan tersebut adalah: menutup aurat, menjaga interaksi lawan jenis, menjauhi maksiat selama safar, serta menata kembali niat dan tujuan pendakian.
Meski pada dasarnya mendaki hanya untuk memuaskan adrenalin atau menaklukkan puncak tetap tergolong mubah selama tidak melanggar syariat, namun Islam melarang seorang Muslim untuk mendekatkan diri kepada bahaya. Allah Swt. berfirman:
ÙˆَÙ„َا تُÙ„ْÙ‚ُÙˆْا بِاَÙŠْدِÙŠْÙƒُÙ…ْ اِÙ„َÙ‰ التَّÙ‡ْÙ„ُÙƒَØ©ِ ۛ
Artinya, "Janganlah jerumuskan diri kailan ke dalam kebinasaan." (TQs. Al-Baqarah 195).
Menata Niat: Mendaki dengan Tujuan Syar’i
Dalam Islam, aktivitas wisata termasuk mendaki gunung dapat masuk dalam kategori rihlah, yaitu perjalanan yang memiliki tujuan mulia. Rihlah yang benar bisa bernilai ibadah dan berpahala. Makna rihlah dalam syariat mencakup:
A. Mencari ilmu
Rihlah menjadi sarana untuk menuntut ilmu, sebagaimana dilakukan para ulama salaf. Imam Al-Khatib Al-Baghdadi bahkan menulis kitab Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits, yang memuat kisah perjalanan ulama dalam mencari hadits.
B. Berdakwah
Nabi, para rasul, dan sahabat melakukan perjalanan jauh demi menyampaikan ajaran Islam ke berbagai penjuru bumi.
C. Merenungi ciptaan Allah
Perjalanan mendaki bisa menjadi sarana tadabbur atas ciptaan Allah—menumbuhkan kekaguman akan keindahan dan kekuasaan-Nya.
D. Meningkatkan Keimanan
Perjalanan dapat memperkuat iman, membangun motivasi spiritual, serta memperdalam kesadaran akan tanggung jawab kita sebagai hamba Allah.
Allah Swt. berfirman:
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya."
(TQS. Al-Mulk: 15)
Rasulullah ï·º bersabda:
"Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah."
(HR. Abu Daud)
Dengan niat yang lurus dan cara yang benar, aktivitas mendaki gunung bisa berubah dari sekadar hobi menjadi amal yang berpahala. Sebaliknya, bila niatnya buruk untuk pamer, melampaui batas, atau menantang bahaya tanpa alasan syar’i maka kegiatan tersebut bisa menjadi sia-sia, bahkan berdosa.
Etika Mendaki dalam Islam
Agar aktivitas mendaki tidak keluar dari koridor syariat, perhatikan beberapa hal berikut:
1. Luruskan niat
Awali dengan niat ibadah, tadabbur, atau edukasi, bukan demi sensasi atau popularitas.
2. Patuhi protokol keamanan
Gunakan pemandu resmi, taati rambu keselamatan, dan jangan abaikan cuaca ekstrem.
3. Rendah hati dalam pendakian
Jadikan pendakian sarana introspeksi, bukan ajang eksistensi.
4. Sebarkan ilmu, bukan pamer gambar
Kisahkan pengalaman yang membangun iman dan ukhuwah, bukan sekadar unggah foto di puncak.
5. Ambil ibrah dari tragedi
Belajarlah dari kasus-kasus pendaki yang wafat, agar tak mengulangi kesalahan yang sama.
Kesimpulan
Kasus Juliana Marins di Rinjani dan banyaknya jasad di Everest mengingatkan betapa tipis batas antara niat suci dan ambisi egois. Jika mendaki sebagai bagian dari mencari ilmu dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, maka ia menjadi aktivitas mulia. Namun saat pendaki melangkah hanya untuk sensasi, adrenalin, atau “pamer”, itu berubah menjadi praktik berbahaya yang bisa mengorbankan nyawa.
Semoga kita senantiasa diberi petunjuk untuk menata niat agar hobi mendaki menjadi sebab mendekatkan diri kepada Allah, bukan membinasakan diri karena ego semata.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar