Opini
Marak Kasus Grooming pada Bocil, Haruskah hanya Orangtua yang Aware?
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Fenomena grooming atau proses manipulatif untuk mendapatkan kepercayaan anak lalu mengeksploitasi mereka secara seksual, kini kian marak. Mirisnya, yang menjadi sasaran utama adalah anak-anak di bawah umur atau yang biasa disebut “bocil”. Di era digital saat ini, pelaku tak perlu mendekati secara fisik, namun hanya cukup lewat media sosial, game online, atau aplikasi chat untuk menggaet mangsanya.
Kasus Grooming pada Anak kian Mengkhawatirkan
Di tahun 2022 Kepolisian Yogjakarta berhasil menemukan sekitar 3.800 file foto dan video porno anak yang tersebar di grup WhatsApp dan Facebook. Pelaku menggunakan modus video call dan rayuan untuk memanipulasi anak-anak agar mau tampil tanpa busana (Kompas.id, 11-7-2022).
Sebelumnya di tahun 2020, Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) mencatat 77 anak terjerat prostitusi online di Pontianak, mulai dari siswa SD hingga SMA. Beberapa di antaranya bahkan positif HIV dan hamil akibat praktik eksploitasi seksual yang diawali dengan grooming (Tribunnews.com, 13-8-2020).
Kasus serupa juga muncul dari game online, seperti HAGO atau Roblox, di mana pelaku dewasa berpura-pura menjadi teman seumuran anak, lalu mengajak berpindah ke WhatsApp, bahkan bertemu langsung. Ironisnya, banyak anak tak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi (Tempo.co, 7-8-2022).
Mencuatnya kembali kasus grooming ini lantaran viralnya kasus yang menjerat aktor papan atas asar Korea Selatan, Kim Soo Hyun yang dituding telah melakukan grooming pada mendiang aktris Kim Saeron saat aktris tersebut masih di bawah umur dan berstatus pelajar SMP (Suara.com, 7-5-2025).
Mengapa Anak Rentan jadi Korban?
Psikolog Farraas Afiefah menyebut anak dengan “tangki cinta kosong” atau kurang kasih sayang dan perhatian dari rumah, cenderung lebih mudah terpikat rayuan pelaku. Mereka mencari validasi dan afeksi dari siapa pun yang memperlihatkan simpati, bahkan jika itu jebakan.
Pelaku grooming kerap tampil sebagai “teman curhat” atau “penyelamat”, padahal menyimpan niat tersembunyi. Dalam banyak kasus, para ahli justru menyalahkan pola asuh orangtua yang longgar atau tidak responsif terhadap kebutuhan emosional anak. Namun, apakah pantas jika hanya orangtua yang dibebani seluruh tanggung jawab atas maraknya grooming?
Bukan Hanya Masalah Rumah, Tapi Masalah Sistemik
Memang benar bahwa orangtua adalah garda terdepan perlindungan anak. Namun, menyerahkan seluruh tanggung jawab hanya kepada mereka adalah keliru. Maraknya grooming adalah hasil dari sistem yang lebih besar dan kompleks, dengan banyak faktor penyebab:
1. Minimnya edukasi grooming di sekolah dan sosial
Kurikulum pendidikan saat ini lebih menekankan nilai akademik daripada kemampuan anak melindungi diri. Pendidikan seksualitas dan etika digital hampir tidak diberikan. Padahal, kasus seperti siswi SMA di Gorontalo yang menjadi korban grooming gurunya jelas menunjukkan lemahnya perlindungan di institusi pendidikan (BBC.com, 27-9-2024).
Di lingkungan sosial pun, masyarakat cenderung abai dan individualis. Kepekaan sosial menurun, sehingga praktik menyimpang seperti grooming bisa luput dari perhatian.
2. Hukum lemah, regulasi longgar
Pelaku grooming sering mendapat hukuman ringan. Jika mereka memiliki jabatan atau kekayaan, hukum bisa dibeli. Penjara berubah jadi apartemen mewah, bukan tempat penjera.
Akses internet juga sangat bebas. Konten pornografi mudah diakses, identitas palsu bisa dibuat dengan cepat. Sayangnya, regulasi internet di Indonesia masih longgar, dan pemerintah belum menunjukkan keberpihakan serius pada perlindungan anak.
Akar Masalah: Sistem Sekuler-Kapitalisme yang menjauhkan agama dari kehidupan, memprioritaskan materi dan citra, serta mengabaikan moralitas publik. Perlindungan anak bukan prioritas, dan hukum bisa dibeli.
Karena sistem yang diterapkan oleh negara hari ini adalah sistem yang sangat berpeluang merusak generasi. Sistem ini juga membuat masyarakat terpecah menjadi individu-individu yang individualis, enggan untuk mengurusi urusan orang lain dengan dalih urusan masing-masing.
Berbeda apabila sistem Islam yang diterapkan, sistem Islam memiliki solusi komplit dan hakiki bagaimana menanggulangi dan mencegah adanya kasus grooming ini.
Di sisi pendidikan, sistem Islam memiliki kurikulum berbasis akidah, yang dengannya peserta didik dipahamkan akidah yang lurus hingga membentuk kepribadian islami yang tercermin dalam setiap tindak tanduknya. Yakni sikap-sikap yang akan berpikir ulang berkali-kali untuk melakukan suatu kezaliman kepada manusia lain atau diri sendiri, karena takut dampak ke depannya maupun hisabnya di akhirat kelak.
Dari sisi ini, Islam membantu mencegah generasi untuk menjadi pelaku maupun mudah menjadi korban kasus grooming ini.
Lalu di sisi masyarakat, sistem Islam menggerakkan masyarakat untuk senantiasa menjunjung tinggi amar makruf nahi mungkar di lingkungan tempat mereka tinggal. Sehingga, dari sini sikap individualis tak akan ada. Kasus grooming pun dapat terjaga dengan adanya gerakan amar makruf nahi mungkar ini.
Lalu dari segi hukum, Islam tak main-main dalam memberikan hukuman kepada pelakunya. Tak hanya hukum yang tak bisa dibeli oleh apapun, tetapi juga hukuman setimpal seperti cambuk 100 kali bagi pelaku grooming yang belum menikah, atau hukuman rajam bagi mereka yang sudah menikah. Hukuman yang dilaksanakan secara terbuka dan disaksikan langsung oleh masyarakat, hingga tak hanya setimpal dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, namun sekaligus juga menjadi efek jera bagi masyarakat.
Yang terakhir adalah peran pemerintah. Di dalam sistem Islam, pemerintah atau Khalifah adalah ra'in dan junnah, yakni pengayom dan pelindung masyarakat. Maka tak hanya memberlakukan pengetatan pada regulasi internet bagi masyarakat, namun memblokir segala hal informasi apapun yang bersifat negatif dan dapat membangkitkan kezaliman individu masyarakat.
Nah, dengan melihat kedua perbedaan di atas, maka sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya kita memperjuangkan penegakan syari'at Allah ini. Agar tak hanya menghentikan maraknya kasus grooming secara permanen, namun juga menjaga umat di dunia dan akhirat, menjadi solusi hakiki atas segala permasalahan umat.
Via
Opini
Posting Komentar