Opini
Kolusi dan Korupsi, Sahabat Sejati Sistem Demokrasi
Oleh: Anggun Istiqomah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kolusi dan korupsi bukan sekadar perbuatan tercela, melainkan musibah besar yang telah merusak tatanan bangsa dan menyengsarakan rakyat. Di negeri ini, praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) seakan tumbuh subur bak rumput liar yang tak kunjung habis ditebas. Ironisnya, penyakit ini justru bersarang di tubuh para pejabat dan elite politik yang seharusnya menjadi teladan.
Baru-baru ini, mantan Menteri Pertahanan sekaligus Presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, menyoroti persoalan ini secara terbuka. Dalam sebuah pernyataan, Prabowo menyebut bahwa bahaya besar di Indonesia adalah kolusi dan korupsi pejabat serta elite politik. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa rakyat kecil tak punya peluang untuk korupsi, sebab mereka tidak memiliki akses maupun kuasa (Kumparan.com, 20-06-2025).
Pernyataan ini tentu patut diapresiasi karena mengingatkan kita pada fakta pahit yang selama ini menjadi rahasia umum. Namun pertanyaannya, mengapa kolusi dan korupsi sulit diberantas meski sudah berganti-ganti pemimpin dan lembaga pengawas?
Demokrasi, Sistem yang Empuk Disusupi Korupsi
Salah satu akar persoalan terletak pada sistem demokrasi itu sendiri. Demokrasi menempatkan kedaulatan di tangan manusia. Segala kebijakan, hukum, serta aturan lahir dari kesepakatan politik, bukan dari wahyu Ilahi. Dalam sistem ini, jabatan menjadi rebutan, bukan amanah. Biaya politik yang tinggi membuat banyak calon pemimpin harus “berinvestasi” besar saat kampanye. Setelah terpilih, biaya tersebut “dikembalikan” dengan cara-cara licik: proyek fiktif, mark-up anggaran, hingga sogok-menyogok.
Selain itu, demokrasi membuka ruang lebar bagi kepentingan oligarki. Para pemodal besar menjadi “sumber elite” bagi calon penguasa. Konsekuensinya, ketika terpilih, sang penguasa wajib “membayar utang budi” dengan memberikan proyek, konsesi, atau kebijakan yang menguntungkan para pemodal, bukan rakyat.
Solusi Tambal Sulam Bukan Solusi Hakiki
Berbagai upaya telah dilakukan: mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), reformasi birokrasi, transparansi anggaran, hingga digitalisasi sistem pelayanan. Namun hasilnya masih jauh dari harapan. Mengapa? Karena akar masalahnya belum diselesaikan. Sebagaimana pohon yang berbuah busuk, kita tidak bisa hanya memetik buah buruknya lalu berharap pohonnya akan berubah. Selama akarnya tetap sama, maka buah busuk akan terus tumbuh. Demikian pula korupsi dalam sistem demokrasi. Selama hukum dan aturan dibuat berdasarkan hawa nafsu manusia, celah korupsi akan selalu ada.
Islam Kaffah, Sistem Nyata yang Mencegah KKN
Islam hadir sebagai solusi menyeluruh (kaffah). Tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga mengatur pemerintahan, ekonomi, sosial, hingga sistem peradilan. Dalam Islam, pemimpin ialah pelayan umat dan penjaga amanah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam menetapkan beberapa mekanisme pencegahan korupsi:
1. Sistem hukum yang bersumber dari wahyu
Dalam Islam, hukum bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, bukan dari hasil kompromi politik. Pemimpin dan pejabat tidak memiliki kewenangan untuk membuat hukum semaunya. Dengan demikian, peluang manipulasi aturan demi kepentingan pribadi atau golongan tertutup rapat.
2. Amanah dan takwa sebagai fondasi kepemimpinan
Islam mewajibkan pemimpin memiliki akhlak dan ketakwaan yang tinggi. Seorang pemimpin menyadari bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah pada hari kiamat. Ketika ketakwaan menjadi asas, maka keberanian untuk berbuat curang atau korupsi akan sirna.
3. Pengawasan masyarakat (hisbah)
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), terdapat lembaga hisbah yang berfungsi sebagai pengawas publik, termasuk mengawasi pasar, keuangan negara, dan perilaku pejabat. Masyarakat juga diberikan hak untuk mengoreksi pemimpin (muhasabah).
4. Sanksi yang tegas dan menjerakan
Islam menetapkan hukuman yang keras bagi para pelaku korupsi. Allah berfirman:
"Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang (ghulul), maka pada hari kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang dikhianatkannya itu..." (TQS. Ali Imran: 161)
Selain hukuman di dunia, ancaman azab akhirat yang pedih juga menjadi peringatan keras bagi pelaku.
5. Sistem ekonomi yang adil
Islam mengatur distribusi kekayaan agar tidak berputar hanya di kalangan elite. Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyat, sehingga rakyat tidak terpaksa melakukan kecurangan untuk bertahan hidup. Gaji pejabat pun diatur wajar dan cukup, bukan untuk memperkaya diri.
Saatnya Kembali kepada Islam Kaffah
Fenomena kolusi dan korupsi yang menggerogoti negeri ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan masalah sistemik dan ideologis. Berbagai solusi parsial hanya akan menjadi tambal sulam yang tak menyelesaikan akar persoalan. Hanya Islam kaffah yang diterapkan dengan menyeluruh, keadilan hakiki, transparansi serta pemerintah yang amanah akan terwujud nyata. Saat hukum Allah tegak, pemimpin berakhlak, dan rakyat terdidik dengan takwa, maka korupsi dan kolusi akan terpangkas dari akarnya.
Semoga Allah Swt. membimbing kita untuk segera kembali pada sistem yang diridhai-Nya, sehingga negeri ini terbebas dari berbagai kezaliman, termasuk KKN yang telah lama menyengsarakan rakyat.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar