Opini
Ketika Hukum Tak Membuat Jera: Saatnya Kembali pada Syariat Islam
Oleh: Cici Sefti
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Di wilayah Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat telah terjadi kasus perundungan yang menimpa seorang siswa SMP. Aksi kekerasan tersebut dilakukan oleh sejumlah teman sebayanya dan sempat terekam dalam sebuah video. Rekaman itu kemudian tersebar di media sosial dan menjadi viral pada hari Kamis (8-6-2023). Para pelaku melakukan aksi kekerasan fisik terhadap korban dengan memukul dan menendangnya secara bergiliran. Salah satu pelaku bahkan melontarkan ancaman pembunuhan menggunakan obeng (kompas.com, 10-6-2025).
Miris rasanya anak yang mulai beranjak dewasa melakukan perundungan dengan sadar. Kasus perundungan ini terjadi karena kegagalan regulasi dalam mencegah kekerasan di lingkungan sekolah. Meski berbagai aturan telah dibuat, implementasi dan penegakan hukum yang tegas masih sangat lemah.
Sementara itu, Pelaksana Harian Polsek Cicendo, AKP I Wayan Mirasni menyampaikan bahwa jumlah pelaku dalam kasus perundungan ini mencapai enam orang. Ia menjelaskan bahwa telah dilakukan proses mediasi antara korban dan para pelaku. Dari hasil mediasi tersebut, disepakati bahwa keenam pelaku diwajibkan untuk melakukan laporan rutin setiap hari Senin dan Kamis.
Namun sayangnya, para pelaku tidak menerima keputusan wajib lapor tersebut. Akibatnya, mereka kembali melakukan tindakan perundungan terhadap korban. Proses mediasi sendiri dilakukan pada Jumat (9-6-2023) di Mapolsek Cicendo.
Allah berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 90 yang artinya,
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat”
Islam menekankan pentingnya keadilan dan penegakan hukum sebagai bentuk pencegahan kejahatan. Sangat miris, solusi dari pihak berwajib pun tidak diindahkan oleh para pelaku. Tidak ada efek jera bagi para pelaku. Hal itu malah membuat pelaku melakukan perundungan kembali kepada korban.
Sistem pendidikan saat ini lebih menekankan aspek kognitif dan prestasi akademik, namun lalai dalam pembentukan karakter dan akhlak siswa. Kasus ini menunjukkan bahwa sistem gagal mencetak generasi yang memiliki empati, rasa tanggung jawab, dan kontrol diri.
Sistem sekuler kapitalistik memisahkan agama dari kehidupan, termasuk pendidikan. Nilai-nilai moral dan agama tidak menjadi dasar dalam perilaku individu. Kapitalisme juga menumbuhkan sikap individualistis dan permisif terhadap kekerasan, selama tidak mengganggu kepentingan materi. Dampaknya, generasi muda tumbuh dalam suasana yang miskin akan nilai keagamaan dan norma sosial yang baik.
Dalam Islam, keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Pelaku kezaliman wajib diberi sanksi tegas sesuai dengan syariat untuk memberi efek jera dan menjaga ketertiban masyarakat. Lemahnya sanksi membuat pelaku merasa bebas melakukan kejahatan serupa, bahkan di usia muda. Pendidikan adalah proses pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) yang menyeluruh mencakup akidah, akhlak, dan pemikiran. Islam menolak pemisahan agama dari kehidupan dan menjadikan syariat sebagai satu-satunya sumber hukum dan nilai.
Dalam Islam, anak yang telah mencapai usia baligh (cukup umur secara biologis dan mental) dianggap sebagai mukallaf, yaitu individu yang dikenai beban syariat dan bertanggung jawab atas perbuatannya di hadapan Allah Swt. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk membiarkan anak yang baligh melakukan kejahatan tanpa tanggung jawab. Islam memiliki pedoman untuk membimbing anak-anak sejak sebelum baligh agar terbiasa memilah antara halal dan haram, serta menjadikan syariat sebagai pedoman dalam bertindak.
Pendidikan dalam Islam dibangun di atas akidah Islam. Tujuan utamanya adalah membentuk manusia yang bertakwa, bukan sekadar cerdas. Anak-anak diajarkan sejak dini untuk mencintai Allah, memahami syariat, dan memiliki kepribadian yang mulia. Ketika mereka mencapai usia baligh, mereka sudah siap menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya di hadapan Allah dan sesama manusia. Inilah yang absen dalam sistem pendidikan sekuler saat ini.
Islam memandang pendidikan adalah tanggung jawab kolektif. Keluarga bertugas menanamkan nilai dasar dan membentuk karakter sejak kecil. Lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam tidak lepas dari kontribusi masyarakat di dalamnya. Negara wajib menyediakan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, menyusun kurikulum yang mencetak generasi mukmin, serta menjaga ketertiban sosial dengan hukum Islam. Bahkan pendidikan dalam keluarga pun dibimbing negara lewat kurikulum dan kebijakan yang Islami.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah membentuk generasi yang memiliki kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) yaitu cara berpikir dan bersikap berdasarkan akidah Islam. Generasi seperti ini tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga memiliki akhlak mulia, empati, tanggung jawab sosial, dan takut kepada Allah Swt. Mereka tidak akan terlibat dalam perundungan, karena sadar akan nilai keadilan, kasih sayang, dan larangan menyakiti orang lain.
Firman Allah dalam Surah Al-Ma'idah ayat 50 :
"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
Akan tetapi hal ini tidak akan bisa dilakukan dalam pemerintahan yang sekarang yaitu pemerintahan kapitalisme sekuler. Untuk mewujudkannya harus dalam sistem Khilafah Islamiyah.
Selama sistem kapitalis yang menjadi dasar pemerintahan, perundungan yang dilakukan oleh para pelajar tidak akan pernah bisa diberantas secara tuntas, karena akar sistemnya sendiri memfasilitasi lahirnya kejahatan demi keuntungan materi. Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi sistem hidup yang lengkap yang mampu melindungi akidah, moral, dan generasi masa depan.
Wallahu alam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar