Opini
Menambang Nikel di Raja Ampat, Musibah atau Berkah?
Oleh: Nandang Fathurrohman
(Mahasiswa Ideologis KPI UIN Bandung)
TanahRibathMedia.Com—Anda tahukan istilah berita “Surga Terakhir di Bumi” ini akan terancam punah? Berita ini disematkan kemana, pahamkan? Harusnya sudah tahulah ya, karena berita ini viral belakangan ini bahkan hingga hari ini dan sangat ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan di media sosial, kalau belum tahu, boleh baca tulisan ini hingga akhir ya.
Istilah “Surga Terakhir di Bumi” yang akan terancam punah ini disematkan kepada suatu kawasan atau bagian dari gugusan kepulauan yang berada di Papua, yaitu Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag. Wilayah ini dikenal dengan sebutan tersebut karena menyimpan keindahan dari mulai keanekaragaman hayati, kekayaan alam yang melimpah, dan keindahan laut yang sungguh luar biasa, terutama mineral yang termasuk di dalamnya nikel.
Menjadi sebuah pertanyaan pada paragraf awal, kenapa surga terakhir di bumi dalam hal ini Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag terancam punah? Karena, di dalamnya terdapat aktivitas penambangan, lantas bagaimana kronologinya, dan bagaimana Islam memandang hal tersebut? Apakah dampak penambangan nikel ini akan menimbulkan musibah atau berkah?
Kronologi penambangan Pulau Gag ini sebenarnya sudah sangat lama, singkatnya seperti dikutip dari Tempo.co (10-6-2025) menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan pertambangan nikel PT Gag Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, sudah ada sejak 1972, dan penandatangan Kontrak Karya-nya (KK) itu tahun 1998 (19 Februari 1998), tahun 1999-2002 tahap eksplorasi, 2006-2008: perpanjangan tahap eksplorasi, 2008-2013: tahapan studi kelayakan., 2015-2017: tahapan kegiatan konstruksi, 30 November 2017: tahap operasi produksi, izin diberikan hingga 30 November 2047.
Kemudian, di kawasan Raja Ampat ini terdapat lima perusahaan tambang yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP); dua perusahaan mendapatkan izin dari pemerintahan pusat yaitu PT Anugerah Surya Pratama (ASP) sejak 2013, PT Gag Nikel (GN) sejak 2017, dan tiga perusahaannya mendapatkan izin dari pemerintah daerah atau bupati Raja Ampat, yakni PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) sejak tahun 2013, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) pada tahun 2013, dan PT Nurham terbit tahun 2025 (metrotvnews, 8 Juni 2025).
Menurut berita yang beredar, dari kelima perusahaan itu empat perusahaan IUP-nya diduga sudah dicabut, walaupun begitu secara resmi belum, hanya secara lisan. Lantas empat perusahaan tambang mana saja yang dicabut dan satu perusahaan mana yang tidak? Kembali mengutip, dari Tempo.co (11-6-2025) bahwa Kepala Divisi Kampanye Walhi Fanny Tri Jambore mengatakan bahwa keputusan mencabut izin empat perusahaan dan membiarkan PT Gag beroperasi akan mengancam ekosistem laut di daerah itu.
Artinya, penambangan yang terjadi ini, sangat panjang bukan? Setiap ganti presiden ada saja perubahannya, baik dari kebijakan berikut UU yang ada, dan kebijakan izin penambangan. Ini bukan yang pertama kalinya, malah ini jelas bertentangan sekali dengan UU yang dibuat oleh pemerintah. yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mengatur secara jelas tidak boleh ada kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung, karena kawasan Raja Ampat termasuk kawasan konservasi.
Menuai Pro Kontra
Pihak yang pro terhadap masalah ini, seperti yang diungkapkan oleh Menteri ESDM Bahlil, yang mengatakan bahwa aktivitas penambangan Gag nikel yang berjarak 30 km lebih dari jantung karang Raja Ampat tidak membahayakan biodiversitas laut di sana, juga beliau berdalih untuk hilirisasi dengan energi yang baru agar kedepannya lebih baik (Mongabay, 17 juni 2025).
Kemudian pihak pro juga datang dari pejabat daerah Bupati Raja Ampat Orideko Burdam pun ikut bersuara dengan menyatakan aktivitas pertambangan nikel tidak merusak lingkungan, bahkan meminta rakyatnya agar pertambangan ini tidak ditutup.
Untuk pihak kontra, terhadap masalah ini, terlihat jelas kontranya apa yang dikatakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan, yaitu Greenpeace Indonesia, yang mengungkapkan bahwa Pulau Gag ini masuk kepada kategori pulau kecil, yang tak boleh ditambang, sebagaimana yang tercantum pada UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil. Bahkan, hal tersebut juga ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang melarang aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil (infosulawesi, 09 Juni 2025).
Tanggapan kontra juga datang dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan bahwa kasus penambangan di Pulau Gag ini bagian dari sejarah panjang eksploitasi di pulau-pulau kecil Indonesia, yang melibatkan korupsi kebijakan sistemik di berbagai rezim (Mongabay, 17 juni 2025).
Dari sejumlah statement pro dan kontra di atas menunjukkan bahwa ketika semuanya saling beradu argumentasi tanpa arah yang jelas, tak akan pernah menemukan titik terang, dan semakin terlihatlah wajah asli sistem pemerintahan demokrasi, yang konon katanya dari rakyat untuk rakyat, padahal nyatanya dari oligarki untuk oligarki, bahkan sekelas pejabat pun menyetujui hal ini, miris sekali!
Sistem demokrasi dengan ideologi kapitalisme yang lahir dari paham sekularisme liberalnya, pemerintah seolah berhak bertindak membebaskan semuanya. Undang-undang pun dibuat semaunya, menghalalkan segala cara, menjadi boneka para oligarki tambang yang rakus, tak peduli hal itu berdampak buruk bagi rakyat, dan lingkungan sekitarnya, maka demi cuan, apapun dilawan.
Pandangan Islam terhadap Penambangan Nikel
Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk masalah penambangan, lantas bagaimana Islam mengaturnya? Dalam buku karya Muhammad Husain Abdullah dengan judul Fikrul Islam, bab Asas-asas sistem ekonomi Islam, itu dibagi menjadi tiga, asas kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat. Asas kepemilikan, atau dalam bahasa arab ‘milkiyyah’, dibagi menjadi tiga jenis:
1. Milkiyyah Fardiyah = Kepemilikan Individu
2. Milkiyyah ‘Ammah = Kepemilikan Umum
3. Milkiyyah Daulah = Kepemilikan Negara
Dalam milkiyyah fardiyah bermakna kepemilikan individu yang diperoleh atau didapatkan manusia atas izin sang pembuat hukum, yakni Allah Swt., izin disini diartikan sebagai hukum syarak, yang dimanfaatkan individu manusia untuk sesuatu, seperti halnya seorang individu berhak memiliki harta yang bergerak maupun tidak, seperti kendaraan, tanah, uang tunai. Dan hak ini mesti dijaga betul oleh negara karena ini bagian dari kewajibannya dan diatur oleh hukum syarak.
Kemudian dalam milkiyyah ‘ammah maknanya kepemilikan umum atas izin Allah Swt., kepada masyarakat untuk keperluan bersama-sama dalam memanfaatkan sesuatu, dan ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Segala hal yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, rasulullah bersabda, yang artinya bahwa manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.
- Segala hal yang secara alami mencegah untuk dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, seperti jalanan, sungai, laut, danau, masjid, sekolah-sekolah negeri, dan lapangan umum.
- Tambang yang berjumlah banyak, dan depositnya tidak terbatas. Dan tambang dalam pandangan syariat Islam termasuk kedalam milkiyyah ‘ammah yang tidak boleh diprivatisasi, diliberalisasi oleh segelintir atau sekelompok orang, harus dimanfaatkan untuk seluruh masyarakat.
Terakhir, milkiyyah daulah, artinya kepemilikan negara yang setiap harta pengelolaannya diwakilkan kepada khalifah selaku kepala negara, seperti ganimah (rampasan perang), jizyah (pajak untuk orang kafir), kharaj, pajak, dan lainnya.
Sehingga, dalam pandangan syariat Islam, jelas menambang ketika diserahkan kepada pihak swasta atau asing hukumnya haram, apalagi hal itu hanya dimanfaatkan untuk kelompoknya saja, dan sudah tidak heran sebenarnya, karena sistem kapitalisme liberal ini membolehkan segala hal karena prinsipnya privatisasi, untung, cuan, liberalisasi, dan pemerintahnya juga hanya sebagai regulator saja kepada para oligarki.
Solusi yang bisa diambil, adalah seluruh izin tambang harus dicabut, dikembalikan kepada negara, untuk dikelola, serta perhatikan juga dampak-dampak yang akan ditimbulkannya, jika sudah ditambang, segera dilakukan perbaikan. Adapun ketika negara butuh bantuan boleh saja, meminta bantuan kepada rakyatnya, tapi tidak untuk diserahkan.
Menambang di Raja Ampat, Musibah atau Berkah?
Setelah, pemaparan diatas, anda harusnya sudah paham, dan bisa menyimpulkan ya, bahwa menambang di Raja Ampat saat ini jelas musibah, bagi negeri ini, selain karena dampak yang ditimbulkan, menambang dengan tidak taat pada syariat atau hukum Islam jelas ini musibah besar. Dan sebaliknya, akan menimbulkan berkah ketika tambang dikelola dengan benar dan langsung oleh negara, yang menerapkan syariat Islam secara sempurna.
Wallahu a’lam bishowwab.
Via
Opini
Posting Komentar