IBRAH
Di Balik Sate Kurban
Oleh: Maman El Hakiem
(Pegiat Literasi)
TanahRibathMedia.Com—Setiap kali Hari Raya Iduladha tiba, aroma daging yang terbakar perlahan di atas bara api menguar dari halaman-halaman rumah, masjid, dan tanah lapang. Sate pun menjadi hidangan khas yang hampir selalu ada, menandai bagian akhir dari rangkaian ibadah kurban. Namun, di balik tusuk sate yang tampak sederhana itu, tersimpan pesan mendalam tentang pengorbanan, keikhlasan, dan ketaatan kepada Allah.
Iduladha bukan sekadar hari makan daging atau merayakan hasil sembelihan. Ia adalah momen spiritual yang merujuk pada kisah agung Nabi Ibrahim as. dan putranya, Ismail as. Sebuah kisah tentang ujian berat: ketika seorang ayah diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri.
Ada sikap pembelajaran tentang ketaatan total kepada perintah Allah, tanpa tawar-menawar, keduanya tunduk. Ibrahim, sang ayah, bersiap menjalankan perintah yang nyaris mustahil. Ismail, sang anak, dengan ikhlas menerima bahwa dirinya adalah bagian dari pengorbanan itu.
Dari sinilah esensi kurban bermula: pengorbanan yang lahir dari ketaatan, dan ketaatan yang lahir dari cinta kepada Sang Pencipta. Tidak ada pemberontakan, tidak ada keluhan, hanya keikhlasan. Lalu Allah gantikan Ismail dengan seekor domba, sebagai bukti bahwa ketaatan sejati tak pernah sia-sia. Ada hikmah yang dapat kita petik bahwa setiap tetes darah yang mengalir dari hewan kurban adalah simbol kepasrahan kita kepada takdir dan kehendak-Nya.
Kini, berabad-abad setelah peristiwa itu, kita masih menghidupkan semangatnya. Setiap tusuk sate yang kita nikmati pada hari kurban seharusnya tidak hanya memuaskan lidah, tetapi juga menyentuh hati dan menyadarkan jiwa. Di balik kenikmatan rasa, ada kisah tentang pengorbanan. Di balik gumpalan daging, ada hikmah tentang keikhlasan. Bicara tentang pengorbanan dari balik tusuk sate yang menguji keimanan.
Bukankah kelezatan itu justru menjadi penutup manis dari sebuah ketaatan? Daging yang disembelih bukan untuk Allah, karena Dia tidak memerlukan darah atau daging. Yang sampai kepada-Nya hanyalah takwa dan keikhlasan kita (QS. Al-Hajj: 37).
Maka ketika kita menyantap sate kurban, hendaknya kita merenung, apakah kita sudah benar-benar ikhlas dalam berkorban? Kaitannya dengan hawa nafsu kita, apakah sudah tunduk sebagaimana Ibrahim menundukkan egonya? Sudahkah kita berani "menyembelih" keinginan-keinginan dunia demi rida-Nya?
Hari kurban mengajarkan bahwa kenikmatan sejati justru lahir dari pengorbanan. Setiap ketaatan yang kita jalani, meski berat di awal, akan selalu berujung pada manisnya iman.
Jadi, saat tusuk sate itu tersaji di tangan kita, jangan hanya lihat dagingnya. Lihatlah cerita di baliknya—kisah cinta, taat, dan ikhlas kepada Allah yang harus terus hidup dalam diri setiap mukmin.
Wallahu'alam bish Shawwab.
Via
IBRAH
Posting Komentar