Opini
Lindungi ‘Surga Terakhir’ di Bumi dengan Islam
Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd.
(Pemerhati Sosial)
TanahRibathMedia.Com—Surga terakhir di Bumi, Raja Ampat, bentang alam kebangaan Indonesia nampaknya kini hanya tinggal cerita. Berdasarkan catatan organisasi peduli lingkungan independen, Greenpace, lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami di Pulau Gag, Pulau Kau, dan Pulau Man telah dibabat untuk aktivitas pertambangan. Hal ini bertentangan secara diametral pada UU No. 1 Tahun 2014 bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak bisa digunakan untuk aktivitas pertambangan.
Keindahan pulau-pulau tersebut menjadi lokasi hilirisasi nikel yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekosistem setempat. Kepala Global Greenpace untuk kampanye hutan Indonesia, Kiki Taufik mengatakan kawasan Raja Ampat memiliki kekayaan alam sebesar 75% untuk spesies terumbu karang di dunia, 1400 jenis ikan-ikan karang, dan 700 invertebrata jenis moluska (tempo.co, 4-6-2025).
Selat Lampir di Raja Ampat memiliki arus deras yang baik untuk habitat pari Manta Oceanic dan Alfredi yang kini sudah terancam punah dengan status ‘vulnerable extinction’ (rentan punah). Tentu saja, keberadaan tambang nikel ini akan mengganggu kehidupan biota laut di sekitarnya. Bahkan, terumbu karang pun bisa rusak akibat lalu lalangnya kapal tongkang pengangkut nikel yang melintasi wilayah perairan Raja Ampat.
Tidak hanya pada ekosistem laut, kehidupan satwa khas Papua yang hidup di kawasan tersebut juga terancam. Salah satunya adalah Cendrawasi Botak Cicinurus Republika atau Wilson's Bird of Paradise yang merupakan spesies endemik dan hanya ditemukan di wilayah Raja Ampat.
Meski telah jelas melanggar regulasi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil tetap berlangsung. Namun, semua undang-undang itu tidak berarti bagi para kapital dalam hal ini perusahaan tambang.
Bahkan, faktanya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, Bahlil Lahadaliah hanya memutuskan untuk menghentikan sementara operasional tambang nikel di Pulau Gag yang dikelola PT Gak Nikel. Bukannya menghentikannya secara total.
Hal ini diduga hanya untuk meredam resistensi masyarakat secara luas setelah menjadi sorotan publik. Terutama setelah sejumlah aktivis Greenpace Indonesia melakukan aksi damai dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pulman, Jakarta pada Selasa, 3 Juni 2025.
Kondisi ini makin memperjelas bahwa ekonomi kapitalisme telah menjadi asas dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Ekonomi kapitalisme menganut kebebasan kepemilikan sehingga siapapun yang memiliki modal bisa menguasai apapun untuk mendapatkan keuntungan, sekalipun itu harus mengorbankan alam.
Manusia sejatinya terjadi hubungan resiprokal pada alam. Meski kehidupan modernisasi pada teknologi telah terjadi secara massif dan sistematis. Akan tetapi, bukan berarti alam dirusak hanya untuk kepentingan keuntungan materi yang tidak sebanding dengan proses alam dalam membentuk bentang alam.
Manusia kini seringkali melupakan jika ekosistem laut rusak selain kehilangan keanekaragaman hayati, atau kehilangan mata pencaharian, hal yang paling mengerikan adalah gangguan rantai makanan, penurunan kualitas air minum, dan peningkatan risiko bencana alam. Jika telah rusak, lalu apa yang akan diwariskan bagi generasi masa depan? Tentu, mereka punya hak untuk memanfaatkan ekosistem laut.
Jika masih menggunakan ekonomi kapitalisme dalam asas kebijakan maka generasi emas pada tahun 2045 hanya akan menjadi bualan semata. Sebab, generasinya hanya akan mendapati alam yang telah rusak.
Konservasi dalam Islam (Hima)
Upaya pelestarian alam membutuhkan kepemimpinan yang berfungsi sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung). Kepemimpinan yang seperti ini akan menjaga kelestarian alam seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam Quran surah Al-A'raf ayat 56 yang artinya:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya Rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Kepemimpinan sebagai ra’in dan Junnah hanya akan terwujud di dalam sistem Islam, yakni khilafah.
Konsep konservasi dalam Islam dikenal sebagai hima (tempat yang dilindungi). Praktik hima dilakukan pada harta milik umum yang diproteksi oleh negara. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Sa'bi bin Jusmah yang berkata, "Tidak ada hima atau proteksi kecuali hal itu merupakan hak Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari)
Makna hadis tersebut adalah tidak ada hak penguasaan atau hima kecuali oleh negara khilafah. Allah dan Rasulnya telah menghima tanah milik umum untuk keperluan jihad orang-orang fakir, orang-orang miskin, serta untuk kemaslahatan kaum muslim secara keseluruhan.
Secara af'al atau perbuatan, Rasulullah sallallahu alaihi wasallam sebagai kepala negara Islam di Madinah pernah melakukan hima. Para khalifah setelah beliau juga mempraktikkan hal yang sama, yakni menetapkan sebagian harta yang termasuk milik umum dengan cara tertentu sebagai kawasan khusus.
Rasulullah menghima wilayah tertentu di daerah sekitar Madinah. Dari Nafi dari Ibnu Umar radhiallahu anhu diriwayatkan bahwa ia berkata, "Rasulullah sallallahu alaihi wasallam pernah menghima daerah Naki suatu tempat berair yang terletak 20 farsakh dari kota Madinah untuk unta-unta kaum Muslim.”
Khalifah Abu Bakar radhiallahu anhu juga pernah mempekerjakan maula beliau Abu Salamah mengurus padang rumput sebagai bentuk untuk menghima padang rumput agar wilayah menggembalakan unta-unta zakat terpelihara.
Khalifah Umar bin al-Khattab radhiallahu anhu juga pernah menghima padang rumput pada bagian yang tinggi dan mempekerjakan Hunai untuk menjaga dan mengatur tempat tersebut. Jika ada khilafah maka khilafah akan menjaga kelestarian lingkungan di Raja Ampat.
Bahkan, bisa jadi ditetapkan untuk dihima demi menjaga keseimbangan ekosistem di sana. Khilafah tidak akan membiarkan para kapital mencaplok wilayah tersebut untuk dieksploitasi. Sebab, sumber daya alam adalah milik umat. Haram dikuasai oleh perusahaan swasta.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Daud & Ahmad)
Menjaga kelestarian alam, mengatur wilayah untuk dihima, tidak memberi izin swasta mengelola tambang merupakan syariat Islam yang hanya bisa dilakukan oleh negara. Oleh karena itu, sejatinya umat Islam membutuhkan institusi negara khilafah agar semua syariat bisa diterapkan secara kaffah.
Wallahu 'alam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar