Opini
Maraknya Paylater dan Pinjol, Bukti Minimnya Kesejahteraan
Oleh: Nai Ummu Maryam
(Penulis dan Pemerhati Permasalahan Sosial)
TanahRibathMedia.Com—Mengejutkan! Dari tahun ke tahun jumlah pengguna paylater dan pinjaman online (pinjol) meningkat drastis. Dilansir dari data Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) dikatakan hingga Mei 2024, 129 juta orang di Indonesia meminjam uang ke fintech lending, dengan total penyaluran dana pinjaman mencapai Rp874, 5 triliun.
Begitu pun dengan penggunaan paylater pada tahun 2024, Indonesia memiliki sekitar 20 juta rekening paylater (buy now pay later) atau mencapai 16,4 juta orang dengan 48,4 juta akun per November 2024. Mayoritas para pengguna layanan paylater di dominasi oleh perempuan dan Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi dengan pengguna paylater terbanyak dalam transaksi online maupun offline. Jadi, jika ditotalkan utang masyarakat Indonesia di layanan paylater tembus Rp30,36 triliun per November 2024, terus meningkat dari bulan sebelumnya.
Akar Masalah Utama
Banyaknya pengguna layanan pinjol, paylater, dan sejenisnya menunjukkan minimnya kesejahteraan masyarakat Indonesia hari ini. Minimnya lapangan pekerjaan, pendidikan yang mahal, biaya hidup yang tinggi, sehingga tidak sedikit masyarakat Indonesia memilih cara yang instan dengan cara berutang. Gempuran gaya hedonisme dan konsumerisme mewarnai kehidupan hari ini. Slogan beli sekarang bayar nanti menjadikan kemudahan jalan untuk mudah berutang.
Seharusnya ini menjadi catatan utama negara ini. Pinjol, paylater, atau pinjaman melalui bank seyogianya bukanlah solusi dalam mengatasi permasalahan ekonomi hari ini. Justru yang ada makin mencekik kondisi rakyat Indonesia, apalagi pinjaman yang ditawarkan berbasis ribawi.
Kacamata Islam
Dalam pandangan Islam berutang itu hukumnya mubah atau boleh. Namun kebolehan ini juga wajib disandarkan pada hukum-hukum syarak yang mengikatnya. Misalnya tidak boleh utang-piutang yang berbasis ribawi (berbunga), tidak boleh ada pihak yang terzalimi, dan berniat melunaskannya dengan waktu yang sudah disepakati bersama.
Sebagaimana firman dalam Al-Quran yang telah mengharamkan riba,
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al Baqarah: 275).
Sayangnya, negeri yang mayoritas Muslim ini justru memfasilitasi adanya pelayanan utang-piutang berbasis riba. Seharusnya negara menjadi perisai atau pelindung bagi rakyatnya. Memastikan bagaimana rakyatnya hidup dalam kesejahteraan, menjamin lapangan pekerjaan dan menutup segala pelayanan yang menghantarkan kepada dosa besar seperti riba.
Ya, tidak bisa dimungkiri saat ini kita hidup dalam tatanan ekonomi kapitalisme di mana halal dan haram bukan menjadi tolok ukur dalam kehidupan. Untung dan rugi, kaya dan miskin menjadi standar kebahagiaan dalam hidup.
Negara seharusnya melakukan perubahan mendasar dengan berpikir kritis bahwa sistem ekonomi berbasis kapitalisme ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam menjalankan roda perekonomian.
Berbeda dengan aturan Islam, jika negara menerapkan Islam tentunya ekonomi Islam pun akan membawa kepada kebaikan dan kesejahteraan. Dalam pandangan Islam, menjamin kesejahteraan setiap individu adalah tanggungjawab utama negara. Jika rakyat sejahtera maka akan jauh dari kata "utang-piutang".
Negara juga seharusnya menjadi benteng untuk mencegah praktik-praktik ribawi baik bersifat online maupun offline. Lalu mengedukasi masyarakat untuk tidak bersifat konsumtif.
Mari, sudah saatnya kita melek aturan Islam yang membawa banyak kebaikan dan keberkahan baik dunia maupun akhirat.
Wallahualam.
Via
Opini
Posting Komentar