OPINI
Warga Bantu Warga, di Mana Negara?
Oleh: Marlina Wati, S.E
(Muslimah Peduli Umat)
TanahRibathMedia.Com—Setiap hari berita banjir di berbagai daerah. Pemandangan yang sama kembali terulang lagi. Rakyat saling bantu rakyat, warga yang sama-sama terkena banjir justru bergotong royong menyelamatkan diri, berbagi makanan, bahkan mengevakuasi tetangga. Di tengah penderitaan, solidaritas tumbuh. Namun di balik kisah kemanusiaan itu, muncul pertanyaan besar: di mana peran negara ketika bencana banjir terus menimpa rakyat?
Di tengah banjir yang belum juga surut, warga hanya bisa berharap air segera turun dan listrik kembali menyala agar komunikasi pulih dan suara mereka kembali terdengar. Bertahan dalam gelap dan sunyi selama berhari-hari menjadi kisah memilukan, ketika ratusan keluarga menunggu uluran tangan dan kabar baik di rumah-rumah yang terendam.
Bencana belum usai hadir peryataan dari BMKG memprediksi potensi banjir rob kembali terjadi pada 1 – 9 Desember, membuat warga yang baru mulai bernapas kembali dihantui kecemasan. Di saat yang sama, pemerintah daerah menyampaikan bahwa lima gardu induk PLN di Medan Utara dan Medan Marelan rusak akibat banjir.
Perbaikan baru bisa dilakukan sebagian, sementara warga Marelan masih harus menunggu air surut untuk sekadar mendapatkan listrik. Kondisi ini menegaskan bahwa banjir bukan hanya persoalan alam, melainkan cermin lemahnya kesiapsiagaan dan perlindungan negara terhadap rakyatnya.
Lagi-lagi, warga berada dalam posisi menunggu air surut, menunggu listrik menyala, menunggu negara hadir sepenuhnya. Warga terus diminta bersabar dan menunggu, pertanyaan sampai kapan rakyat harus bertahan dalam kegelapan, sementara solusi nyata tidak kunjung di selesaikan. Disini rakyat berharap negara tidak tenggelam dalam diam ketika rakyat membutuhkannya (Tribun-Medan.com, 30-11-2025).
Di Mana Negara ketika Bencana Banjir Terus Menimpa Rakyat?
Sejatinya ini adalah jeritan yang lahir dari kelelahan. Di lapangan, yang paling cepat bergerak justru sesama warga—korban membantu korban—sementara negara sering hadir terlambat dan sebatas penanganan darurat. Bantuan datang setelah banjir meluas, listrik padam, dan rakyat bertahan dalam gelap, seolah negara baru menyadari bencana ketika dampaknya sudah tak terelakkan. Peran negara seharusnya tidak berhenti pada evakuasi dan logistik.
Negara wajib mencegah, bukan sekadar merespon. Namun banjir terus berulang akibat tata kelola lingkungan yang buruk, alih fungsi lahan yang dibiarkan, drainase yang tidak dibenahi, dan kebijakan yang lebih menguntungkan kepentingan ekonomi dari pada keselamatan rakyat. Ketika akar masalah diabaikan, rakyatlah yang menanggung risikonya setiap musim hujan tiba.
Banjir yang terus berulang bukan semata bencana alam, melainkan akibat ulah oligarki yang rakus menebang hutan demi keuntungan. Pohon ditebang, lahan disulap jadi proyek, sementara daya serap air hilang dan sungai kehilangan penyangga alaminya. Ketika hujan turun, air tidak lagi punya tempat kembali akhirnya meluap ke rumah-rumah rakyat.
Ironisnya, praktik ini sering dibiarkan atas nama investasi dan pembangunan. Negara hadir memberi izin, namun absen dalam pengawasan dan perlindungan lingkungan. Keuntungan mengalir ke segelintir elit, sementara banjir menjadi beban tahunan yang harus ditanggung rakyat kecil. Selama oligarki diberi ruang merusak alam tanpa sanksi tegas, banjir akan terus menjadi tragedi berulang.
Bencana ini bukan sekadar soal cuaca, tetapi soal keberpihakan, apakah negara melindungi rakyat dan lingkungan, atau tunduk pada kepentingan pemodal.Kapitalisme melahirkan kebijakan yang berpihak pada oligarki. Izin tambang, alih fungsi lahan, dan proyek-proyek besar mudah diberikan, sementara dampak ekologisnya diabaikan. Negara lebih sibuk menjaga iklim investasi ketimbang memastikan keselamatan warganya.
Maka wajar jika banjir terus berulang, karena akar masalahnya tidak pernah disentuh. Selama sistem kapitalisme diterapkan di negeri ini, masalah banjir tidak akan pernah benar-benar selesai. Dalam sistem ini, alam dipandang sebagai komoditas, bukan amanah yang harus dijaga. Hutan ditebang, rawa ditimbun, sungai dipersempit demi keuntungan segelintir pemodal. Ketika hujan datang, rakyatlah yang menanggung akibatnya.
Bagaimana Islam Menyelesaikan Bencana Banjir?
Islam memandang bencana banjir bukan sekadar musibah alam, melainkan akibat rusaknya tata kelola kehidupan. Dalam Islam, alam adalah amanah dari Allah yang wajib dijaga, bukan komoditas untuk dieksploitasi. Oleh karena itu, penyelesaian banjir harus menyentuh akar masalahnya. Hal ini hanya mungkin terwujud melalui penerapan sistem Islam secara menyeluruh dalam naungan Khilafah Islamiyyah.
Dalam Khilafah, negara berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat), bukan pelayan kepentingan modal. Hutan, sungai, dan sumber daya alam ditetapkan sebagai kepemilikan umum, haram dikuasai oligarki atau dikapitalisasi. Penebangan liar, alih fungsi lahan serampangan, dan perusakan lingkungan akan dicegah sejak awal dengan hukum tegas dan pengawasan ketat.
Dalam negara Islam juga wajib membangun tata ruang, drainase, dan pengelolaan sungai berbasis kemaslahatan rakyat, bukan keuntungan segelintir orang. Lebih dari itu, Islam menyelesaikan banjir secara sistemik, mulai dari pencegahan, penanganan cepat, hingga pemulihan menyeluruh.
Negara wajib memastikan kesiapsiagaan bencana, distribusi bantuan tepat waktu, dan pemulihan kehidupan warga tanpa menunggu viral atau sorotan kamera. Maka dengan tegaknya Khilafah Islamiyyah, banjir tidak lagi menjadi penderitaan tahunan rakyat, karena akar kerusakan penerapan sistem kapitalisme dan dominasi oligarki dicabut hingga tuntas.
Via
OPINI
Posting Komentar