OPINI
Menelaah Narasi ‘Marriage is Scary’ di Era Krisis
Oleh: Basundari
(Aktivis Muslimah Pasuruan)
TanahRibathMedia.Com—Di tengah gegap-gempita jargon “Generasi emas”, anak-anak muda negeri ini justru tumbuh dengan ketakutan yang sunyi: takut miskin, takut gagal, dan lebih ironisnya takut menikah. Bukan karena mereka tidak memimpikan rumah yang hangat atau keluarga yang utuh, tetapi karena realitas sosial-ekonomi berdiri seperti tembok kokoh di hadapan mereka.
Data menunjukkan semakin banyak anak muda menunda menikah karena menilai kestabilan ekonomi jauh lebih penting daripada sekadar memenuhi ekspektasi budaya. Lonjakan harga kebutuhan pokok, biaya hunian yang kian melambung, serta persaingan kerja yang ketat membuat mereka berhitung ulang. Apakah pernikahan adalah langkah bijak, atau justru tiket menuju kejatuhan finansial? (Kompas.id, 28-11-2025).
Narasi “marriage is scary” pun bergaung di media sosial, diperkuat kisah-kisah pahit rumah tangga yang tumbang karena masalah ekonomi. Seolah-olah pernikahan bukan lagi ruang aman bagi manusia untuk bertumbuh, tetapi ruang gelap yang penuh risiko. Dunia modern berubah menjadi panggung di mana rasa takut menjadi dalang yang menggerakkan keputusan hidup.
Ketakutan itu tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari sistem kapitalisme yang menguasai denyut ekonomi. Sistem yang membuat harga melambung tanpa kendali, menyediakan pekerjaan yang semakin sulit diraih, dan memaksa generasi muda mengejar upah yang tidak cukup untuk hidup layak. Negara, yang seharusnya menjadi penjaga kesejahteraan rakyat, lebih sering tampak seperti penonton yang duduk jauh di tribun, membiarkan beban hidup dipikul sendiri oleh warganya -satu per satu, tanpa perlindungan berarti.
Di tengah gurun kesejahteraan itu, gaya hidup materialis dan hedonis ikut tumbuh menjadi fatamorgana. Ia tampak indah dan memabukkan, tetapi kosong. Pendidikan sekuler dan media liberal menanamkan standar kebahagiaan berbasis kepemilikan atas rumah mewah, liburan mahal, dan pesta yang memamerkan eksistensi menjadikan generasi terpaku pada gaya hidup mewah dan serba kekurangan finansial.
Tak heran, karena hal ini pernikahan akhirnya dianggap beban oleh entitas yang menuntut biaya hidup besar, sementara kehidupan lajang terlihat lebih ringan dan bebas. Padahal, di balik visualisasi glamor itu, manusia kehilangan makna terdalam hidupnya, bahwa keluarga adalah ruang penjaga fitrah, ladang kebaikan, dan jalan melanjutkan keturunan.
Tetapi sejarah peradaban mengajarkan satu hal bahwa ketakutan ini tidak akan punah jika akar masalahnya dibiarkan. Sampai kapan anak muda dibiarkan memikul seluruh beban peradaban seorang diri? Mereka tumbuh dalam ruang sosial yang menegakkan standar tinggi tentang sukses, tetapi merelakan negara berdiri jauh sebagai penonton.
Pendidikan mengajarkan mimpi, tetapi bukan jaminan hidup. Media menawarkan gaya hidup, tetapi tanpa fondasi moral. Sistem ekonomi menjanjikan kesempatan, tetapi memberikan kenyataan pahit biaya hidup yang kian menyesakkan. Di sini lah letak patahan besar itu, ketika individu diminta menyelesaikan masalah struktural. Masalah yang diakibatkan oleh sistem yang mengejar gaya hidup, dan mengajarkan sekularisme serta hedonisme. Padahal tugas penyelesaian akar masalah ini semestinya dipikul negara.
Maka, dari titik ini kita perlu menoleh ke sistem alternatif yang pernah membawa peradaban berdiri tegak dan manusia hidup tanpa ketakutan akan esok hari. Hari ini dibutuhkan keberanian perubahan sistemik, bukan sekadar nasihat moral. Dalam perspektif Islam, negara seharusnya hadir bukan sebagai penonton, tetapi sebagai penjamin kehidupan. Negara wajib memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya sebagai bagian dari penerapan sistem ekonomi Islam yang adil dan terarah.
Pengelolaan milkiyyah ammah (kepemilikan umum) seperti sumber daya alam, energi, air, dan kekayaan serta sarana prasarana publik tidak boleh jatuh ke tangan swasta atau asing. Ia harus berada dalam kendali negara agar hasilnya dapat dikembalikan kepada rakyat untuk menekan biaya hidup dan menciptakan stabilitas ekonomi yang nyata, bukan ilusi. Ketika kehidupan dapat dijalani tanpa ketakutan finansial, maka pernikahan pun tidak lagi tampak seperti ancaman, tetapi kesempatan.
Lebih dari itu, pendidikan berbasis akidah Islam mampu membentuk generasi berkarakter yang tidak rapuh oleh arus hedonisme, tidak silau oleh materi, tidak bingung oleh standar kebahagiaan palsu. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang mampu memikul tanggung jawab, mencintai ilmu, menjaga moral, dan terlebih lagi akan siap membangun keluarga sebagai benteng umat.
Terlebih, penguatan institusi keluarga adalah kunci. Dalam Islam, pernikahan bukan beban, melainkan ibadah. Bukan ancaman kemiskinan, melainkan pintu keberkahan. Bukan sekadar kontrak sosial, tetapi penjaga keturunan dan peradaban. Bila negara menjalankan amanahnya dan masyarakat kembali menata nilai-nilainya, maka generasi muda tak lagi perlu ketakutan. Mereka akan melihat pernikahan bukan sebagai lompatan menuju kegelapan, tetapi sebagai cahaya yang mengantarkan pada masa depan.
Mungkin, pada saat itu, narasi “Marriage is scary” akan perlahan mati dan digantikan keyakinan bahwa keluarga adalah rumah pertama peradaban. Maka, masih bisakah kita berharap pada sistem hari ini, sedangkan ada sistem alternatif lain yang lebih baik yaitu Islam?
Via
OPINI
Posting Komentar