Opini
Realita Pahit: Ketakutan Menikah di Tengah Tekanan Ekonomi Kapitalisme
Oleh: Widya Dwi G.
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Dahulu, menikah adalah fase hidup yang wajar dialami oleh seseorang ketika sudah mulai menginjak usia tertentu. Hal ini otomatis seiring dengan bertambahnya usia. Namun belakangan ini, fenomena takut menikah sepertinya mulai marak di kalangan pemuda. Mereka menghadapi realita pahit berhadapan dengan kondisi ekonomi yang ada, sehingga membuat keputusan menikah menjadi hal yang berisiko besar. Hal ini bisa dilihat dari tren menikah di kalangan pemuda yang menurun tiap tahunnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024, sebanyak 69,75% pemuda berusia 16-30 tahun belum menikah. Angka ini meningkat dibanding tahun 2015 yang hanya 55% (wordpress.com, 20-09-2025).
Tren seperti itu tidak hanya terjadi di kota besar tapi hampir merata di seluruh daerah. Survei Alvara research pada tahun 2019 mencatat 66.3% generasi muda menganggap usia ideal menikah adalah 21-25 tahun dan 28,1% sisanya beranggapan usia terbaik di 26-30 tahun. Kemudian survei tahun 2025 yang dilakukan oleh Populix mencatat bahwa 61% pemuda memilih menikah di usia 25-30 tahun adalah waktu yang ideal. Sisanya masih berpendapat bahwa usia 20-25 adalah waktu terbaik (republic.co.id, 23-08-2025). Ini menunjukkan ada pergeseran usia ideal menikah di kalangan para pemuda. Serta adanya narasi ‘marriage is scary’ yang cukup gencar dikampanyekan saat ini semakin menambah ketakutan generasi muda untuk menikah.
Sementara itu, harga perumahan semakin tahun semakin melonjak, hingga nyaris tak terbeli oleh generasi muda sekarang yang hanya memiliki penghasilan rata-rata UMR, atau yang gajinya dibawah UMR, bahkan tidak sedikit yang bekerja feelance dan tidak memiliki penghasilan tetap. Sehingga memiliki sebuah hunian tetap seakan menjadi hanya sebuah mimpi. Berdasarkan data, 81 juta generasi muda belum meiliki rumah (kompas.id, 04-08-2025).
Mengapa pemuda takut menikah? Berikut beberapa alasannya:
1. Tekanan ekonomi dan biaya hidup tinggi
Tekanan biaya hidup datang dari sistem kapitalisme. Naiknya harga kebutuhan yang lebih cepat dari kenaikan gaji, melambungnya harga hunian, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Biaya yang dibutuhkan untuk melangsungkan pernikahan pun tidaklah sedikit, apalagi biaya kehidupan pasca pernikahan.
2. Ketidakpastian pekerjaan dan masa depan
Memiliki pekerjaan tetap adalah hal yang langka saat ini. Karena sebagian besar perusahaan memakai sistem outsourching untuk para karyawannya. Dan gelombang PHK seringkali terjadi. Selain itu para pemuda dihdapkan dengan lapangan kerja yang jumlahnya terbatas dan upah yang rendah, serta jam kerja yang panjang.
3. Gaya hidup materialisme dan hedonisme
Pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal menyebakan generasi muda terjangkiti gaya hidup hedonisme, yang membuat mereka memiliki taraf hidup yang tinggi dengan berstandar pada media sosial. Sehingga mereka memiliki pandangan bahwa harus memiliki materi (rumah, kendaraan, tabungan dll) dulu baru bisa menikah. Mereka juga menempatkan kesenangan pribadi sebagai tujuan hidup, dan menganggap pernikahan sebagai penghalang kebahagiaan.
4. Negara sebagai regulator cenderung lepas tangan
Kebutuhan mendasar seperti kesehatan dan pendidikan, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, tetapi saat ini hal tersebut menjadi tanggung jawab masing-masing individu. Sehingga ini menjadi beban tersendiri bagi generasi muda.
5. Perubahan cara pandang terhadap pernikahan
Pernikahan yang semestinya dimaknai sebagai bentuk ibadah yang menyempurnakan separuh agama, ladang kebaikan dan jalan untuk melangsungkan keturunan. Namun saat ini mengalami pergeseran makna. Generasi muda saat ini menganggap pernikahan bukanlah prioritas. Karena mereka lebih memilih untuk mencapai kestabilan ekonomi terlebih dahulu. Bukan berarti mereka enggan menikah, namun mereka menginginkan pernikahan yang sehat dengan ekonomi yang stabil sehingga membutuhkan persiapan yang matang.
Lalu bagaimana agar tercipta pemuda yang tidak takut menikah?
Dalam Islam, Negara berkewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat seperti akses pangan, hunian yang layak, pendidikan dan kesehatan yang mudah diakses dengan kualitas yang baik serta keamanan. Negara juga harus membuka lapangan kerja yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam.
Negara juga wajib melakukan pengelolaan milkiyyah ammah (kepemilikan umum) oleh negara, bukan swasta/asing, sehingga hasilnya kembali untuk kesejahteraan masyarakat dan mampu menekan biaya hidup. Akibatnya, keputusan menikah tidak menjadi menakutkan karena kebutuhan dasar tidak dipikul oleh individu.
Islam juga memberikan pengaturan yang jelas dalam pembagian peran keluarga, dimana suami berkewajban bekerja mencari nafkah sedangkan istri tidak wajib bekerja. Dan keduanya bekerja sama dalam rumah tangga. Pendidikan pun harus diterapkan dengan berlandas pada akidah Islam yang akan membentuk generasi berkarakter, tidak terjebak hedonisme dan materialisme. Mereka justru menjadi penyelamat umat.
Perlu adanya penguatan individu institusi keluarga, dengan mendorong pernikahan sebagai ibadah dan penjagaan keturunan. Serta tidak menerapkan standar yang terlalu tinggi untuk mahar dan biaya pernikahan. Pernikahan juga harus dipahami bukan sebagai sumber kemiskinan, melainkan salah satu pembuka rezeki. Islam membesarkan generasi yang berani menikah karena yakin pada Allah, bukan pada saldo bank.
Via
Opini
Posting Komentar