OPINI
Generasi Muda Takut Nikah: Luka Ekonomi Kapitalisme
Oleh: Prayudisti SP
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Belakangan ini, fenomena anak muda yang semakin takut menikah bukan lagi sekadar wacana media sosial. Ia menjadi realitas sosial yang ditegaskan oleh data dan pemberitaan. Kompas.id (23 Oktober 2025) mencatat bahwa banyak anak muda kini “lebih takut miskin dibanding takut tidak menikah”, sebuah tren yang mencerminkan tekanan ekonomi yang makin berat.
Riset yang dikutip oleh Rinews.id (21 November 2025), menunjukkan bahwa 68 persen responden usia 23–35 tahun menunda pernikahan karena kenaikan biaya hidup, ketidakpastian pekerjaan, serta tingginya biaya hunian. Beban tersebut membuat pernikahan dianggap risiko besar, bukan awal kebaikan. Di sisi lain, Periskop.id (16 November 2025) menyoroti narasi populer “marriage is scary” yang berkembang di media digital dan semakin memperkuat ketakutan tersebut.
Kapitalisme dan Ketakutan Struktural akan Kemiskinan
Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan ketakutan struktural. Kapitalisme menjadikan kebutuhan dasar seperti pangan, hunian, dan pendidikan sebagai komoditas berharga tinggi. Akibatnya, biaya hidup meningkat, pekerjaan tidak stabil, dan upah tidak mampu mengejar inflasi.
Dalam kondisi seperti ini, wajar bila generasi muda merasa belum layak menikah. Ketakutan bukan berasal dari komitmen pernikahannya, melainkan ketidakmampuan ekonomi untuk menjalani kehidupan setelah pernikahan. Sistem ini telah membentuk imajinasi sosial bahwa menikah adalah beban, bukan berkah.
Masalah semakin berat karena negara sebagai regulator, berada dalam posisi yang terkesan pasif. Alih-alih hadir melindungi dan menjamin kesejahteraan rakyat, negara sering membiarkan rakyat berjuang seorang diri menghadapi harga-harga yang terus naik dan persaingan kerja yang semakin ketat.
Budaya Materialisme yang Menggeser Makna Pernikahan
Selain faktor ekonomi, budaya materialisme yang lahir dari pendidikan sekuler dan media liberal ikut memperparah keadaan. Anak muda dibentuk untuk mengejar gaya hidup, pencapaian materi, dan kebebasan personal. Dalam budaya ini, pernikahan dipandang sebagai kehilangan kebebasan atau beban finansial baru.
Orientasi hidup menjadi semakin individualistik. Nilai ibadah, keluarga, dan keturunan bergeser menjadi pencapaian diri dan konsumsi. Akibatnya, pernikahan yang seharusnya menjadi jalan menjaga fitrah dan membangun generasi justru dinilai menakutkan.
Perspektif Islam sebagai Jalan Pemulihan
Islam menawarkan konstruksi sosial-ekonomi yang berbeda dari akar masalah kapitalisme. Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat — pangan, pendidikan, kesehatan, hunian — serta membuka lapangan kerja yang luas.
Pengelolaan milkiyyah ammah (kepemilikan umum) seperti energi, air, dan sumber daya alam berada di tangan negara, bukan swasta atau asing, sehingga manfaatnya kembali kepada masyarakat dan menekan biaya hidup.
Dengan kondisi seperti ini, ketakutan terhadap pernikahan tidak muncul, sebab rakyat tidak terbebani untuk bertahan hidup secara individual. Negara memberi jaminan, sementara masyarakat menjalani kehidupan berkeluarga dengan tenang.
Di samping itu, pendidikan berbasis aqidah melahirkan generasi yang berkarakter mulia — tidak terjebak hedonisme dan materialisme, tetapi memiliki orientasi ibadah, tanggung jawab, dan kemandirian. Generasi yang demikian melihat pernikahan bukan sebagai beban, melainkan sebagai ibadah dan amanah untuk menjaga keturunan.
Penguatan Institusi Keluarga sebagai Fondasi Peradaban
Islam menempatkan keluarga sebagai pilar peradaban. Karena itu, pernikahan didorong sebagai sarana penyempurna agama, penjaga keturunan, dan pembentuk masyarakat yang kuat. Dengan jaminan ekonomi yang adil dan pendidikan yang berakar pada aqidah, institusi keluarga dapat berdiri kokoh dan menjadi benteng sosial umat.
Dalam kerangka ini, pernikahan tidak lagi menakutkan. Anak muda dapat melihat masa depan dengan optimis, sebab kehidupan mereka tidak ditentukan oleh pasar yang tak kenal belas kasih, tetapi oleh sistem yang adil dan berpihak pada kesejahteraan.
Penutup
Ketakutan generasi muda terhadap pernikahan bukan sekadar fenomena psikologis atau budaya, melainkan akibat langsung dari luka struktural kapitalisme: biaya hidup tinggi, hunian mahal, pekerjaan tidak pasti, dan budaya materialistik yang mengikis makna keluarga.
Islam menawarkan solusi menyeluruh melalui sistem ekonomi yang adil, pendidikan pembentuk karakter, dan penguatan institusi keluarga. Bila negara mau hadir dengan pendekatan ini, generasi muda tidak lagi takut menikah — sebab pernikahan kembali menjadi jalan ibadah, ketenteraman, dan keberlanjutan peradaban umat.
Via
OPINI
Posting Komentar