OPINI
Gelombang Perceraian dan Runtuhnya Ketahanan Keluarga di Era Sekuler Kapitalis
Oleh: Ilma Nafiah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Tren perceraian di Indonesia terus menunjukkan grafik mengkhawatirkan. Data dari berbagai wilayah menunjukkan ribuan pasangan memilih berpisah setiap tahunnya. Tak hanya di kota besar, fenomena ini juga merambah ke daerah-daerah seperti Bojonegoro dan Tanjungpinang (pa-bojonegoro.go.id, 12-11-2025). Ironisnya, di tengah meningkatnya angka perceraian, jumlah pernikahan justru mengalami penurunan (pta-pekanbaru.go.id, 15-03-2024). Hal ini menandakan perubahan serius dalam pandangan masyarakat terhadap makna dan nilai lembaga pernikahan. Perceraian kini bukan lagi sesuatu yang tabu, melainkan dianggap sebagai jalan keluar cepat dari persoalan rumah tangga.
Yang lebih mencemaskan, tren perceraian tak hanya terjadi di usia muda, tetapi juga di usia senja — fenomena yang dikenal dengan grey divorce. Banyak pasangan yang telah puluhan tahun hidup bersama akhirnya memutuskan berpisah di masa tua (mistar.id, 07-09-2025). Ini menunjukkan adanya krisis mendalam dalam ketahanan keluarga. Ikatan pernikahan yang semestinya menjadi sumber ketenangan kini mudah runtuh karena perubahan pola pikir, tekanan hidup, hingga minimnya pemahaman agama.
Beragam faktor memicu perceraian: perselingkuhan, pertengkaran, kekerasan dalam rumah tangga, tekanan ekonomi, bahkan kecanduan judi online. Semua itu mencerminkan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap hakikat pernikahan. Banyak pasangan membangun rumah tangga hanya atas dasar perasaan, bukan karena kesadaran akan tanggung jawab spiritual dan sosial. Ketika cinta mulai memudar dan ujian datang, mereka tidak memiliki landasan kokoh untuk bertahan. Pernikahan yang seharusnya menjadi ladang ibadah dan benteng moral malah berubah menjadi ajang pertikaian dan pelarian diri.
Dampak perceraian tidak berhenti pada pasangan semata. Anak-anak menjadi korban terbesar. Mereka tumbuh dalam ketidakstabilan emosi, kehilangan teladan, dan kerap mengalami luka psikologis jangka Panjang (antaranews.com, 25-04-2025). Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak korban perceraian lebih rentan terhadap depresi, kenakalan remaja, bahkan kehilangan motivasi hidup. Ketika keluarga runtuh, generasi pun rapuh — dan pada akhirnya masyarakat kehilangan pilar peradabannya.
Fenomena ini sesungguhnya merupakan buah dari paradigma sekuler kapitalis yang menjiwai sistem kehidupan modern. Dalam sistem ini, kebahagiaan diukur dari materi dan kebebasan individu. Agama disingkirkan dari urusan keluarga, pendidikan, dan sosial. Nilai-nilai moral digantikan oleh standar pragmatis: selagi bahagia, lanjutkan; jika tidak, tinggalkan. Akibatnya, pernikahan kehilangan kesakralannya, dan keluarga tak lagi dipandang sebagai institusi suci, melainkan kontrak sosial yang bisa dibatalkan kapan saja.
Sistem pendidikan sekuler juga turut memperparah kondisi ini. Kurikulum yang berorientasi pada akademik semata tidak membentuk kepribadian Islam yang kokoh. Generasi muda tidak disiapkan untuk memahami tanggung jawab berumah tangga sebagai bagian dari ibadah. Mereka hanya diajarkan bagaimana mencari pekerjaan dan membangun karier, bukan bagaimana membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Akibatnya, ketika memasuki dunia pernikahan, mereka tidak siap menghadapi dinamika dan konflik kehidupan rumah tangga.
Islam menawarkan solusi komprehensif yang menyentuh akar persoalan. Sistem pendidikan Islam membina kepribadian yang kuat berlandaskan akidah, menjadikan individu siap menjadi suami, istri, dan orang tua yang bertanggung jawab. Dalam sistem ini, anak-anak dibentuk dengan nilai ketakwaan, adab, dan rasa tanggung jawab sosial, bukan sekadar pengetahuan duniawi. Generasi yang terbina dengan keimanan tidak akan mudah menyerah pada masalah rumah tangga karena mereka memahami bahwa pernikahan adalah ibadah dan amanah dari Allah Swt.
Selain itu, sistem pergaulan Islam menjaga interaksi laki-laki dan perempuan dalam koridor syariat. Prinsip ini menutup peluang perselingkuhan dan menjaga kesucian hubungan keluarga. Dalam masyarakat Islam, kehormatan perempuan dijaga, dan suami-istri didorong untuk saling menasihati dalam kebaikan. Hubungan sosial pun dibangun di atas dasar ketakwaan, bukan atas dasar hawa nafsu dan kepentingan duniawi semata.
Sistem politik dan ekonomi Islam juga memainkan peran penting dalam menjaga ketahanan keluarga. Negara dalam Islam berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyatnya, menyediakan lapangan kerja, serta memastikan kebutuhan dasar keluarga terpenuhi. Dengan sistem ekonomi berbasis keadilan dan distribusi kekayaan yang merata, tekanan ekonomi yang sering menjadi penyebab perceraian dapat diminimalisir. Keluarga tidak perlu hancur karena beban finansial atau ketimpangan ekonomi yang dibiarkan tanpa solusi.
Di masa awal Islam dan periode kekhilafahan, meskipun perceraian memang diperbolehkan sebagai jalan akhir, terdapat regulasi syariat yang mengatur agar tidak menjadi sesuatu yang mudah dan tanpa tanggung jawab. Sebagai contoh:
• Dalam pembahasan hukum Islam klasik disebutkan bahwa pada masa khalifah seperti Umar bin Khattab, praktik seorang suami yang menyatakan talak tiga sekaligus (triple talaq) secara emosional mulai muncul, kemudian khalifah Umar mengambil langkah regulatif untuk menegakkan bahwa talak tiga sekaligus adalah suatu kesalahan dan harus dihukum.
• Sebelum itu, sistem syariat mengatur bahwa suami tidak sewenang‐wenang memutuskan pernikahan tanpa mempertimbangkan proses, masa iddah, kesempatan rujuk.
• Di era khalifah Umayyah dan seterusnya, data sosial menunjukkan bahwa perceraian memang ada, namun budaya sosial dan hukum Islam telah menanamkan bahwa pernikahan memiliki makna sosial, moral, dan keagamaan, bukan semata kontrak pribadi.
Dari sini kita melihat: sistem Islam tidak membiarkan perceraian sebagai hal yang ringan atau terus‐menerus tanpa konsekuensi; ada regulasi, ada tanggung jawab, ada norma moral. Jika dibandingkan dengan situasi kontemporer yang memakai paradigma bebas dan pragmatis, maka keruntuhan keluarga saat ini bisa dikaitkan dengan melemahnya norma tersebut (rsisinternational.org, 26-07-2025).
Dengan demikian, akar persoalan perceraian tidak akan pernah selesai selama masyarakat masih berpegang pada sistem sekuler kapitalis. Sebaliknya, penerapan sistem Islam secara kaffah akan melahirkan ketenangan dalam rumah tangga, kesejahteraan dalam masyarakat, dan kekuatan dalam generasi. Pernikahan akan kembali menjadi ibadah, keluarga menjadi benteng moral, dan generasi muda tumbuh sebagai pelanjut peradaban Islam yang kokoh.
Kini saatnya kita merenung: apakah solusi parsial seperti konseling, seminar keluarga, dan pelatihan pra-nikah berbasis sekuler benar-benar mampu menahan gelombang perceraian yang terus meningkat? Ataukah sudah waktunya kita kembali kepada sistem yang telah terbukti selama berabad-abad melahirkan keluarga harmonis dan generasi tangguh? Jawabannya jelas — hanya dengan Islam, keluarga akan kembali menjadi pondasi peradaban, tempat berseminya cinta, ketenangan, dan keberkahan yang diridhai Allah Swt.
Via
OPINI
Posting Komentar