IBRAH
Kehadiran yang Disia-siakan
Oleh: Kartika Soetarjo
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Siang itu, sinar mentari begitu tajam menusuk bumi. Membuat hampir semua orang bersembunyi di balik tembok-tembok kekar atau di bawah rindangnya pohon, agar kulit mereka tidak legam, atau sekadar menyelematkan tubuh dari derasnya peluh.
Namun, tidak bagi Agnia. Seorang perempuan muda yang selalu bersemangat dalam dakwah dengan cara mengajar ngaji ‘pasukan-pasukan kecil’ milik tetangganya. Teriknya siang tak bisa menahan langkahnya menuju madrasah tua yang ada di desanya.
Madrasah itu berdiri sejak Agnia masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun sayangnya, madrasah itu hanya punya ‘suara’ di hari Jumat saja. Yaitu pengajian para sepuh di desanya. Sedangkan hari-hari setelahnya kembali sepi.
Bukan tidak pernah berisik oleh teriakan shalawat insan-insan kecil. Bukan tidak pernah ada gemuruh penghapal ayat-ayat cinta dari Allah. Bukan tidak pernah ada ustaz atau ustazah muda yang mau menyentuh madarasah itu. Setiap kali madrasah akan mencapai sukses dengan riang anak-anak mengaji, maka setiap itu pula ego tinggi dari pemilik tanah hibah madarasah akan merebut riang-riang kecil tersebut dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Setelah dikuasai, sang pengajar pun kena marah lalu difitnah, kemudian ditendang tak ubahnya barang yang tak berguna.
Akhirnya, orang yang mampu mengajar tak diberi ranah, sedangkan mereka sendiri pun tak mampu berdakwah.
Ya, mungkin mereka hanya ingin namanya bertengger di atas sukses, sementara orang lain yang berproses. Jika para pengajar sudah pergi, madarasah pun berujung sepi, tak ada lagi yang mau menjadi penggema agama di madrasah itu, karena tidak tahan dengan fitnahan yang selalu dilontarakan oleh sang pemilik bangunan.
Agnia mencoba menjadi perintis berikutnya. Tekadnya yang kuat mengalahkan baja dan langkahnya yang tegap mengalahkan tentara, terus mengajar tubuh-tubuh mungil yang hanya ada enam orang waktu itu. Suaranya yang lantang terus membersami suara-suara kecil dalam berdoa, menghapal jumlah para Nabi yang wajib diketahui, menghapal bacaan salat, mengeja huruf-huruf hijaiyah, serta hapalan-hapalan ringan lainnya.
Peraturan yang ketat dia terapkan pada insan-insan kecil yang belum begitu faham akan aturan Allah. Masuk kelas harus tepat waktu, melenceng lima menit, siap berdiri sepanjang pelajaran. Santri kecil yang perempuan tidak boleh memakai celana panjang, jika terlanjur, maka akan dipulangkan. Tidak boleh membawa mainan. Tidak boleh membawa makanan ke dalam kelas. Santri kecil yang laki-laki harus salat berjamaah d masjid. Madrasah harus bersih, tidak boleh ada sampah berserakan, sandal tidak boleh naik ke teras madrasah. Semua santri mempunyai jadwal piket membersihkan madarasah, tentu saja dibersamai oleh Agnia.
Tidak boleh begitu, harus begini, dan peraturan-peraturan ketat lainnya. Agnia tak peduli usia berapa yang dia dakwahi. Karena menurutnya, belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu. Lama tercipta, tapi akan berbekas hingga tua. Tetapi belajar setelah dewasa, bagai mengukir di atas air. Lekas, tapi tak berbekas.
Alhasil, madrasah yang tadinya tampak kumuh, sekarang menjadi bersinar. Suaminya membantu mencat tembok agar terlihat ceria, dan memperbaiki pagar yang rusak. Sedangkan Agnia beserta pasukan kecilnya, menyapu, membersihkan kaca, lalu menghiasinya dengan pernak-pernik agar madrasah terlihat cantik.
Untuk keperluan alat tulis dan alat-alat bersih Agnia tidak memungut sepeser pun dari murid-muridnya. Dia merogoh kocek sendiri demi dakwahnya. Perjuangan dakwah Agnia terus berlanjut, bukan tanpa raga yang kadang ambruk, juga bukan tanpa hati yang kadang patah. Namun, ambisi ingin membentuk anak-anak Islam yang cinta Al-quran menjadi penguat segalanya.
Tak terasa sewindu sudah Agnia menjadi bunga madrasah. ‘Tentara kecilnya’ bertambah. Dari mulai enam orang, sekarang menjadi kurang lebih delapan puluh orang. Alhamdulillah.
Agnia mulai mencari tenaga lain untuk membantu dakwahnya. Dia datangi orang-orang yang dia kira ilmunya memadai dan tidak punya kegiatan apapun, agar bisa mengisi waktu mereka dengan menolong Agama Allah.
Nihil! Semuanya enggan, dengan alasan sibuk. Agnia sadar, tidak semudah itu meminta tenaga manusia tanpa imbalan. Agnia tak patah arang dia kerahkan asuhannya yg mulai berusia baligh untuk membantu mengajar adik-adik kelasnya, tapi tetap dalam metode belajar yang dia terapkan.
Huhhhh..., Agnia mulai kelelahan dengan jumlah murid yang tidak sedikit harus dia kelola sendiri.
Tetiba Agnia tersadar, bahwa percik pertarungan mulai mendekati.
"Bu Agnia, murid ibu makin banyak, coba ibu ke kabupaten, daftarkan pengajian anak-anak ini, agar menjadi lembaga yang resmi, nanti ibu dapat gaji, lelah ibu pasti terobati".
Kalimat yang Agnia tidak sukai itu keluar dari dua mulut orang-orang yang tergiur dengan banyaknya murid Agnia. Agnia bergeming, dengan alasan keikhlasannya tidak mau terkontaminasi oleh penantian rupiah di setiap bulannya.
Sore itu, ketika Agania menghilangkan lelah di kursi rumahnya, tiba-tiba ada perempuan yang satu tahun lebih tua darinya. Seorang sarjana nganggur, yang jarang menjawab ketika ditegur, yang suka membuang muka ketika bersua. Sekarang dia menjumpainya dengan senyum penuh rahasia.
"Ada apa?" Hati Agnia bermonolog.
"Agnia, boleh ya aku membantu kamu mengajar anak-anak?" pintanya di balik senyum penuh tanya.
"Astaghfirullah.” Hati Agnia cepat beristighfar mengusir suudzan agar tidak mengakar.
Dengan hati yang dipaksa bening bak mata air yang terpercik dan jiwa yang dipaksa luas seluas samudra pasifik, Agnia menerima permintaan sang sarjana sambil membuang curiga.
"Alhamdulillah, boleh banget, Kak. Besok mulai, ya! Kebetulan aku mulai kewalahan.”
Hari-demi hari, suara sukwan itu (sebutan Agnia untuk perempuan itu) menyelinap di sela-sela riuh madrasah yang Allah berikan pada Agnia lewat lelahnya..
Suatu hari, Agnia diundang oleh orang tua sukwan dengan bahasa yang sangat menjungjung tinggi profesinya sebagai guru ngaji anak kecil. Dengan hati penuh tanya, Agnia memenuhi undangan keluarga yang sedikit angkuh itu.
"Sejak kapan mereka merendah dan menghargaiku? Hemmm, jangan-jangan? Ah sudahlah, jangan suudzan!"
Agnia menepis prasangka buruk yang mengisi pikirannya.
Tiba di rumah orang tua sukwan. Ternyata sudah ada beberapa orang yang menunggunya. Ada salah satu dari keluarga penghibah madrasah yang menjadi ketua karang taruna, ada orang tua sukwan yang menjadi salah satu tokoh berpengaruh di desanya, juga ada sukwan itu sendiri.
Ternyata mereka mendesak Agnia untuk mendaftarkan pengajiannya agar menjadi lembaga yang resmi agar Agnia mendapat gaji. Mulanya Agnia menolak. Berapa pun gajinya tidak akan menggoyahkan pendiriannya. Dia ingin menolong agama tanpa berharap rupiah. Dia yakin dengan gaji yang langsung dari Sang Maha Kaya.
Namun, karena didesak dari berbagai arah. Akhirnya Agnia kalah. Agnia pun pulang membawa hati yang bimbang.
Setelah viral bahwa pegiat dakwah di madrasah akan mendapat jatah, satu demi satu orang-orang mulai mau membantu. Walaupun minim ilmu, yang penting mereka dapat imbalan.
Namun, bagi Agnia ini bukannya meringankan, malah menambah beban. Aturan yang berbeda-beda dari setiap guru, serta mereka berlomba menjadi baik versi selera murid, pelan menggeser aturan Agnia yang ketat. Tentara Agnia pun mulai berani melanggar aturan. Pasukan kecilnya mulai tidak setia. Mereka memilih pemimpin yang licin, bisa makan di waktu belajar. Tidak ada hukuman ketika mereka terlambat datang. Waktu belajar kadang madrasah kosong. Hapalan-hapalan mereka pun mulai terlupakan.
Benar saja apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dalam sebuah hadis.
"Sesuatu yang dipegang oleh bukan ahlinya, maka tunggu kehancurannya".
Puncaknya. Ketika suami Agnia berjamaah di masjid, salah satu keluarga pewaris tahta madrasah itu, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba melontarkan suara tajam bak ujung belati ditancapkan ke ulu hati sang suami.
"Heh! Jadi guru sudah gak becus ngajar anak-anak, ya?"
Sontak saja dahi suami Agnia mengkerut.
"Aya naon iyeu? Sugan kasurupan nya?"
("Ada apa ini? Apa keraksukan ya?") Bisik hati suami Agnia.
Sepulangnya dari masjid, suami Agania menanyakan hal apa yang membuat orang itu marah-marah. Agnia pun menggelangkan kepala. Karena dia tidak merasa bikin gara-gara.
Akhirnya, setelah semua pasukan kecilnya menjauh. Orang tua murid mulai terpengaruh, dan tetangga sekitar mulai acuh. Agnia pun lelah dan mengalah. Dia menyerahkan semua hal penting dari dedikasinya selama ini, ke salah satu sukwan. Uang kas madrasah, catatan nilai anak-anak, serta alat-alat seputar mengajar dan belajar.
Agnia mengundurkan diri dari hasil pejuangan yang Allah beri lewat keringatnya sendiri, dari hasil sakit yang dia tahan sendiri, dan dari hasil luka yang dia obati sendiri. Agnia pergi meninggalkan tempat yang tidak lagi menghargai kehadirnya, serta melupakan kerja kerasnya. Ini bukan tentang baper, atau ingin diakui, tapi tentang sebuah kehadiran yang sudah disia-siakan.
Satu tahun, terngiang kabar. Madrasah tua itu berubah wujud menjadi megah. Namun sepi, tanpa hapalan dan tilawah. Para pemegang amanah berpecah belah, tak ada lagi yang mampu berdakwah. Atau mungkin tak kebagian jatah? Entahlah!
"Iya, ya. Zaman ada Bu Agnia, madrasah tua pun bersih dan indah. Anak-anak ngaji banyak, dan selalu tertib. Metode belajar tersusun rapi. Sekarang, madrasah bagus, tapi kelihatan kotor dan kumuh. Anak-anak yang mau mengaji sudah sedikit ditambah susah diatur. Guru hadir, muridnya alpa. Murid hadir gurunya lupa. Menyesal juga ya, kenapa Bu Agnia harus pindah dari desa kita?"
Bisik-bisik mantan tetangga hinggap juga di telinga Agnia.
Begitulah kebanyakan dari kita. Ketika seseorang hadir dan berbuat baik, selalu diabaikan dan dianggap biasa. Namun ketika orang itu sudah tiada, baru terasa bahwa kehadirnya begitu berharga. (Maaf Bang Megi, copas lagunya)
Di tempatnya yang baru, Agnia tidak putus asa. Dia tetap berdakwah dengan menjadi pemimpin ‘pasukan pasukan kecil’ yang dicintainya. Hanya saja sekarang dia memilih rumah sebagai tempat dia dakwah. Dia tidak ingin hatinya dua kali patah. Walau dia tahu, dakwah harus ikhlas, tapi dia sadar, dia insan biasa. Ikhlas kadang bisa pergi jika jiwanya terlalu sering dicaci. Dia ingin tentram dalam dakwah. Tidak ingin ada ego yang mengusik dakwahnya yang asik.
Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad.
Via
IBRAH
Posting Komentar