OPINI
Generasi Sandwich Terjepit Beban, Lansia Terabaikan: Cermin Kelam Abainya Negara dalam Sistem Kapitalisme
Oleh: Pudji Arijanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)
TanahRibathMedia.Com—Belakangan beredar sebuah video di media sosial yang membahas fenomena generasi sandwich, yakni kelompok usia produktif yang harus menanggung hidup orang tua sekaligus keluarganya. Dalam video itu disebutkan, kondisi ini muncul karena banyak orang tua tidak memiliki dana pensiun yang memadai. Akibatnya, beban ekonomi berpindah ke pundak anak-anaknya.
Dikutip dari unggahan akun resmi Suara Surabaya Media (@suarasurabayamedia) pada Jumat (24 Oktober 2025), biaya hidup mayoritas lansia bergantung pada transferan anak. Bahkan menurut Ihda Muktiyanto, Direktur Pengembangan Dana Pensiun, Asuransi, dan Aktuaria Kemenkeu mengatakan, fenomena sandwich generation berpotensi berlanjut di masa depan.
Menurut catatannya, saat ini lebih dari 80 persen sumber pendapatan lansia berasal dari anggota keluarga yang masih aktif bekerja. Oleh karena itu, Ihda menekankan pentingnya mempersiapkan dana pensiun agar memiliki jaminan finansial di masa tua tanpa membebani generasi muda. Benarkah demikian? Dan ini menarik untuk dibahas.
Fenomena “generasi sandwich” belakangan sering viral di media sosial. Istilah ini menggambarkan kelompok usia produktif yang harus menanggung hidup diri sendiri sekaligus orang tua yang telah lanjut usia, bahkan kadang juga anak-anaknya. Di tengah beban ekonomi yang makin berat, generasi ini menjadi simbol perjuangan tanpa henti di bawah sistem yang tidak berpihak.
Sayangnya, banyak narasi menempatkan generasi sandwich seolah-olah sekadar persoalan “perencanaan finansial” yang buruk. Solusinya pun diarahkan pada edukasi keuangan, investasi, atau produk asuransi. Padahal masalah utamanya jauh lebih mendasar: negara terlalu lama melepaskan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan rakyat.
Fenomena ini seharusnya menjadi refleksi bahwa problem bukan hanya soal seolah “anak kurang berbakti”, melainkan sistem ekonomi kapitalisme yang gagal menjamin kesejahteraan rakyat di hari tua. Negara mestinya hadir, bukan malah mendorong masyarakat untuk membeli asuransi atau menabung secara individu, karena kesejahteraan lansia adalah tanggung jawab negara.
Inilah wajah politik ekonomi kapitalistik. Di dalamnya, rakyat dipaksa berjuang sendirian di tengah sistem yang hanya berpihak pada pemilik modal. Negara hadir bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai regulator yang memuluskan bisnis korporasi, termasuk industri keuangan dan asuransi. Dengan dalih kemandirian, masyarakat diarahkan untuk menanggung risiko hidupnya masing-masing.
Sistem kapitalis-neoliberal memperkuat arah ini. Subsidi dipangkas, layanan publik dikomersialisasi, dan sistem jaminan sosial diubah menjadi berbasis premi. Lansia yang seharusnya dijamin negara dicukupkan diserahkan pada keluarga atau anak-anaknya. Akibatnya, lahirlah generasi yang terhimpit di antara dua tuntutan hidup—menopang masa tua orang tua dan menghidupi generasi berikutnya.
Narasi “siapkan dana pensiunmu sejak muda” terdengar bijak, tetapi sesungguhnya menyembunyikan kegagalan negara. Negara yang setiap tahun memungut pajak triliunan rupiah justru tidak mampu menjamin kehidupan warganya di masa tua. Maka, wajar jika beban sosial itu beralih ke pundak generasi muda, yang kini disebut generasi sandwich.
Sejatinya negara tidak cukup bertanggungjawab dalam memberi jaminan sosial kepada rakyat yang tidak kuat lagi bekerja atau dinyatakan purna tugas. Sehingga hal ini diserahkan kepada swasta yang notabenenya adalah penjual jasa keuangan tujuannya adalah provit. Sementara, rakyat dipaksa bertahan hidup dengan kekuatannya sendiri.
Semua manusia akan berujung tua dan lemah. Persoalannya jika di masa tua memiliki jaminan finansial/dana pensiun bisa jadi tidak ada persoalan. Atau sebaliknya jika di masa tua tidak memiliki sumber keuangan, seolah mereka adalah orang tua yang merepotkan. Apalagi, kondisi ekonomi negara yang carut marut. Sehingga, anak yang seharusnya menjaga orang tua yang telah renta serasa berat jika finansial mereka yang harus menanggung. Apalagi, mereka memiliki keluarga yang menjadi tanggungannya.
Sesungguhnyak dalam Islam telah diajarkan bentuk birul walidain— artinya berbakti kepada kedua orang tua. Ini adalah salah satu ajaran penting dalam Islam, yaitu menghormati dan merawat orang tua dengan baik dikala telah renta. Dalam hal ini bukan karena bentuk balas budi terhadap orang tua yang telah merawat anak saat masih kecil, tetapi hal ini adalah bentuk perintah Allah Swt. seperti dalan QS Al-Isra' (17:23) untuk menjaga dan berbakti kepada ke-dua orang tuanya. Tentu saja masih banyak ayat-ayat yang mendukung akan hal ini. Ayat-ayat ini menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua dan menjaga hubungan yang baik dengan mereka.
Dalam sistem Islam, yang memiliki pandangan politik dan sosial yang menyeluruh negara dalam hal ini khilafah, wajib menjamin kebutuhan dasar seluruh rakyatnya, baik sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan, maupun kesehatan.
Rasulullah ﷺ bersabda, "𝘐𝘮𝘢𝘮 (𝘬𝘩𝘢𝘭𝘪𝘧𝘢𝘩) 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘢𝘬𝘺𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢". diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Ahmad.
Lansia, fakir miskin, dan mereka yang tidak mampu bekerja dijamin oleh negara, bukan oleh keluarga semata. Dana untuk itu diambil dari pengelolaan harta milik umum dan baitul mal, bukan dari premi atau pajak tambahan.
Dengan demikian keadilan sosial hanya bisa terwujud jika negara menunaikan fungsi aslinya: pelindung dan pengelola urusan umat, bukan pelayan korporasi. Maka, solusi bagi generasi sandwich bukan sekadar edukasi finansial, melainkan perubahan sistem yang menempatkan rakyat di pusat kebijakan.
Selama paradigma kapitalisme masih menjadi dasar pengaturan kehidupan, fenomena ini akan terus berulang. Anak menanggung beban hidup orang tua, sementara negara tetap cuci tangan. Tetapi dalam sistem Islam, kesejahteraan tidak bergantung pada kekuatan individu, melainkan pada keadilan sistem yang berlandaskan Syariat Allah. Bentuk birul walidain benar-benar berfungsi sebagaimana yang telah dianjurkan Allah Swt.
Maka, generasi sandwich seharusnya tidak hanya bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi, tetapi juga menjadi motor perubahan menuju sistem yang adil. Sebab, tidak ada kesejahteraan sejati dalam sistem yang menindas rakyatnya sendiri.
Hanya dengan kembali pada Islam sebagai sistem kehidupan yang paripurna, beban itu akan terangkat, dan manusia dapat hidup dalam keberkahan yang hakiki.
Wallahualam bisshawab.
Sumber berita:
https://www.instagram.com/reel/DQME4KkjKsT/?igsh=eDhlbDBqbGtnNTAx
Via
OPINI
Posting Komentar