OPINI
 
 
 
  
‘Fatherless’, Buah Sistem Kapitalis
Oleh: Susi Sukaeni  
(Guru) 
TanahRibathMedia.Com—Fenomena fatherless kembali mencuri perhatian publik setelah Kompas pada 8 Oktober 2025 merilis kembali data hasil Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS 2024. Seperlima anak Indonesia tepatnya 15,9 juta anak berpotensi mengalami fatherless. Data ini sama persis dengan data PBB untuk anak-anak (Unicef) 2021 yang melaporkan 20,9% anak Indonesia mengalami fatherless. Sebuah fenomena di mana anak tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran ayah baik secara fisik, mental, maupun psikologis.
Tentu ini menjadi alarm berbahaya bagi bangsa Indonesia. Para psikolog memberi peringatan keras bahwa anak fatherless berpotensi mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, kecemasan, dan kesepian. Mereka juga mengalami gangguan perilaku, krisis identitas diri, dan gangguan perilaku seksual. Dampak lanjutannya adalah rasa tidak percaya diri, emosi dan mental yang tidak stabil, kenakalan remaja, sulit berinteraksi sosial, dan motivasi akademik yang rendah. Bayangkan jika fatherless menimpa bangsa ini secara luas, akan lahir generasi yang lemah dan problematik. Jauh dari harapan melahirkan generasi Indonesia Emas yang seringkali digembar-gemborkan. 
Sayangnya pemerintah nampak bingung mencari akar masalah dan solusi fatherless. Pemerintah meluncurkan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) pada tahun ini. Laman BKKBN menjelaskan bahwa GATI bertujuan memperkuat peran ayah dalam pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan anak. Salah satu wujud kegiatan GATI adalah Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah. 
Namun, upaya pemerintah tersebut jauh dari efektif dan tidak menyentuh akar masalah. Gerakan ini lebih bersifat anjuran dan seremonial sehingga tidak komprehensif, dan tidak berkesinambungan. GATI terbentur tembok tebal, yaitu persoalan sistemis yang menyebabkan maraknya fatherless. 
Buah Sistem Kapitalis 
Fatherless tidaklah sekonyong-konyong terjadi. Fenomena ini justru lahir dari serangkaian kebijakan multisektor yang diterapkan negara. Secara sadar dan sistematis negara telah menerapkan sistem kapitalis pada seluruh sektor yaitu ekonomi, politik, pendidikan, sosial, hingga keluarga. Sistem ini telah mengikis habis peran ayah dalam pendidikan dan pengasuhan anak. 
Sistem kapitalis memang menjanjikan keuntungan dan kepentingan pribadi para pejabat dan oligarki dalam lingkaran kekuasaannya. Mereka tega walau harus mengorbankan kepentingan rakyat. Kapitalisme menjadikan SDA terkonsentrasi pada segelintir konglomerat sehingga rakyat tidak bisa menikmatinya. Kondisi ini memaksa ayah bekerja ekstra keras, ekstra waktu, dan jauh terpisah dari keluarga demi memenuhi berbagai kebutuhan. 
Kapitalisme juga menjadikan politik negara dikuasai para kapitalis sehingga kebijakan negara hanya menguntungkan mereka. Sedangkan, rakyat tidak mendapatkan layanan yang baik dan harus membayar mahal untuk mendapatkan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Selain itu, rakyat masih dibebani pajak tinggi. 
Kapitalisasi pendidikan menjadikan kurikulum makin sekuler. Alhasil para orang tua tidak punya bekal untuk mendidik anak sesuai tuntunan agama yang benar yaitu Islam. Sementara itu, penerapan kapitalisme terus menggerus keharmonisan keluarga. Tatanan kehidupan bebas nilai dalam kapitalisme memicu masalah rumah tangga seperti perselingkuhan, KDRT, konflik, dll yang berujung perceraian. Tingginya angka perceraian di Indonesia menjadi penyebab utama makin meluasnya fenomena fatherless. Sedangkan, penyebab lainnya ayah terlalu sibuk bekerja karena system kapitalis membuatnya lebih mengejar harta dan jabatan daripada membersamai anak. 
Butuh Solusi Sistemis dari Islam 
Tampak nyata fatherless tidak lahir secara alami. Ia lahir dari rahim kapitalisme yang dibidani oleh negara. Karenanya, menyelesaikan masalah fatherless haruslah sepaket dengan mencerabut sistem kapitalisme dari akarnya. Selanjutnya, sistem Islam yang sahih dan mumpuni harus diterapkan oleh negara (khilafah) sebagai solusi tuntas masalah fatherless. 
Sejatinya Islam telah menobatkan ayah sebagai pemimpin (qawwam) sekaligus wali dalam keluarga. Ayahlah yang bertanggungjawab atas seluruh urusan keluarga termasuk nafkah dan pendidikan keluarga. 
Allah berfirman,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ ٣٤ 
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), juga karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (kepada perempuan).” (QS An-Nisa’ [4]: 34).
Peran ayah dalam pendidikan anak sama pentingnya dengan peran ibu. Al-Qur’an menggambarkan peran penting ayah dalam pendidikan anak pada QS Luqman ayat 17: 
“Luqman berkata: Wahai anakku! Dirikanlah salat, suruhlah (manusia) berbuat yang makruf, dan cegahlah dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (TQS Luqman [31]: 17). 
Tergambar jelas bagaimana ayah berperan penting dalam penanaman akidah, pembiasaan ibadah, berakhlakul karimah, amar ma’ruf nahil munkar dan menjadi teladan dalam kepemimpinan. Namun, untuk peran ini semua ayah butuh bekal ilmu dan dukungan sistemis. Sungguh sistem Islam telah memberikan semua yang dibutuhkan sang ayah baik beupa ilmu maupun sistem kehidupan yang ideal dalam pendidikan anak.  
Pada aspek politik, khilafah akan menjalankan pemerintahan sesuai titah Allah Taala secara totalitas. Alhasil, khilafah akan menerapkan serangkaian kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Negara khilafah akan menyediakan berbagai layanan publik secara murah atau bahkan gratis. Para ayah tidak lagi stres memikirkan biaya pendidikan, kesehatan, energi, dan transportasi dll. 
Para ayah sangat leluasa menjalankan kewajibannya karena penerapan sistem ekonomi Islam mampu menyejahterakan rakyat secara merata. SDA dikelola negara sehingga rakyat bisa menikmati hasilnya. Negara menjamin lapangan pekerjaan bagi para ayah sehingga mampu menafkahi keluarga dengan makruf. Kalaupun ada para ayah yang lemah dan tidak mampu bekerja maka negara Khilafah akan menjamin pemenuhan kebutuhannya.  
Islam memang mewajibkan para ayah bekerja untuk menafkahi keluarga. Namun, dalam sistem Islam, ayah bekerja sewajarnya tidak diforsir tenaganya demi mengejar materi. Waktu untuk bekerja sudah tertakar berdasarkan akad yang adil dengan pemberi kerja. Masih ada cukup waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Selainitu keluarga muslim memahami konsep qanaah sehingga tidak ambisius mengejar dunia hingga mengorbankan waktu untuk keluarga. Di sisi lain negara tidak menjadikan produksi sebagai ukuran kesejahteraan sehingga pekerja tidak dieksploitasi untuk terus-menerus bekerja demi mengejar target produksi. 
Pikiran ayah tidak terbebani pungutan pajak yang tinggi maupun pungutan ini dan itu karena dijamin negara. Hasil pengelolaan SDA milik umum dan dua pos pemasukan yang lain (fai dan kharaj serta zakat) sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan anggaran negara. Kalaupun ada pungutan pajak hanya akan dikenakan pada orang-orang kaya saja, itupun sifatnya sementara di saat kas negara kritis.  
Selain itu, negara Khilafah akan membangun infrastruktur berkualitas dan terencana dengan baik sesuai tata kota islami. Hal ini akan memudahkan para ayah bekerja tanpa kehabisan waktu di jalan karena jauh, macet atau jalanan yang rusak.
Sistem pendidikan Islam akan menyiapkan para calon ayah agar fakih dalam agama, termasuk paham ilmu pendidikan anak. Proses ini dilakukan secara formal di sekolah maupun nonformal di bawah asuhan para ulama di masjid-masjid. Materi yang diajarkan lengkap mulai dari akidah, ibadah, akhlak dan adab hingga persoalan fikih praktis. Semuanya diselenggarakan secara berkelanjutan dan gratis karena dibiayai negara atau dari wakaf ilmu para ulama. Sistem pendidikan Islam berasaskan akidah Islam sehingga sejalan dengan tugas ayah menanamkan tauhid (akidah). Sistem Islam mewujudkan penerapan syariat Islam kafah sehingga sinkron dengan upaya ayah membiasakan anak taat syariat dan rajin beribadah. 
Uraian tadi menggambarkan dengan jelas bahwa posisi negara dalam Islam sebagai raa’in dan junnah  (pengurus dan pelindung rakyat). Berbeda dengan negara kapitalistik yang berfungsi sebagai regulator sementara pelaksanaannya diserahkan kepada swasta. Maka tidak ada solusi tuntas dalam menyelesaikan fatherless kecuali berpaling dari sistem kapitalis yang merusak dan menggantinya dengan penerapan sistem Islam kafah dalam format negara Khilafah. 
Wallahu a’lam bishowwab.
Via
OPINI
 
 
Posting Komentar