Opini
Ketika Negara Tak Sepenuh Hati Memuliakan Guru
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Guru adalah ujung tombak pendidikan bangsa. Mencerdaskan generasi dan sebagai pondasi dasar dari cemerlang atau gelapnya nasib suatu negara di masa depan. Namun, ketika para guru harus bergelut dengan ketidakpastian ekonomi dan di saat harus berjuang mendidik anak bangsa, adalah sebuah kenyataan pahit yang mencerminkan kegagalan negara dalam menghargai guru sepenuhnya.
Seperti yang dialami oleh sejumlah guru honorer di Provinsi Kepulauan Riau yang belum menerima gaji selama dua bulan berturut-turut (Januari–Februari), hingga terpaksa harus berhutang demi memenuhi kebutuhan sehari‑hari (Kepri.batampost.co.id, 3-3-2025).
Hal serupa juga dialami guru honorer di Musi Banyuasin, yang harus rela merasakan hal lebih parah, yakni tidak digaji sejak Desember 2024 hingga Mei 2025, dengan total tunggakan mencapai Rp 6 juta (cahayanewskepri.com, 7-6-2025).
Di Pelalawan, Riau, ratusan guru honorer belum dibayar selama dua bulan menjelang Lebaran, hingga mereka berbondong-bondong mendatangi kantor Bupati untuk menanyakan nasib dan gaji mereka (Sindonews.com, 28-3-2025).
Lalu di Gorontalo Utara, guru ASN pun harus berjuang agar THR dibayarkan. Ribuan guru mengancam demonstrasi jika THR belum di tangan sebelum libur Lebaran 2025 (Antaranews.com, 22-3-2025).
Masih banyak lagi kasus keterlambatan gaji guru yang bukan hanya sekadar administrasi, melainkan mencerminkan sistem pendidikan dan tata kelola keuangan publik yang kacau. Mirisnya, tak sedikit guru honorer yang terpaksa hidup bergantung pada dana BOS dan insentif daerah, padahal tidak ada kepastian kapan mereka akan menerima haknya. Sistem ini membuat hidup mereka terus dibayangi ketidakpastian.
Sistem PPPK pun tak sepenuhnya menjawab karena proses rekrutmen dan pengangkatan PPPK, terutama guru, seringkali mengalami keterlambatan. Penerapan sistem PPPK belum merata di seluruh wilayah Indonesia, juga guru-guru yang bertugas di daerah terpencil seringkali menghadapi tantangan lebih besar dalam proses rekrutmen dan pengangkatan PPPK.
Merujuk fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa negara telah abai dengan kesejahteraan guru dan membiarkan mereka kelaparan, pontang-panting memperjuangkan nasibnya sendiri. Padahal negara kerap mengumbar retorika penghargaan kepada guru, namun praktiknya jauh panggang dari api dengan berbagai alasan klasik. Masalah alokasi anggaran pemerintah daerah yang "habis untuk hal lain", administrasi lamban, birokrasi yang berbelit, hingga "regulasi pusat yang tidak selaras dengan realita daerah" yang hal ini makin mempertegas ketidakpedulian negara pada guru.
Di antara semrawutnya sistem dan birokrasi pemerintah dalam menangani kesejahteraan guru adalah akibat dari diterapkannya sistem sekuler-kapitalisme dalam menjalankan roda pemerintahan.
Di dalam sistem sekuler-kapitalisme pendidikan dianggap komoditas, bukan amanah publik. Guru dihitung dari nilai produktif ekonomis, bukan peran strategis mereka dalam membangun peradaban. Negara juga sering kali berlepas tangan, menyerahkan pembiayaan pendidikan ke daerah atau bahkan kepada swasta. Alokasi anggaran juga dibuat berdasarkan kalkulasi untung rugi, bukan prioritas moral dan akhlak bangsa.
Islam menempatkan pendidikan sebagai hak setiap insan, yang tak boleh diabaikan, dan harus ditanggung penuh oleh negara sebagai bentuk pelayanan terhadap umat. Negara juga wajib bertanggung jawab secara penuh membiayai seluruh kebutuhan pendidikan, mulai dari infrastruktur, kurikulum, hingga penggajian guru.
Sumber keuangan negara khilafah adalah dari Baitul Mal dan juga segala keuntungan penghasilan pengelolaan sumber daya alam yang dikelolah mandiri oleh negara tanpa campur tangan asing atau swasta. Sehingga dengan itu negara mampu membiayai segala kebutuhan pendidikan, tanpa mengandalkan anggaran daerah yang berasal dari pajak, donasi, atau skema BOS seperti dalam sistem kapitalis.
Di dalam sistem Islam, penghormatan guru adalah bagian dari syariat. Dalam sejarah Islam, para guru dan ulama juga diberi kedudukan mulia, dihormati oleh pemimpin, dan diberi kecukupan, kesejahteraan dan gaji yang besar tanpa harus menuntut atau berdemo. Negara Islam melihat bahwa mencerdaskan generasi adalah bagian dari kewajiban negara sebagai ra’in (pengurus umat), bukan urusan pasar atau politik anggaran.
Melihat perbedaan keduanya yang sangat jauh, seharusnya hal ini patut dijadikan bahan renungan, mengapa kesejahteraan untuk guru tak kunjung terjadi?
Barangkali kurangnya kita sebagai umat muslim untuk sadar bahwa hanya sistem Islamlah yang mampu menangani segala bentuk persoalan umat hari ini, juga sekaligus sebagai solusi hakiki untuk masa depan generasi yang lebih cemerlang.
Oleh karenanya, memperjuangkan penegakannya adalah hal yang semestinya. Bukan hanya bualan atau angan, tetapi tindakan untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa hanya Islamlah yang mampu mengangkat umat dari keterpurukan ke kehidupan yang sejahtera dan yang Allah ridhai.
Wallahu 'alam bissowwab.
Via
Opini
Posting Komentar